Berjuang Demi Keluarga (Bag. 1)

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
 
 

fotoSetiap hari, kecuali hari libur, relawan Tzu Chi membawa Sutrisno berobat ke RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru. Kecelakaan kerja telah mengakibatkan Sutrisno mengalami kelumpuhan dan harus menggunakan kursi roda untuk beraktivitas.

“Bapak harus baik-baik sama istri, nggak boleh marah-marah,” kata Lie Mei Kiau, relawan Tzu Chi menasehati. Sutrisno (47) pun mengangguk-angguk sambil tersenyum. Hampir sepanjang perjalanan pulang dari RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru, Mei Kiau terus menasehati dan memberi saran kepada Sutrisno untuk bersabar dan menjaga kesehatannya. Sutrisno yang duduk di bagian belakang mobil dengan kursi rodanya mendengarkan dengan serius. 

“Luka Bapak juga harus sering dibersihkan. Minta tolong sama istri untuk membersihkan. Makanya Bapak juga harus baik-baik sama istri,” ujarnya. Dari atas kursi rodanya, Sutrisno kembali mengangguk. Kelumpuhan telah membuatnya sangat “sensitif”, mudah tersinggung dan curiga.

Setiap hari – kecuali hari libur – Sutrisno memang harus memeriksakan diri ke rumah sakit. Pria asal Jawa Timur yang dahulu bekerja sebagai tukang bangunan ini kini harus duduk di bangku kursi roda sepanjang hari. Kecelakaan kerja telah merenggut keceriaan dan kehidupannya. Dengan tiga orang anak yang masih kecil: Haryanto (kelas 2 SMP), Wahyudi (kelas 4 SD), dan Agus Wiranto (3), praktis kini beban tanggung jawab untuk mencari nafkah berpindah ke pundak istrinya, Rahmawati (37). Mengandalkan penghasilan dari mengupas bawang putih inilah yang membuat keluarga ini dapat bertahan hidup sejak 2 tahun lalu.

Terjatuh Saat Bekerja
Sutrisno merantau ke Pekanbaru sejak tahun 1982. Awalnya ia bekerja sebagai penebang pohon di Riau. Di tanah perantauan ini pula akhirnya Sutrisno bertemu dan menikah dengan Rahmawati yang juga perantauan dari Medan, Sumatera Utara. Setelah mereka menikah, Sutrisno pun beralih profesi menjadi tukang bangunan dan menetap di Kota Pekanbaru. Awalnya kehidupan mereka cukup harmonis, meski dengan kehidupan yang sederhana dan penghasilan Sutrisno yang tidak terlalu besar. Mereka dapat melalui hari-hari dengan penuh kebahagiaan. Apalagi sang istri Rahmawati juga turut membantu dengan berdagang kecil-kecilan. “Saya bisa mencicil tanah dan rumah ini,” kata Sutrisno mengenang. Rumah yang didiami Sutrisno dan keluarga ini dibelinya dari sang kakak dengan cara mencicil. Kebahagiaan ini bisa terus berlanjut hingga Sutrisno dan Rahmawati memiliki anak kedua.

foto  foto

Ket : - Setiap kali berobat di rumah sakit, relawan Tzu Chi Pekanbaru selalu mendampingi Sutrisno. (kiri)
       - Sutrisno dan anak bungsunya (Agus), yang lahir tepat tanggal 17 Agustus 2007. Dua bulan setelah Agus           lahir, Sutrisno terjatuh dari atap rumah yang sedang diperbaikinya. (kanan)

Di tahun 2007, dua bulan setelah Rahmawati melahirkan anak ketiganya – lahir tanggal 17 Agustus 2007 sehingga diberi nama Agus Wiranto— Sutrisno tertimpa musibah. Ia terjatuh dari atap rumah yang sedang dikerjakannya. Tulang belakangnya retak. Sayangnya, sang pemilik rumah tidak mau bertanggung jawab dan menganggap itu adalah keteledoran Sutrisno sendiri. “Saya berobat ke dukun patah tulang, katanya dijanjikan 7 bulan akan bisa jalan lagi. Nyatanya, meski dah habis duit 4,5 juta tetap nggak bisa bangun dari tempat tidur,” tutur Sutrisno. Uang yang diperolehnya dari sumbangan teman-teman dan orang yang bersimpati padanya serta dari hasil menjual perhiasan simpanan keluarganya. “Saya nggak berani ke rumah sakit, soalnya takut, nggak ada biaya,” kata Sutrisno. Selama itu, praktis Sutrisno hanya terbaring lemah tanpa daya.

Melihat kondisi Sutrisno yang memprihatinkan, akhirnya hal ini mengundang simpati Maya, salah satu tetangganya yang kebetulan bekerja di dekat Kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Kantor Penghubung Pekanbaru. ”Nah, oleh Maya ini kemudian bapak didaftarkan ke Tzu Chi,” kata Rahmawati. Setelah melengkapi berbagai persyaratan untuk pengajuan pasien kasus, seperti Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), dan setelah melalui proses survei oleh relawan, akhirnya Sutrisno pun dinyatakan layak untuk dibantu sebagai pasien kasus Tzu Chi.

foto  foto

Ket : - Wahyudi, anak kedua Sutrisno dengan penuh kasih sayang mengambilkan makan untuk adiknya. Yudi             sendiri belum makan siang dan lebih mendahulukan adiknya untuk makan.(kiri).
         - Meski hanya makan nasi dan kecap, namun Agus tetap memakannya tanpa mengeluh. Kedua anak ini             juga selalu merawat ayah mereka dengan mengambilkan minum ataupun makanan. (kanan)

Tahun 2008, Sutrisno menjalani operasi pertamanya. “Biaya operasi bisa pakai SKTM, tapi pen-nya itu mahal dan harus dibeli oleh Tzu Chi,” kata Mei Kiau. Setelah menjalani pemasangan pen di tulang belakangnya, Sutrisno pun bisa duduk, meski punggungnya harus ditopang dengan papan agar tetap tegak. Ia pun bisa sedikit beraktivitas dengan kursi rodanya. Tidak hanya itu, Tzu Chi pun memberi tunjangan hidup kepadanya sebesar Rp 200.000 per bulan. Karena Sutrisno juga tidak bisa buang air kecil, maka secara rutin juga diberikan pampers untuknya. “Alhamdulillah, saya bersyukur sekali dibantu Tzu Chi, kalau tidak saya biaya dari mana,” ungkap Sutrisno haru. Tidak hanya bantuan materi, relawan Tzu Chi pun kerap mengunjunginya untuk memberi perhatian kepada Sutrisno dan keluarganya. “Saya berharap istri dan anak-anaknya bisa melalui cobaan ini dengan penuh ketabahan,” kata Mei Kiau. Hal ini menurutnya sangat penting, mengingat menurut dokter, kondisi Sutrisno sangat sulit untuk bisa kembali pulih seperti sedia kala. Karena itulah Mei Kiau tidak henti-hentinya menghibur, memberi semangat serta menjadi “peredam” konflik dalam keluarga ini.

Terlebih saat ini Sutrisno membutuhkan perawatan setiap hari di rumah sakit akibat luka di bagian bokongnya. Terlalu lama berbaring mengakibatkan lecet dan akhirnya menjadi luka. “Setiap hari kita bawa ke rumah sakit untuk dibersihkan dan diobati,” terang Mei Kiau.

Bersambung ke Bagian Dua.

  
 
 

Artikel Terkait

Mari Menabung Berkah

Mari Menabung Berkah

23 Juni 2010
Ini kali keempat Liem Cun Bie pergi mendonorkan darah ke Yayasan Buddha Tzu Chi Kantor Perwakilan Tangerang. Sebelumnya ia juga pernah melakukan hal serupa saat mengantarkan sang istri melahirkan anak kedua
Bersama Membuat Eco Enzyme

Bersama Membuat Eco Enzyme

02 Maret 2022

Minggu, 20 Februari 2022 relawan Tzu Chi komunitas He Qi Pusat untuk kali pertama mengadakan pelatihan pelestarian lingkungan (PL) secara daring. Ada 91 peserta yang mengikuti kegiatan pelestarian lingkungan.

Menjadi Aliran Jernih, Mencatat Sejarah Tzu Chi

Menjadi Aliran Jernih, Mencatat Sejarah Tzu Chi

21 November 2014

Zhen Shan Mei Camp ke-2 (15 - 16/11) bertemakan, “Di Dalam Keindahan Ada Aku, Anda, dan Dia” yang diselenggarakan di Aula Jing Si telah usai. Namun, semangat untuk mencatat sejarah Tzu Chi dan menjadi aliran jernih masih menyelimuti para peserta kamp. Bagaimana tidak? Dalam kamp ini dihadirkan trainertrainer yang sudah lama berkecimpung dalam perkembangan relawan Zhen Shan Mei di Taiwan. Sebut saja Lai Rui Ling, Dylan Yang, Zhang Yi Hong, Zhuang Hui Zhen, dan Xiao Hui Ru.

Dalam berhubungan dengan sesama hendaknya melepas ego, berjiwa besar, bersikap santun, saling mengalah, dan saling mengasihi.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -