Bersumbangsih adalah Berkah

Jurnalis : Fammy (He Qi Timur), Fotografer : Andy Jarvis, Fammy(He Qi Timur)

Pelatihan relawan Abu Putih Tzu Chi He Qi ( wilayah) Timur dilaksanakan di Jing Si Book Store & Café, Mall Kelapa Gading pada 14 Desember 2014.

“Sila” menjaga agar hati tidak mudah tergoda,

“Konsentrasi” menjaga ketenangan saat menghadapi bahaya,

“Kebijaksaan” mampu menggerakkan hati untuk beradaptasi dengan keadaan.

“Kata Perenungan Master Cheng Yen”

Menjelang penghujung Desember 2014, tepatnya Minggu 14 Desember 2014, relawan komuntas Hu Ai Kelapa Gading, mengadakan pelatihan relawan Abu Putih, kelas yang pertama, yang diselenggarakan di ruang pelatihan, toko buku Jing Si, Mall Kelapa Gading. Sekitar pukul 09.30 para relawan mulai berdatangan dan melakukan registrasi ulang. Tepat pukul 10.40 pelatihan pun dimulai, dipandu oleh Francisca shijie(Koordinator Tzu Chi – Hu Ai Kelapa Gading). dilanjutkan dengan materi sejarah jalinan jodoh awal Tzu Chi (慈濟世紀) dan sejarah penggalangan dana celengan bambu yang dibawakan oleh Sucipta Nio shixiong(师兄).Dimana dijelaskan tiga jalinan jodoh awal terbentuknya Yayasan Buddha Tzu Chi adalah saat Master Cheng Yen melihat bercak darah di lantai rumah sakit, 3 suster Katolik yang datang berkunjung ke tempat tinggal Master Cheng Yen, yang membicarakan tentang masalah keagamaan-spiritual dan berkumpulnya 30 ibu rumah tangga, dimana Master Cheng Yen mengajak para ibu rumah tangga ini menyisihkan 50 sen dari sisa kembalian uang belanja mereka setiap hari yang dimasukkan ke dalam celengan bambu. Hingga pada tanggal 24 bulan 3 Lunar 1966 berdirilah Yayasan” Ke Nan” Buddha Tzu Chi.

Di sini jugalah cikal bakal penggalangan dana melalui celengan bambu pun bermula. Adapun prinsip dasar penggalangan dana ini adalah ketulusan, kebenaran, keyakinan, kesungguhan untuk menggalang hati banyak orang berhimpun menjadi bagian dari barisan bodhisattva dunia. Yang menarik di sela-sela materi yang tengah dibawakan, Sucipta shixiong sempat mensharingkan sedikit pengalaman beliau, saat tengah mengantri untuk membayar belanjaan di salah satu kasir supermarket di Mall Kelapa Gading, sempat tanpa sengaja turut mendengar percakapan yang tepat terjadi di depan beliau, ada seorang ibu yang tengah membayar belanjaan, melihat celengan bambu yang diletakan tepat disamping meja kasir, lalu bertanya kepada petugas kasir yang bertugas, untuk apa diletakkan celengan bambu di situ, apa manfaatnya, siapa saja yang boleh memasukkan uang ke dalam celengan itu, serta berapa banyak uang yang boleh dimasukkan uang ke dalam celengan tersebut, apakah hanya orang dari kalangan Buddhis saja yang boleh memasukkan uang? Dengan lugas, spontan dan sopan, petugas kasir tersebut sembari melayani pembayaran, menjelaskan bahwa setiap orang dari kalangan apa pun, dari golongan apapun, dari agama apapun boleh memasukkan dana atau uang berapapun besar kecil nya ke dalam celengan bambu itu, karena berapapun uang yang dimasukkan tetap diterima dengan penuh suka cita, sesuai dengan prinsip tulisan yang tertera di sisi celengan itu, “Dana kecil, Amal besar”, walau pun celengan bambu itu berasal dari Yayasan Buddha Tzu Chi dan didirikan oleh seorang bikhuni Buddhis, tetapi Tzu Chi ini universal, lintas agama, lintas golongan, tujuan utama nya adalah murni untuk membantu orang lain yang membutuhkan uluran kasih ini. Si petugas kasir ini pun juga membagikan sedikit pengalamannya kepada si Ibu ini, bahwa dirinya pun adalah salah satu contoh insan yang pernah merasakan kebaikan dan keberuntungan dibantu dari Yayasan Buddha Tzu Chi, berkat celengan bambu walaupun dirinya pribadi pun bukan seorang Buddhis. Mendengar penjelasan dari si kasir ini, si ibu pun setelah usah membayar belanjaannya tanpa ragu-ragu, menyisihkan sedikit uang kembalian belanjaannya dimasukkan ke dalam celengan bambu itu. Sungguh mengesankan.


Pada hari itu, para relawan tidak hanya mendengarkan teori-teori tentang budaya humanis Tzu Chi tetapi juga mempraktikkannya dalam berjalan, makan dan bersikap.

Materi berikutnya慈濟人文之美Keindahan Budaya Humanis Tzu Chi yang dibawakan oleh Vivi Tan shijie, diantaranya menjelaskan beberapa hal seperti : Keindahan tata cara penampilan fisik(seragam, tata rambut bagi relawan pria dan relawan wanita), Keindahan penampilan barisan, Keindahan tata cara berjalan, Keindahan tata cara makan.                                              

Materi berikutnya tentang慈濟人文精神 Semangat Budaya Humanis Tzu Chi dibawakan oleh Dharmawati Djajasutra shijie. Ketua komunitas relawan Hu Ai Kelapa Gading ini menyampaikan pentingnya berbudaya humanis di seluruh kegiatan relawan, seperti yang beliau contohkan berbudaya humanis dalam menjawab atau membalas informasi melalui telepon atau sms. Selalu berpikiran positif dalam setiap tindakan, dalam setiap kegiatan. Juga toleransi, saling menghargai antar sesama relawan dengan berbagai perbedaan yang ada diantara diri pribadi masing-masing.

Dalam pelatihan, beberapa relawan juga memberikan sharing perubahan yang ia alami sejak bergabung menjadi relawan. Salah satunya ialah Endang.

Setelah makan siang, materi training berikutnya mengenai struktur 4 in 1 dan proses menjadi relawan senior yang dibawakan oleh Hendry Chayadi shixiong. Shixiong yang akrab disapa Hendry Pho ini memaparkan secara umum ada 3(tiga) macam relawan, yaitu pertama, relawan yang sekedar ingin berbuat baik saja, kedua, relawan yang mau belajar lebih dalam tentang pedoman Tzu Chi dan keorganisasian yang ada di Tzu Chi, ketiga, relawan yang benar-benar berkomitmen mengikuti jejak Master dan mau mewariskan ajaran dharma Tzu Chi. Syarat spiritual utama untuk menjadi relawan jenjang berikutnya yang lebih dikenal dengan relawan senior berseragam biru putih, adalah mau memikul tanggung jawab seperti menjadi PIC suatu kegiatan dan setuju menjalani semua filosofi Tzu Chi yang intisarinya berasal dari ajaran Dharma Master Cheng Yen sendiri, disamping 10 persyaratan administratif pokok yang patut dipenuhi bagi relawan yang berniat melanjutkan, serta tidak mempunyai kebiasaan buruk yang merusak keharmonisan suatu organisasi.

Sharing relawan dibawakan oleh Endang Supriatna shixiong, dimana inti dari sharingnya beliau menyatakan bahwa di Tzu Chi adalah sebuah wadah untuk bersungguh hati belajar merubah diri sendiri, dari diri pribadi yang dulu keras, temperamental, sampai kedua anaknya menjauhi, karena enggan menghadapi kekerasan, keotoriteran beliau saat menjadi kepala keluarga dan ayah di rumah, menjadi sosok figur ayah yang lebih humanis, lebih manusiawi, lebih penuh welas asih. Karena disaat beliau mengikuti kunjungan kasih atau survey kasus, saat beliau bisa menggendong bayi anak orang lain dengan penuh perhatian dan kasih saying, mengapa kepada anak sendiri tidak bisa dia praktekkan dengan cara yang sama? Beliau menceritakan saat beliau masih menjadi relawan Abu Putih, beliau tidak segan-segan mengikuti setiap kegiatan dengan sungguh-sunguh, dengan tulus, dengan penuh dedikasi. Kekaguman dan kebanggaan beliau bisa bertahan sebagai insan Tzu Chi selama 7 tahun terakhir ini adalah bahwa Tzu Chi bisa menyatukan semua umat yang berbeda, Tzu Chi bisa merubah pribadi seseorang dengan cara yang penuh perhatian, dengan penuh kebajikan. Dalam perbedaan yang ada bisa berjalan seiring bersama-sama dengan harmonis dan penuh cinta kasih. Belajar bersikap, belajar bertutur kata, belajar berbahasa sebagai insan Tzu Chi tidak hanya dilakukan, dipraktekan, diamalkan saat insan Tzu Chi memakai seragam pada tubuh saat sedang berkegiatan saja, tetapi tetap mampu mengamalkan, mengimplementasikan di rumah, di tempat kerja, di tempat umum lainnya, yang seakan-akan kita tetap memakai seragam Tzu Chi di dalam jiwa, di dalam pikiran kita. Kebanggaan sebagai insan Tzu Chi, berbagi kasih bukan selalu ada karena DAAI TV, bukan karena selalu ada kegiatan semata, tetapi dalam praktek keseharian di masyarakat, di dalam keluarga sendiri. Dimanapun kita berada dibiasakan membawa budaya Tzu Chi dimanapun, kapanpun. Apa artinya warna seragam yang dikenakan ditubuh, jika diri kita sendiri belum baik dan benar. Endang shixiong juga mengatakan walaupun beliau seorang muslim tetapi beliau tetap menerapkan ajaran dharma Master dalam kesehariannya di rumah, di tempat kerja, bahkan beliau tidak malu menyatakan beliau juga seorang vegetarian kepada para customer nya, kepada para kolega nya, atau bahkan kepada kerabat keluarganya, karena menurut beliau vegetarian saat ini tidak melulu milik kalangan Buddhis saja, tetapi sudah menjadi milik kalangan manapun.

Sharing juga disampaikan oleh Sonni Julian shixiong(43 tahun) dan Reni Triana(44 tahun)(berjilbab putih) yang bergabung sebagai relawan baru di komunitas Hu Ai Jakarta Timur, Xie Li PGC.

Jalinan jodoh awal mengenal Tzu Chi melalui tayangan drama-drama kisah nyata dari DAAI TV yang begitu menginspirasi itulah, yang menggerakkan hati kedua suami istri ini mencari dan mau mengenal tentang Tzu Chi lebih dalam lagi. Kekaguman mereka dari cerita-cerita film tersebut dan kisah-kisah dari Master Cheng Yen yang bisa merubah sikap hidup seseorang yang tadinya buruk benar-benar berubah menjadi orang baik dan benar, juga bisa menyatukan orang-orang yang tadinya bermusuhan menjadi baik kembali, seperti contoh bagaimana seorang anak terhadap orang tua nya, mau berubah kembali bertobat dan kembali berbakti kepada orang tua nya, Melihat dari film-film itu, bagaimana mereka berhasil mengikuti ajaran Master, seperti contoh program daur ulang, ada kata yang diingat oleh Reni shijie, yaitu “bersih-bersih bisa memberishkan hati”. Dari situ mereka berdua pun mulai tergerak mengumpulkan barang-barang bekas, seperti botol-botol plastik, dan lain-lain, juga dengan adanya kesibukan ini mampu melupakan segala masalah, segala problem dihadapi. Dari peristiwa ini lah yang membulatkan niat dan tekad kedua suami istri ini untuk mulai merubah sikap hidup, cara pandang mereka, yang awalnya buruk menjadi lebih baik, yang membuat juga mereka semakin tergerak mendalami lagi bagaimana proses pembelajarannya. Karena kondisi ekonomi rumah tangga mereka, yang membuat mereka mesti berpindah-pindah tempat tinggal, pindah dari kontrakan yang satu ke kontrakan yang lain, sempat membuat mereka terputus dan tersendat jalinan jodohnya dengan komunitas relawan di Hu Ai Jakarta Timur, tetapi halangan itu semua tidak menyurutkan tekad mereka untuk tetap belajar dan tetap bergabung menjadi bagian dari bodhisattva Tzu Chi. Maka, mereka berdua pun sangat terkesan mengikuti pelatihan relawan kali ini, yang merupakan pelatihan relawan yang pertama bagi mereka. Materi-materi yang disampaikan membulatkan niat mereka untuk semakin belajar lebih dan lebih lagi mendalami filosofi Tzu Chi ini. Walau pun mereka sendiri berlainan keyakinan non-Buddhis(muslim), dengan sikap, perilaku para relawan di Tzu Chi yang penuh kekeluargaan, menerima mereka sebagai bagian dari keluarga, tanpa membedakan latar belakang, walau mereka berdua datang dari lingkungan yang sangat sederhana sekalipun, awalnya mereka berdua sempat minder, tetapi karena perlakuan dari para relawan yang baik, adanya dikungan dan support dari Xiu Hong shijie dan Yenny shijie, dua relawan senior dari PGC, rasa minder mereka sedikit demi sedikit pun terkikis. Membuat hati kedua suami istri ini tidak canggung dan malu masuk lebih dalam lagi dalam kegiatan sebagai relawan Tzu Chi. Secara garis besar bagi mereka berdua, berkegiatan sebagai relawan Tzu Chi tidaklah sulit, di sini adalah kesempatan baik bagi mereka berdua belajar memperbaiki kebiasaan buruk dari diri sendiri, belajar menempa diri juga. Setelah mengikuti pelatihan relawan hari ini, khususnya saat mendengarkan sharing yang disampaikan oleh Endang Supriatna shixiong tadi, sungguh menyentuh hati Reni shijie, khususnya, karena seakan-akan sharing tersebut menjadi cermin bagi dirinya sendiri yang juga memiliki kebiasaan buruk dan pengalaman hidup yang mirip. “Jikalau orang lain yang awalnya bertemperamen sangat buruk dan dijauhi oleh anak-anaknya saja bisa berubah drastis menjadi sosok yang humanis, yang baik, yang kembali dicintai, masakan saya sendiri tidak bisa berubah menjadi sosok ibu lebih baik lagi bagi anak-anak saya?” demikian ulas Reni shijie. Sebagaimana disharingkan bahwa temperamen kedua suami istri ini memang sangat tinggi dan sama-sama keras, suka membanding-bandingkan apa yang mereka miliki dan yang tidak mereka miliki dengan orang lain. Inti pelatihan ini mengajak hati mereka untuk berbuat lebih baik lagi juga membuat hidup lebih bernilai lagi bagi diri sendiri dan bagi sesama. Mereka juga mau belajar lebih sederhana, lebih bermakna, lebih berarti dan lebih tenang menjalani hidup. 


Artikel Terkait

Keindahan kelompok bergantung pada pembinaan diri setiap individunya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -