Bersyukur, Berbagi, dan Berbakti kepada Orang Tua
Jurnalis : Suyanti Samad 謝宛萍 (He Qi Pusat) , Fotografer : Suyanti Samad 謝宛萍 (He Qi Pusat)Tzu
Chi mengadakan kamp anak Teratai Tzu Chi se-DKI Jakarta yang diadakan untuk
pertama kalinya pada 7-8 Juli 2018. Elvina bersama 53 peserta lainnya menerima
suvenir usai mengikuti kamp ini.
Menyadari Berkah, Menghargai Berkah, dan Menciptakan Berkah menjadi tema dari kamp anak Teratai Tzu Chi se-DKI Jakarta yang diadakan untuk pertama kalinya pada 7-8 Juli 2018. Sebanyak 54 anak asuh Tzu Chi mengikuti kamp yang digelar di Gd. Gan En Lou, Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara. Mereka gabungan 6 komunitas He Qi, mulai dari kelas 5 Sekolah Dasar hingga kelas 12 (Kelas 3 Sekolah Menengah Atas).
Kamp ini bertujuan untuk menyatukan kurikulum bagi setiap He Qi agar ke depannya untuk penyampaian tema materi akan senada. Selain itu dalam kegiatan kamp ini untuk mempekenalkan anak-anak kepada teman-teman mereka.
Dalam
kamp yang digelar selama dua hari ini juga mengajak seluruh peserta untuk
mengenal lebih dekat Tzu Chi dengan melakukan tur Aula Jing Si.
“Setiap anak sifatnya beda, kondisi keluarganya beda. Dengan berkumpulnya di sini, belajar bersama, dapat membuka hati dan menambah wawasan mereka,” ujar Wie Sioeng Jong (48), koordinator kamp anak Teratai Tzu Chi.
Para penerima bantuan pendidikan ini adalah dari keluarga yang kurang mampu. Orang tua mereka mengajukan permohonan bantuan ke Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Namun di balik itu semua, mereka adalah anak-anak yang beruntung. Tidak semua anak mudah untuk mendapatkan kesempatan untuk belajar seperti ini. Ini merupakan berkah.
“Berharap setelah mengikuti program ini, mereka menghargai berkah yang ada dengan rajin belajar, lebih berbakti kepada orang tua, lebih mencintai lingkungan sekolah maupun di rumah, mereka bisa berbagi dengan anak-anak yang lain,” harap Wie Sioeng Jong.
Bermain Sambil Belajar
Para
peserta kamp sangat antusias mengikuti permainan yang diberikan dalam materi
tertentu.
Materi yang diberikan selama kamp adalah materi yang telah dirancang dalam bahasa yang sederhana, salah satunya disampaikan melalui permainan. Terkesan santai namun serius, seperti layaknya bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain. Hal ini dilakukan agar mudah diserap oleh anak-anak. “Kita tidak pernah tahu waktu kecil impian kita seperti apa? Kita mungkin memandang remeh impian itu. Kita juga tidak pernah tahu kemana impian itu bisa membawa kita?” jelas Amelia Devina.
Dalam sharingnya tentang keberanian mewujudkan mimpi, Amelia mengajak peserta kamp untuk mulai melihat diri sendiri, dalam keseharian apa yang disukai. “Apa yang dikerjakan secara natural ternyata kita senang,” tambah Amelia, relawan komite komunitas He Qi Utara 2.
Adapula materi pendidikan karakter tentang berani mengakui kesalahan dan instropeksi diri yang disampaikan oleh Ernie Lindawati. “Kita jangan takut menghadapi kesalahan. Tidak ada orang yang tidak berbuat salah, besar ataupun kecil. Yang terpenting adalah setelah kita tahu kesalahan yang kita perbuat, kita berani mengubah. Kita harus berani menghadapi dan mengakui kesalahan,” kata Mei Rong, sapaan akrabnya.
Nelly
Kosasih memandu sesi renungan malam yang mengajarkan anak-anak untuk masuk ke dalam hati, melihat dan
berpikir tentang orang tua.
Pada malamnya, anak-anak diajak untuk mengikuti sesi renungan malam. Dimana kegiatan ini merupakan suatu renungan yang mengajarkan anak-anak untuk masuk ke dalam hati, melihat dan berpikir tentang orang tua. “Zaman sekarang, kita melihat begitu banyak anak yang luka hati, luka batin, ada yang merasa ketidakadilan, diabaikan, serta apapun emosi itu. Melalui perenungan ini, sebenarnya saya mengingatkan kembali kebaikan ayah ibu mereka. Jangan hanya melihat kejelekan ayah ibu mereka,” jelas Nelly Kosasih, relawan komunitas He Qi Barat 1.
Lebih lanjut Nelly menjelaskan ketika masih kecil, mereka terlihat polos, namun setelah dewasa terpengaruh lingkungan, pengaruh berita, maupun media sosial (medsos). Melalui renungan ini, Nelly ingin mengajak mereka melepaskan emosi dan mengajarkan mereka untuk memaafkan orang tua. “Sebenarnya pikiran itulah yang menentukan bahagia. Setelah mereka melepaskan emosi, saya mengajak mereka ingat suatu momen kebahagiaan bersama orang tua. Mungkin ada ayah ibu di antara mereka sudah meninggal, mereka akan merasa kehilangan. Masukkan kebahagiaan itu di hati mereka, dan mereka membawanya selamanya dalam kehidupan mereka. Jadi mereka bisa merasakan kebaikan orang tua,” tambahnya.
Di akhir renungan, peserta kamp diajak untuk mencurahkan kasih sayangnya kepada orang tua yang dituangkan dalam bentuk surat. Keesokan harinya suratini diberikan untuk orang tua.
Bersyukur dan Sayang kepada Orang Tua
Selama
dua hari kamp, Davin Alexander (kanan) banyak mendapatkan pelajaran tentang
hidup mandiri dan intropeksi diri bila melakukan kesalahan.
Kesibukan orang tua maupun anak itu sendiri seringkali menyebabkan jarangnya interaksi antara orang tua dan anak. Dalam kamp hari kedua ini, orang tua diundang untuk menghadiri kegiatan buah hatinya. Dalam hal ini relawan berharap anak-anak bisa menyampaikan secara langsung rasa cintanya kepada orang tua sebagai wujud hormat dan bakti seorang anak.
“Orang tua bisa melihat anaknya dididik untuk menghargai kehidupan, berjuang untuk masa depannya, dan berbakti kepada orang tua dengan menyampaikan secara langsung perasaan hatinya,” tukas Wie Sioeng Jong.
“Dari materi yang telah kita berikan, kita ingin membangkitkan rasa syukur, rasa sayang kepada papa mama. Dalam kesempatan ini, saya ingin menggunakan acara feng cha atau memberikan teh kepada orang tua, sebagai pengungkapan tanda sayang kepada orang tua yang selama ini orang tua telah berusaha yang terbaik,” sambung Mei Rong.
Friecilia Sugianto menyuguhkan teh dan menyuapkan makanan untuk sang nenek.
Selama dua hari kamp, Davin Alexander (15), siswa kelas 10 banyak mendapatkan pelajaran tentang hidup mandiri dan intropeksi diri bila melakukan kesalahan. “Saya sering bandel, suka membantah mama, kadang-kadang saya nyesel, hingga mengeluarkan air mata. Kemarin saya menulis surat ‘saya salah’ dan berjanji ingin lebih membahagiakan orang tua,” tutur Davin yang telah menjadi anak asuh Tzu Chi pada akhir tahun 2016.
Ia termotivasi untuk melakukan kebajikan dan hal-hal positif saat sesi tur Aula Jing Si. Davin juga menambahkan untuk menjadi orang tua tidaklah mudah. “Semakin tahu, beratnya menjadi orang tua, kita harus lebih menyayangi, menghargai jasa orang tua,” tukasnya.
Sementara itu Elvina (18) yang sejak April 2018 ini menjadi salah satu penerima bantuan pendidikan Tzu Chi mengaku sangat bersyukur memiliki papa yang berhati baik. “Walau sudah hidup berkekurangan, papa masih memikirkan orang lain, memberikan uang kepada orang lain. Padahal papa membutuhkan uang itu. Sekarang papa sedang sakit,” ucap Elvina. Siswi kelas 11 inijuga memberikan kesannya tentang materi yang diterimanya pada kamp.
“Intropeksi diri, berbuat kesalahan dan tidak mengulangi lagi. Saya juga pernah bandel, bolos sekolah tetapi nggak pernah sentuh narkoba, tidak merokok. Saya tidak pernah kayak gitu. Cuma kalau bandel, ya dikit-dikit. Kesalahan itu tidak terlalu besar,” ujarnya.
Di balik pernah bolosnya Elvina, ternyata ia merupakan seorang anak broken home dan menjadi tulang punggung keluarga. Ia mencari nafkah dengan menjadi pemulung ataupun pengamen untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari bersama sang ayah yang mengidap TBC dan adiknya.
Hal yang sama juga dirasakan Friecilia Sugianto (16). “Lebih mengintropeksi diri apa kekurangan diri, dan memperbaikinya, lebih fokus pada tujuan, tidak membuang-buang waktu,” ungkap anak yang bercita-cita menjadi seorang pengacara ini. Siswi kelas 11 yang menjadi anak asuh sejak 2014 ini mengaku senang bisa mengikuti kamp yang bermanfaat ini.
Sisil, sapaan akrab Friecilia tergugah hatinya usai mendengar sharing dari pengungsi Home of Arzu Afganistan. “Saya lebih bersyukur, masih banyak yang di bawah saya. Saya jadi lebih pengen mengembangkan diri lagi mencapai cita-cita saya dan semoga saja bisa membantu semua makhluk yang ada di dunia,” kata Friecilia.
Pada kesempatan ini, Sisil menyuguhkan teh dan menyuapkan makanan untuk sang nenek. Usai menyuguhkan teh untuk sang nenek, Sisil merasa terharu. “Sedih saja. Kita juga sebagai anak pernah melakukan salah, pernah membantah orang tua, ga nurut sama orang tua,” ungkapnya.
Sudah lima tahun Sisil ditinggal orang tuanya bekerjadi Sukabumi. Namun Sisil merasakan ada suatu kehangatan seorang ibu saat memeluk sang nenek. Ia bersyukur masih ada kasih sayang yang didapat dari neneknya selama ini.
Friecilia Sugianto menyuguhkan teh dan menyuapkan
makanan untuk sang nenek.