Bertemu Dewa Penolong

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 

foto
Hok Cun memberikan celengan bambu kepada Hansiang. Lewat celengan bambu ini diharapkan Hansiang bisa turut bersumbangsih membantu orang lain. (tengah).

Mencari penghasilan yang lebih di luar pulau ternyata telah membawa luka bagi seorang ayah dari tiga orang anak ini

Hansiang berusaha berdiri dengan sisa tenaga yang lemah sambil menjulurkan tangannya menyalami Hok Cun, seorang relawan dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Dengan balutan korset yang melingkari pinggang dan wajahnya yang tirus, Hansiang terlihat begitu ringkih. Kakinya bergetar menahan bobot tubuhnya yang belum stabil. Istrinya, Ayu, yang juga berwajah tirus terlihat malu dan canggung saat bertemu Hok Cun. Hari itu adalah masa kontrol pertama Hansiang  setelah seminggu yang lalu ia menjalani operasi besar pembenahan tulang belakang. Setelah menjalani masa yang menyakitkan dan derita yang panjang akhirnya hari itu ia memberanikan diri mengutarakan niatnya untuk pulang ke kampung halamannya di Binjai, Sumatera Utara.

Sebelumnya tak pernah terbayangkan oleh Hansiang kalau bekerja jauh dari keluarga akan mendatangkan penderitaan. Semua bermula sejak hampir dari dua tahun yang lalu, ketika Hansiang mulai berpikir tak boleh ada halangan dalam mengejar harapan. Setelah bertahun-tahun bekerja sebagai juru administrasi di perusahaan perkebunan sawit, Hansiang mencoba mencari penghasilan lebih dengan melamar kerja di perkebunan sawit di Kalimantan Timur dengan posisi yang sama. Ketika itu ia langsung diterima kerja dan mulai merantau dengan harapan meraih rezeki yang lebih baik.

Setelah satu tahun di Pulau Kalimantan, pendapatan Hansiang pun menjadi lebih lumayan. Maka setelah masa kontrak kerja di Kalimantan Timur berakhir, Hansiang kembali mencari pekerjaan di seputar Pulau Kalimantan. Atas niat memberikan kemakmuran bagi ketiga anak dan istrinya Hansiang kembali merantau pada awal tahun 2013. Kali ini ia mendapatkan pekerjaan di perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah. Setelah menjalani masa kerja selama delapan bulan, akhirnya Hansiang memutuskan untuk kembali ke Binjai untuk berkumpul dengan keluarga. Perjalanan udara dari Kalimantan menuju Medan Sumatera Utara membutuhkan waktu yang cukup lama dan harus transit di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Ketika transit inilah semua harapan yang indah berubah menjadi malapetaka.

Terluka Parah
Ketika siuman, Hansiang tak tahu ia berada dimana. Seorang dokter dan petugas rumah sakit menerangkan kalau ia sedang berada di ruang perawatan. Menurut mereka, beberapa petugas keamanan di daerah Pantai Indah Kapuk (PIK) menemukan Hansiang dalam keadaan terkulai mengenaskan di bawah jembatan Tol Bandara Sukarno-Hatta. Ketika itu wajah Hansiang penuh lebam-lebam, darah mengalir ke sekujur tubuhnya, dan dua ruas tulang belakangnya diketahui patah. Petugas mengatakan, Hansiang adalah korban kejahatan. Tapi ketika ditanya bagaimana kejadian itu berawal, Hansiang justru tak dapat mengingatnya sedikit pun. Yang ia ingat hanyalah setelah ia menitipkan telepon genggamnya untuk diisi baterai di Pos Polisi Bandara Soekarno-Hatta, ia segera keluar untuk mencari makan, tapi setelah itu ia tak tahu apa-apa lagi. Dan berhubung telepon genggamnya tertinggal di pos polisi bandara maka keluarga Hansiang pun bisa dihubungi pada hari itu. Ayu dan saudara ipar Hansiang yang ada di Jakarta bukan main cemasnya ketika mendapatkan kabar buruk ini. Adik ipar Hansiang adalah kerabat pertama yang datang datang menemukan Hansiang. Kepada adik ipar Hansiang, dokter menjelaskan bahwa dua ruas tulang belakang Hansiang patah dan harus segera ditangani karena satu ruas tulang remuk hingga menekan saraf tulang belakang. Kondisi ini membuat tubuh bagian kiri Hansiang tidak dapat digerakkan. Tapi untuk menjalani operasi bukanlah perkara mudah, dibutuhkan biaya yang sangat besar. Harapan pun pupus.

foto   foto

Keterangan :

  • Dr. James M. Palealu Sp. OT (kanan) sedang memeriksa hasil operasi di tulang belakang Hansiang (kiri).
  • Ayu (paling kanan), Hansiang berfoto bersama dengan dr. James dan Hok Cun (kanan).

Ketika Ayu tiba di Jakarta, adik iparnya menjelaskan keanyataan ini. Karena tak ada biaya, Ayu memilih membawa Hansiang pulang ke Binjai dan menjalani pengobatan tradisional di ahli patah tulang. Tapi membawa Hansiang dalam keadaan demikian pun bukan perkara mudah. Agar Hansiang  bisa berbaring di pesawat, pihak maskapai meminta mereka untuk membayar sewa dua belas kursi sekaligus. Sampai detik itu Ayu baru sadar, membawa pulang Hansiang pun bukanlah jalan terbaik dan masalah besar sudah hadir di depan mata. Namun ketika kesedihan ini memuncak, harapan baru seolah muncul. Salah seorang kerabat Ayu ternyata seorang relawan Tzu Chi. Ayu pun memberanikan diri untuk menceritakannya dan mengajukan Hansiang  sebagai pasien penerima bantuan. Karena kondisi Hansiang yang sudah kritis maka proses pun menjadi sangat cepat. Setelah diajukan dua orang relawan Tzu Chi langsung menjenguk Hansiang. Dan setelah itu Hansiang diterima sebagai pasien penerima bantuan.  

Hok Cun, seorang relawan Tzu Chi yang biasa membantu menangani pasien penerima bantuan segera menemui dokter spesialis bedah tulang James M. Palealu Sp. OT yang menangani pengobatan Hansiang. Ketika itu Hok Cun menjelaskan tentang misi amal Tzu Chi kepada dr. James dan dr. James  yang baru mengenal Tzu Chi langsung terkesiap, ia takjub sekaligus ingin ikut bersumbangsih. Maka untuk operasi Hansiang, dr. James  memotong separuh dari biaya jasanya. Setelah semua urusan administasi selesai maka seminggu sebelum perayaan Imlek 2014, operasi Hansiang dilaksanakan. Selama lima jam menjalani operasi akhirnya Hansiang siuman dan mendapati dirinya di kamar rawat inap, istri dan saudara iparnya berada di sisi-sisinya. Ini adalah pengalaman yang paling menyentuh hati Hansiang dimana semua orang yang sayang padanya ada di sisinya.

Dewa Penolong
Seminggu kemudian, Selasa 28 Januari 2014, Hansiang dan Ayu kembali bertemu dengan Hok Cun di suatu sudut rumah sakit untuk mengunjungi dr. James. Rencananya hari itu Hansiang akan menjalani pemeriksaan hasil operasi dan menunggu satu keputusan yang penting – rekomendasi dokter yang menjelaskan ia boleh pulang ke Binjai. Saat jam menunjukkan pukul 11 siang, dr. James sudah membuka ruang praktiknya lalu dengan nada yang bersahabat mempersilahkan Hansiang masuk. “Silakkan masuk, tapi harus jalan, jangan duduk di kursi roda,” ajak dr James bersemangat. Hansiang pun mendorong tubuhnya dari kursi roda dengan sekuat tenaga. Perlahan namun pasti akhirnya Hansiang tiba di hadapan dr. James. “Ya harus begitu. Harus lebih sering berjalan dibandingkan berdiam diri,” saran dr James. Hansiang kembali mengangguk.

“Hasil operasinya baik. Bekas lukanya sudah tertutup dengan baik. Hansiang sudah boleh mandi, berjalan dan pulang ke rumah,” kata dr. James. Ayu yang sedari tadi menantikan kata-kata ini langsung tersenyum. “Hari ini kami memang mau pulang ke Medan, Dok,” balas Ayu. Rasa haru pun tak mampu terbendung. Hansiang dan Ayu mengucapkan terima kasih kepada dr. James atas perawatan dan dedikasinya sebagai dokter. Dan terlebih lagi mereka mengucapkan rasa syukurnya bertemu dengan Tzu Chi, karena dari Tzu Chi lah harapan itu kembali bersemi. “Untung ada Tzu Chi. saya seolah bertemu dengan dewa penolong,” kata Ayu.

  
 

Artikel Terkait

Kebahagiaan Mengalir di Pademangan Barat

Kebahagiaan Mengalir di Pademangan Barat

25 Juni 2014 Pertengahan bulan Juni, tepatnya tanggal 15 Juni 2014, Syukuran dan Serah Terima Kunci bagi 19 rumah warga Pademangan, Jakarta Utara dilakukan. Kegiatan ini adalah lanjutan dari program bebenah kampung yang dilakukan oleh Tzu Chi.
Drama Tentang Kasih Sepanjang Masa

Drama Tentang Kasih Sepanjang Masa

31 Januari 2011
Akhirnya saya mendapat kesempatan kedua untuk memahami Sutra Bakti Seorang Anak yang telah diadaptasi dalam bentuk drama. Sulit membayangkan bagaimana sebuah sutra yang panjang dapat dipentaskan dalam sebuah drama berdurasi 50 menit. Tapi menurut teman saya, drama ini dimainkan dengan sepenuh hati oleh para relawan Tzu Chi tanpa mengurangi makna yang terkandung dalam isi sutra itu. ”
Rumah Sakit yang Humanis

Rumah Sakit yang Humanis

31 Mei 2015

Semua Rumah Sakit Tzu Chi dibangun berdasarkan prinsip menghargai jiwa dan mengutamakan kehidupan, dengan misi menjaga kesehatan, menyelamatkan kehidupan, dan mewariskan cinta kasih. Rumah Sakit Tzu Chi juga berusaha mewujudkan pelayanan kesehatan yang berbudaya humanis, berteknologi tinggi, dan bertaraf  internasional.

Cinta kasih tidak akan berkurang karena dibagikan, malah sebaliknya akan semakin tumbuh berkembang karena diteruskan kepada orang lain.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -