Nenek Hawiyah dengan penglihatan yang kurang baik akibat katarak tampak berinteraksi dengan Umi Kalsum dan Puji Lestari.
"Hidup manusia tidak kekal. Bersumbangsihlah pada saat anda dibutuhkan, dan lakukanlah selama anda bisa melakukannya."
-Master Cheng Yen-
Ramadan dan Idul Fitri selalu membawa kebahagiaan dan keberkahan bagi banyak orang. Namun di balik sukacita kebersamaan, ada mereka yang merayakan dalam kesederhanaan, bahkan dalam kesunyian. Itulah yang dirasakan lima lansia di Desa Kernyanyan, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Berangkat dari rasa cinta kasih, para relawan Dharma Wanita Xie Li Kalimantan Timur 2 Rantau Panjang dari Unit Bukit Subur Estate melangkahkan kaki untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka pada Kamis, 27 Maret 2025.
Cuaca cerah seolah memberkati perjalanan para relawan menuju rumah-rumah lansia. Salah satunya Nenek Hawiyah, seorang wanita tangguh. Meski penglihatannya terbatas karena katarak, ia menyambut kedatangan relawan dengan senyum penuh kehangatan.
“Dari mana?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Kami dari Tzu Chi Sinar Mas, Nek. Dari Bukit Subur. Kami datang untuk membawa berkah dan sedikit bantuan untuk nenek, ” jawab Umi Kalsum, salah satu relawan.
Nenek Hawiyah bernyanyi diiringi alat musik sebagai tanda berterima kasih atas perhatian dari relawan.
Meskipun tidak lagi dapat melihat dengan jelas, Nenek Hawiyah memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan rasa syukur dan kegembiraannya. Dengan penuh semangat, ia memainkan alat musik tradisional yang menjadi bagian dari hidupnya. Suaranya lirih, namun penuh makna menggambarkan kisah hidupnya. Ia tinggal bersama seorang anak dan tiga cucu, setelah sang suami berpulang. Kehidupan sehari-hari mereka bergantung pada hasil kebun sang anak.
"Terima kasih banyak ya, Bu. Aku sudah dibantu dan diberi ini semua. Aku sangat senang, bahagia, ndak bisa membalas apa-apa. Nanti Tuhan yang akan kasih kebaikan-kebaikan untuk kalian," ucapnya lirih, namun penuh ketulusan.
Umi Kalsum dan Puji Lestari mengapit Nenek Dut yang sudah dianggap sebagai orang tua sendiri.
Di sudut desa yang lain, ada Nenek Dut, yang tinggal seorang diri di rumah kayu peninggalan suaminya. Usia senja dijalaninya dalam kesendirian karena anak dan cucunya merantau ke kota. Ketika para relawan mengetuk pintu rumahnya, ia tampak terkejut sekaligus bahagia.
"Aku senang ibu-ibu datang. Aku jadi punya teman walaupun sebentar. Aku sendiri di sini, anakku jauh. Lebaran ini mereka gak pulang," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Umi Kalsum menuntun Nenek Dut.
Ucapan itu menyentuh hati Puji Lestari, salah satu relawan yang ikut serta dalam kunjungan itu. Dalam diam, ia merasa ada ikatan yang menghubungkan mereka. Jauh di lubuk hati, ia juga merasakan kerinduan yang sama kepada orang tuanya di kampung.
"Kami sangat bersyukur, karena ternyata kedatangan kami ini juga menjadi penghibur bagi seorang ibu yang merindukan anak-anaknya. Saya pun teringat orang tua saya di kampung. Lebaran kali ini kami juga tidak bisa mudik. Semoga Nenek Dut selalu diberi kesehatan dan panjang umur," katanya sambil menggenggam tangan sang nenek dengan penuh kasih.
Tidak hanya penerima bantuan, kebahagiaan hari itu juga dirasakan relawan yang mengantarkan bantuan.
Hari itu, bukan hanya para lansia yang menerima kebahagiaan, tetapi juga para relawan yang mendapat pelajaran berharga tentang arti kepedulian, kebersamaan, dan cinta kasih. Momen sederhana itu menjadi pengingat bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang menerima, tetapi juga tentang memberi dengan tulus.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, masih banyak sosok seperti Nenek Hawiyah dan Nenek Dut yang menanti uluran tangan dan sekadar sapaan hangat. Semoga semangat berbagi dan kepedulian ini terus menyebar, membawa sinar kebahagiaan bagi mereka yang sering terlupakan dalam kesunyian.
Editor: Khusnul Khotimah