Buku Braille, Kebutuhan Primer Tunanetra

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari

Minggu, 5 April 2015, Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB) Dhammavaddhana, Binus University bekerjasama dengan Yayasan Mitra Netra, dan Yayasan Buddha Tzu Chi mengadakan kegiatan Pengetikan Ulang Buku untuk Tunanetra (PUBT) yang dilaksanakan di lantai 4 Aula Jing Si, Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara.

Minggu, 5 April 2015, Tzu Chi Center diramaikan oleh 893 orang yang datang sebagai relawan dalam satu kegiatan yang didedikasikan untuk para tunanetra. Kegiatan itu diberi nama Pengetikan Ulang Buku untuk Tunanetra (PUBT) yang merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB) Dhammavaddhana, Binus University bekerjasama dengan Yayasan Mitra Netra dan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Sebanyak 80 judul buku diketik pada hari itu. Hasil pengetikan yang dilakukan oleh relawan yang sebagian besar merupakan para mahasiswa ini nanti akan dikonversi dalam huruf Braille berformat buku digital. Hasilnya, bisa diunduh dan dicetak oleh yayasan-yayasan yang menaungi tunanetra. Bisa juga difungsikan dan digunakan dalam Digital Talking Book untuk memudahkan tunanetra mengakses bacaan.

Bring the Light For the Blind

Bukan pertama kali PUBT diadakan untuk menambah referensi buku bagi para tunanetra. Kegiatan ini rutin dilakukan dan masuk dalam Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra, yang tujuannya untuk mengasah kepedulian masyarakat kepada kaum disabilitas, khususnya para tunanetra. Fency (Fellowship of Netra Community), sebuah komunitas sosial yang menjadi partner kerja Yayasan Mitra Netra dalam membantu penyediaan buku-buku Braille, merupakan penggagas dari PUBT yang telah diadakan selama 5 kali. Tarini, perwakilan dari Fency berharap bahwa melalui hal-hal kecil dari lembaran-lembaran buku yang diketik secara berkala bisa menjadi besar dan bisa membantu para tunanetra memenuhi kebutuhan mereka dalam membaca.

Metta Ratana, Ketua Panitia Pelaksana mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan puncak dari rangkaian kegiatan DVSOS (Dhammavaddhana Sosial) 2015, annual program KMB Dhammavaddhana, Binus University. Dan tahun ini mereka memfokuskan diri untuk membuat suatu kegiatan dengan efek berkelanjutan dengan mengusung PUBT sebagai gong DVSOS. “Kalau biasa kita bagi sembako, dampaknya akan habis saat sembako habis,” ucapnya. “Sehingga kita akhirnya berpikir untuk mendonasikan buku, karena buku ini masih bisa dipindahtangankan dan bisa dibaca oleh orang lain sehingga dampaknya bisa lebih panjang dan memberikan kesempatan yang sama untuk mereka,” jelas mahasiswi semester 4 ini.

Sebanyak 893 relawan dari berbagai universitas dan masyarakat umum ikut serta dalam kegiatan Pengetikan Ulang Buku untuk Tunanetra (PUBT). Kepedulian terhadap kaum disabilitas membuat mereka terjun langsung dalam aksi nyata untuk membantu menambah bahan referensi bacaan bagi tunanetra.

Sebanyak 80 judul buku diketik dan hasilnya akan dikonversi dalam huruf Braille berformat buku digital yang nantinya bisa diunduh dan dicetak oleh yayasan-yayasan yang menaungi tunanetra.

Segmentasi acara yang menyasar para tunanetra juga merupakan upaya dari pihak panitia untuk meningkatkan kepedulian dari masyarakat, terutama anak-anak muda. Melalui acara ini, Metta ingin mengajak para relawan ketik untuk lebih perhatian pada lingkungan sekitar. “Kami juga ingin memberikan kesadaran kepada teman-teman untuk lebih bersyukur akan keadaan yang kita punya. Kita harus gan en (bersyukur-red) karena kita jauh lebih beruntung dibandingkan dengan orang lainnya,” tukasnya.

Terbukti dari antusias 893 peserta yang menjadi relawan pengetikan. Salah satunya adalah Jesicca Juventia, Alumni Universitas Atmajaya, Jakarta Pusat. Ia yang sejak kecil sudah akrab dengan kegiatan kemanusiaan mengaku senang telah menjadi bagian dari acara PUBT. “Kegiatan seperti ini sangat bagus, tapi masih jarang diadakan,” ucapnya. Ia berharap nantinya kegiatan serupa bisa semakin banyak dilaksanakan sehingga bisa membantu para tunanetra untuk mengoptimalkan diri, menggali bakat dan bisa belajar dengan lancar.

Kurangnya Ketersediaan Buku Braille

Dalam perkembangannya, pemenuhan kebutuhan sumber ilmu pengetahuan bagi para tunanetra telah bisa didapatkan bukan hanya dari buku Braille. Mereka kini sudah bisa mengakses buku melalui Digital Talking Book atau biasa dikenal sebagai Buku Bicara. “Ada juga aplikasi yang bisa digunakan oleh tunanetra dalam handphone mereka yang juga bisa bicara,” ucap Asih Sutjianti, perwakilan Kementerian Sosial RI yang hadir dalam PUBT. Namun untuk fasilitas ini masih belum bisa diakses oleh seluruh tunanetra yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia. “Buku Braille masih merupakan kebutuhan primer dalam pemenuhan mereka dalam memperoleh informasi, pengetahuan serta menambah wawasan mereka,” imbuhnya.

Pemenuhan kebutuhan primer untuk menambah wawasan para tunanetra hingga kini masih sangat terkendala dengan jenis referensi bacaan yang masih sangat minim. Asih menjelaskan bahwa dalam satu tahun, mereka hanya mampu mencetak sekitar 30 judul buku dengan jumlah seluruh cetakannya sekitar 40 ribu eksemplar. Cetakan itu kemudian mereka bagikan ke shutle tunanetra yang ada di setiap provinsi di Indonesia. Selain karena keterbatasan biaya, keterbatasan SDM dalam mengetik naskah buku juga menjadi kendala. “Kalau dengan momen seperti ini (PUBT) dalam waktu yang kontinyu, ini bisa sangat membantu kami. Bisa menjadi bank naskah untuk kami,” katanya penuh harap.

Suasana ruang pengetikan di lantai 4 Aula Jing Si, Tzu Chi Center. Para relawan pengetikan membawa alat penunjang masing-masing seperti laptop maupun kabel rol.

Di sela-sela proses pengetikan, para relawan juga dihibur oleh penampilan para tunanetra yang berasal dari Panti Sosial Bina Netra, Cawang, Jakarta Timur. Melalui kegiatan ini, para tunanetra merasa dihargai dan dihormati.

Keterbatasan referensi buku bacaan ini benar dirasakan oleh Istiqomah, salah satu tunanetra yang sejak dua tahun lalu tinggal di Panti Sosial Bina Netra, Cawang, Jakarta Timur. “Untuk membaca, kami harus mencari perpustakaan yang menyediakan buku Braille. Masih sangat sedikit sekali,” ujarnya. Setelah menemukan perpustakaan Braille, harapannya untuk membaca novel, bacaan kesukaannya, tidak selalu terpenuhi. “Buku yang tersedia hanya sebatas itu-itu saja. Pembaharuannya masih sangat kurang. Selain itu, bukunya belum ada yang baru lagi, sedangkan kami butuh edisi terbaru,” begitu keluhnya.

Bagi Isti, membaca tidak sekedar menambah pengetahuan baru untuknya. Ia mengaku bisa mengasah imajinasinya melalui membaca. Ia juga selalu mendapatkan hal baru dengan membaca, “Melalui membaca ini saya bisa mendapatkan apa yang belum pernah saya dapatkan,” ungkapnya. Melihat kegiatan ini, ia merasa mendapatkan harapan baru. “Acara ini luar biasa dan bisa menyambung persaudaraan antara mereka yang normal dengan kaum disabilitas. Biasanya banyak orang yang beranggapan bahwa disabilitas itu lemah dan tidak ada apa-apanya. Namun melalui kegiatan ini kami merasa dihargai dan dihormati. Apalagi dengan kebaikan dari kakak-kakak yang sudah bersedia menjadi relawan untuk mengetikkan buku untuk kami. Kami sangat berterima kasih,” tuturnya penuh harap.

Artikel Terkait

Buku Braille, Kebutuhan Primer Tunanetra

Buku Braille, Kebutuhan Primer Tunanetra

07 April 2015 Minggu, 5 April 2015, Tzu Chi Center diramaikan oleh 893 orang yang datang sebagai relawan dalam satu kegiatan yang didedikasikan untuk para tunanetra.
Memiliki sepasang tangan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, sama saja seperti orang yang tidak memiliki tangan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -