Celah Sempit 60 Sentimeter

Jurnalis : Veronika Usha, Fotografer : Anand Yahya
 
foto

Celah selebar 60 cm ini adalah satu-satunya jalan keluar-masuk untuk Hindun dan keluarganya, dari rumah mereka.

Selasa, 16 September 2008, setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang 20 menit, akhirnya kami tiba di Kelurahan Pademangan Barat, Jakarta Utara. Jam menunjukkan pukul 14.30, meskipun hari sudah mulai menjelang sore, namun terik sinar matahari masih juga belum bersahabat dengan kami.

Ditemani Gery, kepala kontraktor Program “Bebenah Kampung” Pademangan, kami mulai menyusuri satu-persatu rumah warga yang mendapatkan bantuan renovasi rumah dari Tzu Chi. Pemukiman kumuh yang berada di seberang sebuah sungai kecil berwarna hitam pekat, adalah lokasi kunjungan pertama kami.

Setelah melewati beberapa deretan rumah, tiba-tiba di depan sebuah celah sempit selebar 60 cm, Gery berhenti melangkah, dan tangannya menunjuk ke dalam celah tersebut sambil berkata. “Ini rumah Hindun (55tahun), salah satu warga yang mendapatkan bantuan rumah kita.”

Dengan pandangan takjub dan tidak percaya, satu persatu dari kami pun mulai melongok ke dalam celah yang hanya bisa dilewati dengan cara memiringkan badan ke samping. Benar kata Gery, di ujung celah tersebut berdirilah sebuah rumah, bahkan bisa disebut hanya sebuah kamar berukuran 3x4 meter, yang dibangun berlantai dua. Di sanalah Hindun dan keluarganya tinggal.

Rasa penasaran mulai menyelimuti kami. Dengan perlahan kami memasuki lorong, untuk menuju ruangan tempat Hindun tinggal. Bau cat masih menempel kuat, ruangan tersebut terasa pengap karena penuh sesak dengan kasur, tumpukan baju, serta magic com yang dijadikan alat untuk memasak.

Di atas sebuah kasur, seorang nenek tua tengah meringkuk tidak berdaya. ”Mari silahkan masuk. Maaf ini ibu saya, Jamilah (80tahun),” ucap Hindun. Sambil memijit kakinya yang sakit karena rematik, Hindun mulai bercerita mengenai kondisi rumahnya yang lama. ”Dulu, rumah kami masih pelur, belum di-ubin. Bangunan yang di atas pun sudah setengah rubuh, kalau dibandingkan dengan yang sekarang rumah kami itu gubuk reyot yang setengah ambruk. Tapi sekarang, karena bantuan Yayasan Buddha Tzu Chi, kami tidak takut lagi tinggal di rumah ini,” tutur Hindun sambil menunjukkan bangunan atas yang kini sudah berdiri kokoh.

foto  foto

Ket : - Saat ini, untuk menghidupi keluarganya Hindun bekerja sebagai seorang buruh cuci dengan penghasilan
           Rp 150 ribu per bulan. Dengan penghasilan seperti ini, jangankan membangun rumah, untuk makan sehari-
           hari saja dia masih kesulitan. (kiri)
         - Di ruangan 3x4 meter dua lantai ini, Hindun dan 6 anggota keluarganya menyandarkan hidup. Selain
           mengurus rumah dan mencari nafkah, Hindun juga harus merawat ibunya yang sudah renta dan sulit
           bergerak. (kanan)

Saat ini Hindun adalah tulang punggung keluarga. Dengan profesi sebagai buruh cuci, Hindun hanya memiliki penghasilan lebih kurang Rp 150.000 per bulan. Dengan pendapatan seperti itu, maka kami tau betapa sulitnya kehidupan Hindun dan keluarga.

Bangunan berlantai dua itu ditempati oleh tujuh jiwa. Empat jiwa berada di ruangan bawah, sedangkan tiga jiwa lagi berada di ruangan atas. ”Sejak dulu, kami tidak pernah memiliki kamar mandi,” ungkap Hindun.

Mendengar hal tersebut, kami pun tersentak. Kami baru menyadari bahwa sedari tadi kami belum melihat sebuah kamar mandi di bangunan ini. ”Biasanya kami pergi ke WC umum di depan. Tapi kalau ibu, dia buang air besar dan kecilnya pakai kaleng bekas. Maklum, dia sudah tidak bisa berjalan lagi,” jelas Hindun, menjawab segala pertanyaan yang tengah berputar di kepala kami.

Sebenarnya wanita asli Tegal ini bisa meninggalkan tempat tersebut dan ikut dengan anak semata wayangnya ke Lampung, kalau dia mau. Tapi ternyata cintanya kepada sang bunda, jauh lebih besar dibandingkan kepada darah dagingnya. ”Biarlah anak saya bersama istrinya. Saya tidak mungkin meninggalkan nenek-nenek ini sendirian, kasihan dia sudah tidak bisa apa-apa lagi,” ucap Hindun sambil menarik selimut dan menutupi kaki sang bunda.

foto  foto

Ket : - Tidak adanya kamar mandi yang layak di beberapa rumah warga, menginspirasi Tzu Chi untuk membangun
           sebuah MCK umum yang bisa dipergunakan oleh warga, termasuk keluarga Hindun. (kiri)
         - Kesulitan ekonomi yang menghimpit keluarga Hindun, membuat Siti Aliah, putri dari Muhammad Purian dan
           Siti Fatimah, adik Hindun, kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke SLTP. (kanan)

Pemandangan yang sungguh mengharukan. Hindun tetap menyimpan semangatnya untuk menjaga sang bunda dan menjalani hidupnya yang keras.

Di tengah pembicaraan kami dengan Hindun, mataku sempat menangkap sosok gadis kecil yang tengah asyik memperhatikan kami. Dia adalah Siti Aliah (12 tahun), salah satu anak dari adik Hindun. Kesulitan yang menghimpit keluarga Hindun ternyata juga telah merampas cita-cita gadis manis berambut panjang ini. Ia terpaksa tidak lagi melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) karena tidak lagi memiliki biaya.

Berada di dalam rumah Hindun selama 30 menit, ternyata membuat setengah baju kami basah, bermandikan keringat. Kami tidak habis pikir, bagaimana para wanita berumur lanjut ini bisa tidur nyenyak di dalam ruangan tersebut. Tapi seperti yang diutarakan Hindun. ”Ini jauh lebih baik dibandingkan rumah kami sebelumnya.”

Besarnya rasa syukur inilah, yang membuat Hindun dan keluarga bisa bertahan menghadapi kerasnya kehidupan selama ini.

 

Artikel Terkait

Mantap Menjadi Relawan TIMA Bandung

Mantap Menjadi Relawan TIMA Bandung

25 Juli 2022

TIMA Bandung mengajak 30 calon anggota barunya berkunjung ke Aula Jing Si, di Tzu Chi Center PIK, Jakarta. Di sini mereka diperkenalkan tentang Tzu Chi melalui tur Aula Jing Si dan Tzu Chi Hospital.

Asiknya Berbelanja Sambil Beramal

Asiknya Berbelanja Sambil Beramal

18 Agustus 2011 Menurut salah satu pengunjung bazar, Victor Tatuah (48), bazar ini mempunyai misi yaitu agar masyarakat lebih sadar lagi arti dari sebuah pelestarian lingkungan. Himbauan tersebut bisa dilakukan dengan cara membiasakan diri menjalani hidup dengan bervegetarian.
Banjir Jakarta: Manusia Adalah Makhluk Sosial

Banjir Jakarta: Manusia Adalah Makhluk Sosial

31 Januari 2013 Di saat bencana seperti sekarang ini semakin banyak orang yang tidak terkena banjir juga turut bersumbangsih melalui sumbangan makanan.
Orang yang mau mengaku salah dan memperbaikinya dengan rendah hati, akan mampu meningkatkan kebijaksanaannya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -