Celengan Bambu Keliling
Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto Sembari berdagang, Lim Cun Bie juga mengajak para pelanggannya untuk berdana dalam celengan bambu Tzu Chi. Cara ini dilakukannya untuk membalas budi, setelah putrinya yang menderita tumor rahim dibantu Tzu Chi. | Sepintas tak ada yang istimewa dari cara Liem Cun Bie berdagang siomay, kecuali sepeda motor keluaran tahun 1990 yang dibelinya pada tahun 2006 seharga 4 juta rupiah yang menjadi pengganti sepeda tuanya. Lainnya, sama seperti umumnya para pedagang siomay yang kerap menjajakan dagangannya keliling kompleks, perumahan, dan perkampungan di Jakarta. Dua buah rak –dandang dan kotak kayu– yang mengapit bagian belakang motornya berisi siomay, bumbu, piring, dan juga sendok. Di depan motor, setumpuk kerupuk juga tersedia bagi pembeli yang ingin menikmati makanan ini secara komplit. |
Bercat warna biru, rak kayu yang bisa dibongkar pasang itu menjadi tempatnya membawa perlengkapan dagang. Tepat di belakang rak kayu, terpasang sebuah triplek melamin berwarna putih dengan tulisan berwarna merah di depannya. “Somay”, mungkin inilah cara Liem Cun Bie mempromosikan dagangannya. “Mendingan ditulisin juga nomor teleponnya, Pak. Jadi kalo ada yang mau pesan, tinggal telepon aja,” saran Atmojo, salah seorang kru DAAI TV Indonesia, saat kami meliputnya berdagang di kawasan perumahan elit di daerah Pluit, Jakarta Utara. Cun Bie pun tersenyum dan mengangguk setuju. Sebuah tiang kayu tercagak tegak di tengah-tengah rak dagangan. Dengan sebuah payung yang selalu siap jika sewaktu-waktu turun hujan, tiang ini sangat vital untuk melindungi Lim Cun Bie dan dagangannya. Tapi ada yang lebih menarik dari semua perlengkapan Lim Cun Bie berdagang, pria berumur 47 tahun ini juga mengikatkan sebuah “bubu” (celengan bambu) berlogo Tzu Chi bertuliskan “Dana Kecil Amal Besar”. “Ya, ini untuk pelanggan-pelanggan saya yang mau berdana, nggak dipaksa, yang mau aja,” jawab Cun Bie lancar sewaktu saya tanya maksudnya menaruh celengan bambu Tzu Chi di rak dagangannya. “Anak saya dah dibantu sama Tzu Chi, jadi saya juga mau bantu ngumpulin dana untuk bantu orang lain yang membutuhkan,” pungkasnya. Meski celengan bambu ini tak telalu besar, namun rupanya cukup menarik perhatian para pelanggan. “Kalo yang nggak tahu, saya jelasin kalo ini dana untuk Tzu Chi, untuk bantu orang, kayak anak saya. Tapi, ada juga yang dah kenal Tzu Chi dan langsung nyumbang,” terang Liem sambil menyeka keringatnya. Betul saja, tak sedikit pembeli siomaynya yang juga menyumbangkan uangnya ke dalam celengan bambu. Ket : - Sebelum berangkat berdagang, Lim Cun Bie memasang celengan bambu di tiang gerobak dagangannya. Penyakit yang Merenggut Keceriaan Merasa benjolan ini bukan penyakit biasa, sang dukun pijat pun angkat tangan dan menyarankan kepada keduanya, Cun Bie dan Mi Lan untuk memeriksakan kondisi putri mereka ke dokter. Mengobati penyakit biasa, mungkin Cun Bie dan Mi Lan tak terlalu berat, tapi harus membiayai biaya pengobatan penyakit seperti tumor, jelas mereka kesulitan. Penghasilan Cun Bie dari berdagang siomay hanya cukup untuk biaya sekolah dan makan sehari-hari keluarga ini. Ditambah penghasilan Mi Lan sebagai tenaga administrasi di percetakan pun tak jua membuat keduanya mampu membiayai pengobatan putri mereka. Dari sini kemudian jalinan jodoh keluarga ini terjalin dengan Tzu Chi. Hari-hari Tere di sekolah pun berubah. Gadis cilik yang semula ceria ini tak bisa lagi belajar dan bermain seperti teman-teman sekelasnya. Menurut Irene Sumirah, wali kelasnya, Tere kerap kali tak masuk sekolah untuk izin berobat ke rumah sakit. “Dalam seminggu pasti ada izin nggak masuknya,” terang Irene mahfum. Meski begitu, di sekolah pun Tere tak pernah mengeluh ataupun meminta perhatian khusus dari guru. Irene pun terkejut kala mengetahui jika salah satu murid di kelasnya –seluruhnya 45 orang– ada yang mengidap penyakit tumor rahim. “Saya baru ngalamin punya murid yang kena penyakit seperti ini. Mamanya kalo cerita sering nangis, tapi kami cuma bisa bantu doa aja,” terang Irene prihatin. Karena kerap absen, tak heran jika Tere akhirnya sering ketinggalan pelajaran. Sebagai guru, Irene punya taktik sendiri agar Tere bisa mengimbangi pengetahuan teman-temannya. Caranya, “Saya sarankan untuk pinjam catatan atau buku teman-temannya. Terus juga harus banyak belajar di rumah.” Tere sendiri tak terlalu khawatir ketinggalan pelajaran, sebab ia bisa bertanya tentang pelajaran di sekolah kepada kakaknya, Evelyn. “Kadang juga cari sendiri,” sahutnya. Di mata Irene, Tere adalah sosok anak yang baik dan cenderung pendiam. “Dia nggak berani untuk bertanya, tapi tertib di kelas dan nggak mudah terpengaruh sama teman-temannya,” jelasnya. Ket : - Dengan menggunakan sepeda motor, Lim Cun Bie berkeliling menjajakan dagangannya ke daerah Pluit, Sejak Kecil Sering Sakit Sewaktu berumur 11 bulan, Tere terkena muntaber. Sembuh dari muntaber, Tere terserang batuk yang tak kunjung sembuh. “Batuknya nggak baek-baek, trus dirontgen dan kata dokternya ada flek di paru-paru,” kata Mi Lan berkisah. There pun harus menjalani pengobatan selama 6 bulan, dan tak boleh sekalipun putus meminum obat. Sekali saja pengobatannya terputus, maka proses penyembuhannya akan semakin panjang karena harus memulai dari awal lagi. Meski telah sembuh dari fleknya, penyakit batuk, panas, dan pilek tak pernah absen menyambangi tubuh Tere. Menginjak usia 3 tahun, barulah kondisi kesehatan Tere mulai membaik. Dia sudah mulai jarang sakit-sakitan. Berat badannya pun meningkat drastis. Kedua orangtuanya pun mulai merasa tenang dan tak khawatir. Saat itu Tere sudah bisa bermain seperti anak-anak seusianya. Tapi sekali lagi, cobaan kembali mendera keluarga sangat sederhana ini. Menjelang masuk Sekolah Dasar, mulai terlihat ada benjolan di tubuh siswi SDS Strada Tangerang, Banten ini. Sejak itu, kehidupan keluarga ini pun menjadi semakin sulit. Mi Lan yang semula bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah percetakan di daerah Pluit terpaksa mengundurkan diri demi menemani dan mengurusi pengobatan putrinya. “Bolak-balik ke (RS) Cipto terus, seminggu sekali,” jelas Mi Lan beralasan. Alhasil, keluarga ini pun mesti kekurangan pendapatan sebesar Rp 1 juta sebulan dari gaji Mi Lan bekerja. Bahkan sejak tidak bekerja, Mi Lan terpaksa meminta keringanan uang bayaran sekolah. Beruntung pihak sekolah mengabulkan hingga untuk biaya pendidikan, Tere hanya dikenai uang kegiatan saja. Ket : - Theresia sedang menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Irene, wali kelasnya. Murid kelas 1 SDS Strada Bingung tak memiliki biaya, Liem Cun Bie dan Mi Lan pun mencari berbagai cara untuk kesembuhan putrinya. Di tengah kegundahan itu, nasib baik bertandang padanya. Tanpa sengaja, Liem Cun Bie yang biasa berdagang siomay di daerah Pluit, bertemu dengan Acun, salah seorang relawan Tzu Chi yang kebetulan juga tetangga dekatnya di Tangerang. Acun ingat, kala itu Cun Bie berkata, “Acun, gue mau nanya. Anak gue ada benjolan di perutnya, tapi gue nggak ada biaya.” Oleh Acun, Cun Bie kemudian disarankan untuk mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dan mengajukan permohonan bantuan pengobatan ke kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Karena tempat tinggalnya berada di wilayah Tangerang, maka disarankan untuk mengajukannya ke Tzu Chi Tangerang. “Awalnya saya kira hanya hernia,” tebak Acun kala itu. Tumor Monster Dari sini pemeriksaan rutin dilakukan. Dimulai dari pemeriksaan USG abdomen (perut), tapi juga masih belum ketahuan jenis penyakitnya. Barulah jelas bahwa benjolan yang bersarang di dinding rahim Tere itu ternyata sejenis tumor teratoma, atau yang dikenal juga sebagai tumor monster –ada rambut dan tulang belulang dalam benjolan setelah dilakukan pemeriksaan sistogram. “Saya sempat tanya sama dokternya, kok bisa anak saya sakit kayak gini (tumor rahim –red)?” ujar Mi Lan heran. Oleh dr Iskandar, dokter yang menangani, dijelaskan bahwa tumor ini merupakan penyakit bawaan sejak Tere masih di dalam kandungan. Ket : - Acun, relawan Tzu Chi menyerahkan bukti sumbangan dari Tzu Chi yang diberikan oleh Cun Bie setiap Maka sejak Januari 2009, Tere harus bolak-balik RSCM untuk melakukan pemeriksaan dan kontrol atas penyakitnya. Barulah sebulan kemudian, tepatnya 19 Februari 2009, dokter memutuskan untuk mengoperasinya. Tumor sekepalan tangan orang dewasa itu pun berhasil diangkat dari tubuh Tere. “Tenang saya sekarang, dah nggak ada apa-apa. Paling saya harus ngejagaiin dia ini hati-hati,” kata Mi Lan. Tere pun kini sudah membaik dan tumbuh sehat seperti anak-anak lainnya. Hanya untuk berjaga-jaga, Mi Lan belum mengizinkan putrinya untuk berolahraga. Berat badan Tere pascaoperasi pun terus meningkat. “Kata dokter sih dah nggak papa, tapi saya takut jahitannya lepas,” aku Mi Lan. Ingin Membantu Orang Lain Oleh Acun kemudian dijelaskan bahwa dana Tzu Chi diperoleh dari para donatur. “Siapapun boleh berdana, yang penting punya niat tulus,” tegas Acun. Mendengar hal ini, Cun Bie langsung meminta celengan bambu kepada Acun untuk ikut berdana. “Setiap kali pulang dagang, saya selalu sisihin buat di celengan bambu,” terang Cun Bie. Dari rata-rata Rp 60-70 ribu penghasilannya berdagang, Cun Bie selalu menyisihkannya ke dalam celengan bambu. Ket : - Kan Mi Lan tak kuasa menahan tangis saat menceritakan cobaan yang dialami oleh putrinya, Theresia. (kiri) Hasilnya, setelah 3 bulan menabung, celengan bambu itu pun penuh. Jumat, 3 April 2009, Cun Bie, Mi Lan, dan Theresia membuka celengan bambu mereka. Hasilnya, Rp 99 ribu langsung mereka serahkan kepada Acun untuk disumbangkan kepada Tzu Chi. Tidak hanya itu, Cun Bie pun merasa dia harus membantu Tzu Chi mencari donatur. “Saya tanya sama Achun, boleh nggak kalo saya pasang celengan bambu di motor saya?” tanya Cun Bie. Mendengar hal ini, Acun pun merasa senang dan langsung mengiyakan. “Saya pikir nggak masalah, malah bagus jadi bisa menggalang banyak hati untuk berbuat kebajikan,” kata Acun. Maka, sejak itu para pelanggan siomay Cun Bie dapat melihat hal yang berbeda di rak tempatnya berdagang. Sebuah celengan bambu selalu siap tergantung di tiang gerobak siomaynya. “Saya nggak malu, ini kan juga untuk bantu orang lain. Saya dah dibantu Tzu Chi, saya juga mau bisa bantu orang lain,” tegas Cun Bie mengutarakan alasannya berbuat demikian. Mi Lan pun setuju dan mendukung tekad suaminya. “Kalau nggak dibantu Tzu Chi, gimana bisa bayar operasinya,” ungkap Mi Lan. Wajahnya yang putih mulai memerah dan tak lama, butiran air mata jatuh ke pipinya. “Kita dah ditolong, nggak akan lupalah. Saya siap bantu apa aja untuk Tzu Chi. Kalo ada bantu dana, kalo nggak ya bantu tenaga saya juga siap,” kata Cun Bie bertekad. | |
Artikel Terkait
Jalinan Jodoh Baik BNN dan Yayasan Buddha Tzu Chi
13 Agustus 2014 Jalinan jodoh baik mempertemukan Yayasan Buddha Tzu Chi dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI Jakarta serta rombongan dari Tzu Chi University of Taiwan untuk membahas jumlah pecandu narkoba yang peningkatannya kian hari kian mengkhawatirkan.Hari Tzu Chi di Santa Rosa
28 Mei 2014Wajah-Wajah Bahagia di Pelestarian Lingkungan
23 April 2019Walaupun masih seperti bayi, para relawan He Qi Utara 1 optimis bisa terus mengembangkan gerakan Orang Tua Penuh Berkah. Paling tidak mereka bisa membagikan inspirasi ini kepada masyarakat luas untuk ‘yuk saling bergandengan tangan menyelamatkan bumi yang sedang sakit’. Kegiatan yang dilakukan setiap hari Selasa tiap pekan itu juga diharapkan bisa menggalang lebih banyak Bodhisatwa yang peduli akan pelestarian lingkungan.