Cinta di Saat tak Terduga

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Djaya Iskandar, Remo, Salim (Tzu Chi Batam)
 
 

fotoAnimar (kiri), sangat berharap bisa kembali melihat dan mengajar mengaji. Ia ingin sekali kembali mengaji dan menikmati indahnya kaligrafi Alquran.

Animar adalah nenek berusia 75 tahun yang memiliki semangat laiknya wanita paruh baya. Saya banyak belajar darinya tatkala ia mengatakan usia boleh digilas zaman, tetapi semangat tak boleh lekang oleh waktu. Ketika itu saya tak percaya kalau pengalaman hidup Animar mampu menginspirasi pola pikir saya yang modern. Terlebih ketika ia berkisah tentang suaminya yang telah meninggal, ia menuturkannya dengan wajah yang berseri-seri. Saya tertawa dalam hati. Tapi setelah itu saya tatap wajahnya dalam-dalam dan amati tingkah polahnya.

 

Justru semakin saya simak ceritanya, semakin saya paham kalau humor merupakan kekuatan yang membuatnya mampu melewati semua rintangan hidupnya. Dan akhirnya, saya pun yakin kalau ia memiliki sejumput pengalaman yang indah untuk didengarkan.

Menjalani Hidup Seorang Diri
Dua puluh tahun yang lalu adalah masa-masa sulit bagi Animar. Sahabat kehidupan sekaligus ayah dari 6 buah hatinya pergi untuk selamanya karena tutup usia. Sebagai seorang ibu tak ada pilihan lain selain membanting tulang demi mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Dan sebagai seorang istri ia membuktikan kesetiaannya dengan menjadi anggota majelis taklim (tempat pengajaran atau pengajian bagi orang-orang yang ingin mendalami ajaran-ajaran Islam sebagai sarana dakwah dan pengajaran agama) sesuai amanat dari almarhum suaminya. Di tempat inilah Animar yang mencintai Islam sebagai wujud kasih Tuhan mendalami Alquran. Bergabung di majelis ini membuat Animar semakin mahir membaca Quran, bahkan ia telah hafal setengah dari ayat-ayat yang dituliskan di Alquran. Masyarakat pun memandangnya sebagai guru ngaji yang bisa diandalkan dan mengangkatnya sebagai Ketua Majelis Taklim.

Tapi sayang, usia telah melapukkan penglihatannya. Perlahan namun pasti mata kiri Animar tak dapat melihat lagi karena katarak. Ia tak mampu untuk membiayai operasi katarak yang terbilang mahal, tapi berhubung anaknya kerja di Batam dan memperoleh informasi ada operasi katarak gratis bagi warga tidak mampu di salah satu rumah sakit swasta, Animar segera menuju Batam untuk mengikuti operasi katarak. Sayangnya biaya hidup di Batam cukup tinggi dan Animar tak sanggup untuk kembali ke kampung halamannya di Kabupaten Agam, Sumatera Barat selepas operasi. Animar tak lagi mengajar ngaji meski ia selalu merindukan masa-masa itu. Di tengah kerinduannya yang amat sangat, rintangan kedua pun datang ketika mata sebelah kanannya terkena katarak pada tahun 2010. Tak terperi kegalauan hati Animar. Ia bukan saja ingin kembali melihat kampung halamannya, tapi juga kembali mengabdikan diri sebagai guru ngaji.

foto    foto

Keterangan :

  • Perhatian adalah obat untuk membunuh rasa khawatir dan takut pasien di saat baksos (kiri).
  • Berkomunikasi dengan ramah dan berempati adalah cara mempraktikan Dharma. Dan semua relawan Tzu Chi selalu mempraktikannya dalam setiap kesempatan (kanan).

Ia marah dan merasa frustasi. Tapi semakin ia frustasi semakin ia merasa jauh dari kampung halamannya. Selama penglihatannya terbatas Animar selalu merasa tak cukup lengkap menyusuri keindahan Alquran. Namun semakin ia merasa sedih, ia semakin merasakan besarnya kasih yang diberikan oleh anak-anaknya. Inilah makna yang didapat oleh Animar – cinta akan selalu datang di saat-saat yang tak terduga. Di saat ia kehilangan sesuatu yang dicintainya, ia justru mendapatkan cinta dalam wujud yang lain.

foto   foto

Keterangan :

  • Semua relawan mendapatkan tugas melayani pasien, karena dengan demikian mereka baru merasakan indahnya saling berbagi (kiri).
  • Di setiap baksos kesehatan sesungguhnya mengajak setiap orang untuk merendahkan hati dan memahami sesama(kanan).

Doa dan harapan ternyata menjawab keinginan Animar. Putranya mendapatkan informasi kalau Tzu Chi mengadakan baksos operasi katarak pada 16-18 Maret 2012. Setelah semua persyaratan administrasi dipenuhi, Animar pun mengikuti operasi katarak pada Jumat 16 Maret dan kembali memeriksakan penglihatannya pada hari Sabtu. Hari itu ia berkata kepada saya kalau sesungguhnya ia memetik banyak hikmah dari setiap jengkal hidupnya. Pergi meninggalkan kampung dan menderita katarak membuat Animar sadar kalau ia dibutuhkan oleh masyarakat – sang ustazah sebagai pemuka agama di kampungnya selalu berharap kalau ia bisa kembali dan memimpin warganya. Animar juga mengatakan kalau Tuhan juga sangat menyayanginya dengan mempertemukannya dengan Tzu Chi.

Meski ia penuh humor, tetapi kata-kata yang dilontarkannya memiliki banyak makna. Setelah terbebas dari katarak Animar tak memiliki banyak harapan di usianya yang senja kecuali pulang ke kampung halamannya dan kembali melihat indahnya kaligrafi dari ayat-ayat suci Alquran. “Alhamdulillah saya sudah bisa melihat. Saya sudah rindu kampung, rindu masyarakat,” katanya sambil tersenyum bagaikan seulas benang lembut yang tergantung melambai.

  
 

Artikel Terkait

Banjir Jakarta: Mengungsi di Tzu Chi Center

Banjir Jakarta: Mengungsi di Tzu Chi Center

20 Januari 2013
Heni bersama putri dan saudarinya baru tiba di Tzu Chi Center Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara sekitar pukul 3 dini hari. Ia adalah salah seorang warga dari Kampung Muara Baru. Pada hari Kamis pagi 17 Januari, air mulai masuk ke kampung Muara yang terletak persis di belakang bendungan Pluit, Jakarta Utara.
Beramal Tiada Putus Melalui Dana Abadi

Beramal Tiada Putus Melalui Dana Abadi

09 Juli 2019
“Saya sama sekali tidak merasa rugi karena apabila saya sudah tiada (meninggal), saya masih bisa berdonasi untuk Tzu Chi. Bahkan kebaikannya bisa berlipat karena Program Dana Abadi ini,” kata Hoklay, salah satu relawan Tzu Chi yang mengikuti Program Dana Abadi.
Mampu melayani orang lain lebih beruntung daripada harus dilayani.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -