Cita-cita Aris
Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
|
| |
Arisdianto keluar kelas paling akhir dari rekan-rekannya. Sembari memanggul bungkusan berisi pakaian-pakaian layak pakai yang diterimanya, siswa kelas 6 SD Dinamika ini melangkah pulang ke rumahnya yang berada tak jauh dari sekolahnya— di dalam lingkungan TPAS Bantargebang. Menyusuri tumpukan-tumpukan sampah, Aris kemudian berbelok di sebuah gang padat penduduk yang hampir semua rumahnya terbuat dari anyaman bambu dan beratapkan terpal plastik. Bau tak sedap membekap lingkungan tersebut. Namun hal itu tak mengurangi keceriaan para penghuninya, terutama anak-anak. Setelah melewati dua tiga rumah gubuk, sampailah Aris di rumah neneknya, Tinah (60). Rumah itu pun sama persis dengan rumah-rumah lainnya di tempat tesebut. Tumpukan sampah-sampah plastik di samping rumah menjadi pemandangan yang lumrah di daerah ini. Sejak ibunya meninggal dunia tahun lalu, Aris memang memilih untuk tinggal bersama neneknya, meski rumah ayahnya sendiri berada persis di sebelah rumah sang nenek. “Kalau di sini mungkin lebih rame, banyak yang perhatiin dia,” ujar Tinah beralasan. Menurut Tasman (34), ayah Aris, istrinya meninggal akibat penyakit typhus. Meski sempat dirawat di rumah sakit umum di Bekasi selama 3 hari, namun nyawa ibu Aris itu tidak bisa tertolong lagi. Sejak saat itulah Aris memilih tinggal bersama nenek dan sepupu-sepupu lainnya di rumah sang nenek. Meski begitu, Tasman tetap bertanggung jawab untuk membiayai kebutuhan sehari-hari putranya tersebut.
Keterangan :
Semangat Sekolah Aris sendiri bercita-cita ingin menjadi seorang pemain sepakbola. Cita-cita yang hampir dimiliki oleh mayoritas anak-anak di lingkungan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Bantargebang Bekasi ini. “Enak aja (jadi pemain bola), “ jawab Aris tatkala ditanya mengapa bercita-cita ingin menjadi pemain bola. Tinah sendiri sangat mendukung Aris untuk bersekolah, namun sambil tersenyum ia berharap Aris tak menjadi pemain bola, tetapi menjadi seorang guru ataupun profesi lainnya. “Pengennya mah jangan jadi pemain bola, pengennya mah biar pintar aja supaya bisa sukses, jadi anak yang soleh dan kalau sudah besar membantu orang tua,” harap Tinah sembari menggendong cucu dari anaknya yang lain.
Keterangan :
Dukungan agar Aris bisa bersekolah lebih tinggi juga diungkapkan ayahnya. Tasman yang berprofesi sebagai pemulung, sudah jauh-jauh hari melarang Aris untuk “menambang” (istilah warga Bantargebang untuk pekerjaan memulung). Meski di Desa Ciketing Udik yang dekat dengan area TPA Bantargebang banyak ditemukan anak-anak yang turut memulung untuk membantu perekonomian keluarganya, namun bagi Tasman hal tersebut sangat diharamkannya. “Nggaklah, jangan kasihan. Biar saya aja yang ngerasain kerjaan seperti ini, kalau bisa anak saya harus lebih baik dari saya,” tegas Tasman. Pria asal Indramayu Jawa Barat ini berprinsip agar Aris bisa menikmati masa kanak-kanak seperti anak-anak lainnya: bermain dan belajar. “Jujur saja kalau saya cuma lulusan SD, tapi itu dulu karena nggak ada biaya dan waktu itu sekolah mahal. Kalau sekarang kan sekolah banyak yang gratis,” kata Tasman. Tasman sendiri sudah mencoba berbagai profesi sebelum akhirnya menekuni profesi pemulung. Mulai dari berdagang asongan, buah dingin, sampai berjualan gorengan pernah dilakoninya. “Tapi itu, sepertinya memang dah nasib saya untuk kerja seperti ini,” ungkapnya. Dari penghasilan memulung ini, setiap minggu Tasman bisa memperoleh hasil 300 – 400 ribu rupiah per minggu. “Yang penting kalau kerja gini jangan malas aja, kalau malas ya susah,” ujar Tasman. Setiap hari sejak pukul 6 pagi sampai 5 sore Tasman berjuang untuk mencari nafkah dengan mengais-ngais tumpukan sampah bersama ribuan pemulung lainnya di TPAS Bantargebang. Beratnya pekerjaan yang dilakoni inilah yang menggugah kesadaran Tasman untuk berupaya memperjuangkan masa depan anaknya untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Dan satu-satunya jalan untuk memutus rantai belenggu itu adalah melalui pendidikan. “Saya akan berupaya sekuat tenaga supaya anak saya bisa terus sekolah. Mudah-mudahan anak saya bisa dapat pekerjaan yang lebih baik, cukup bapaknya aja yang kerja seperti ini,” tekadnya.
|
Artikel Terkait
Tidak Larut dalam Sedih
12 November 2014Kebakaran yang melanda RT 14/06, Kelurahan Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara pada Sabtu malam (8/11) memaksa 121 kepala keluarga mengungsi akibat rumahnya hangus dilalap si jago merah. Selain kerugian materil, kebakaran ini juga memakan korban jiwa.

Suara Kasih: Kembali Pada Kondisi Batin yang Damai
15 Maret 2013 Anak-anak setempat sangat menghargai sepatu mereka. Melihat cara insan Tzu Chi memerhatikan sekelompok anak-anak itu, itulah cinta kasih. Meski hidup di tengah penderitaan, tetapi curahan cinta kasih dari insan Tzu Chi membuat mereka bagai merasakan kehangatan mentari di musim dingin.