Di Balik Kepergian Doni

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 
 

fotoUntuk mengisi waktu luangnya, Tuti turut menyibukkan diri bersama para penghuni kontrakan mengerjakan orderan dari pabrik garmen.

Meski masih sedih, Tuti Roswati terlihat tegar menjalani aktivitas sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga. Sambil bersimpuh, Tuti tersenyum dan bercakap-cakap dengan nada yang lemah kepada 3 orang wanita muda di hadapannya. Tangan kirinya teguh memegang sehelai mukena berwarna kuning dan tangan kanannya secara gemulai mencabuti helai demi helai benang yang menempel di mukena itu.

Sejak beberapa tahun yang lalu Tuti memang tidak memiliki pekerjaan tetap. Satu-satunya pendapatan yang dapat ia andalkan berasal dari setoran 7 pintu kamar kontrakan yang ia miliki. Untuk mengisi waktu luang, Tuti melibatkan diri pada kesibukan para penghuni kontrakannya sebagai buruh harian lepas.

Saat berjumpa dengannya, tak sampai hati saya menatapnya. Wajahnya memelas, kulitnya pucat sepucat susu. Sorot matanya layu berhiaskan kantung mata yang sedikit menggelantung. Saya tatap dalam-dalam matanya. Tetapi tidak saya temukan dirinya dan sesal akan kehilangan putra pertamanya. Saya justru melihat bayang-bayang Tzu Chi. Sebuah imajiner yang menunjukkan rasa syukur menempel di pelupuk matanya.

Dengan ramah Tuti mempersilakan saya memasuki ruang tamunya. Perlahan-lahan ibu dari dua orang anak ini mulai menceritakan kisah hidupnya. Semakin dalam ceritanya, suaranya pun semakin berat terputus-putus tertahan di kerongkongan. Namun cerita itu terus bergulir bagaikan air yang bergemuruh menyiratkan kerinduan. Atau semilir angin yang terus menghembuskan aroma luka. Dari sinilah Tuti mulai berkisah.

Kenangan Bersama Doni
27 tahun yang lalu melalui persalinan normal, Tuti melahirkan putra pertamanya yang diberi nama Doni Hermawan. Bayi itu lahir dengan wajah yang tampan. Berkulit putih dan bertubuh gemuk. Semasa kecil hidup Doni penuh bergelimangan madu. Berhubung orang tuanya memiliki usaha yang cukup mapan, Doni kecil selalu mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup. Belajar atau bertamasya bersama adalah masa-masa indah yang selalu dinikmati Doni.

Di saat liburan panjang, Tuti bersama suaminya Endang Suherman lebih sering mengajak Doni keluar pulau untuk mengunjungi bibinya yang berdinas di Palu, Sulawesi Tengah. Mengarungi samudera luas atau mengunjungi tempat-tempat eksotik di Palu berama Doni menjadi kenangan terindah sekaligus memilukan hati Tuti. Tuti masih ingat betul bagaimana Doni riang gembira berlari bersamanya, dengan lincah bertingkah polah sebagai anak yang manis, dan menanyakan semua hal yang ingin ia ketahui. Kini kenangan itu bagaikan rol film yang sesuka hati kembali berputar di memori Tuti dan tak jarang kenangan itu menyisakan air mata di kedua pipinya.

foto  foto

Ket : - Saat malam hari tiba, perasaan Tuti selalu diselimuti kegalauan. Karena di tengah kesunyian berbagai             kenangan tentang Doni selalu bermunculan. (kiri)
         - Doni saat bersama dengan ayahnya di pelabuhan Ujung Pandang. Kenangan ini begitu membekas di             hati Tuti. Sampai ia tak sampai hati untuk mengenang kembali kisah manis itu. (kanan)

Musibah Datang
Tahun 2007 adalah masa-masa penuh perjuangan bagi Tuti dan Doni. Di pagi hari saat bangun tidur, Doni mengeluhkan mata kirinya tidak bisa menangkap cahaya dan bayangan dengan baik. “Mah mata kiri Doni kok rabun, tidak bisa melihat,” kata Doni. Tuti yang merasa khawatir segera memeriksakan Doni ke pengobatan alternatif hari itu juga. Namun pemeriksaan hari itu tidak memberikan diagnosis yang tepat mengenai penyakit yang diderita Doni. Tabib itu hanya menduga adanya saraf mata yang tersumbat atau putus. Penjelasan tabib itu seakan menjadi pertanyaan besar yang ingin segera dipecahkan oleh Tuti. Rasanya Tuti ingin segera membawa Doni ke sebuah rumah sakit untuk diperiksakan secara medis. Tetapi apa daya, usaha transportasi bajaj yang dahulu mengantarkan banyak kebahagiaan sekarang telah jatuh bangkrut. Kemalangan telah membuat Tuti kehilangan banyak harta bendanya. Satu-satunya harta yang masih ia miliki, hanyalah rumah sebagai saksi bisu kejayaan masa lampau. Tuti pun akhirnya mengurungkan niatnya dan harus rela menerima jawaban tak memuaskan dari sang tabib.

Lama-kelamaan mata kiri Doni yang semula tidak bisa melihat, berkembang menjadi benjulan yang semakin lama semakin membesar. Tuti melihat ada ketidak wajaran dari sekadar saraf tersumbat atau putus. Maka Tuti pun beralih ke tabib lain. Pada tabib baru itulah Tuti mengetahui dengan pasti kalau Doni menderita tumor mata. Namun berobat di tabib ini pun, kesehatan Doni tidak mengalami banyak kemajuan. Tumor di mata Doni semakin membesar hingga seukuran telur ayam. Akhirnya Tuti memutuskan mencari tabib lain yang dianggap lebih menjanjikan. Kenyataannya setelah kesana-sini menjalani pengobatan alternatif, tak ada satu pun tabib yang sanggup meyembuhkan tumor mata yang diderita Doni.

Sampai suatu hari di awal tahun 2009, salah seorang tabib di daerah Cengkareng, Jakarta Barat menyarankan agar Tuti mengajukan permohonan bantuan ke Buddha Tzu Chi. Serasa menemukan jalan menuju harapan, Suherman segera mendatangi Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng untuk mengajukan permohonan.

Tak lama berselang dari kunjungan ke Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi, permohonan pengobatan Doni disetujui. Mulailah sejak itu Doni menjalani pemeriksaan dan biopsi di Rumah Sakit Pusat Cipto Mangunkusumo. Hasil pemeriksaan menjelaskan kalau Doni menderita tumor mata ganas stadium 4. Salah satu cara untuk mengobatinya adalah dengan menjalani radioterapi. Namun sebelum menjalankan radioterapi, Doni harus mengikuti serangkaian pemeriksaan yang cukup lama dan melelahkan. Tumor di mata Doni pun semakin menimbulkan rasa sakit. Tak jarang darah segar mengucur dari sela-sela mata atau hidungnya. Tak terperi penderitaan yang dialami Doni kala itu. Tetapi keteguhan imannya tak meluluhkan keyakinannya kepada Sang Maha Kuasa. Di tengah kemelut batin dan rasa sakit yang amat sangat, Doni tak pernah berhenti menyebut nama Tuhan. “Astaghfirullah, Astaghfirullah,” demikian kata-kata yang sering diucapkan Doni sebagai permohonan ampun dan ketaatan kepada Allah.

Lama-kelamaan rasa sakit yang terus menggerogoti tubuh, membuat kondisi fisik Doni semakin lemah dan merasa jenuh untuk terus menjalani pemeriksaan. Alhasil pemeriksaan dan biopsi yang seharusnya rampung dalam beberapa bulan menjadi tertunda sampai hampir 1 tahun. Mengetahui Doni butuh banyak bimbingan dan motivasi, Hok Cun relawan Tzu Chi yang biasa bertugas di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo segera menyemangatinya. “Terkadang semangat Doni naik turun. Pak Acun yang menyemangatinya terus. Saya sering merasa tidak enak sama pak Acun,” ungkap Tuti.

foto  foto

Ket: - Masa kecil Doni (paling kanan) selalu diisi dengan kegembiraan. Sejak kecil sampai besar Doni tidak            memiliki banyak sahabat. Waktu luangnya banyak ia habiskan di dalam rumah untuk mendengarkan            musik. (kiri).
         - Sejak kecil Doni sudah diajarkan untuk taat beribadah. Maka tak heran sampai dewasa Doni pun tidak            pernah melewatkan waktu salat. (kanan)

Seiring berjalannya waktu keinginan Doni untuk sembuh pun kembali terpacu. Maka tak ada lagi kesulitan bagi Tuti mengajak Doni ke rumah sakit. Dengan wajah yang berbinar-binar Doni memeriksakan dirinya ke rumah sakit. Sampai pada pertengahan tahun 2010, pihak medis mengijinkan Doni untuk menjalani radioterapi pada 4 Agustus 2010.

Sebelum radioterapi dijalankan, musibah kedua terjadi. Mata kiri Doni semakin hari semakin terasa sakit, hingga membuatnya tak berhenti mengerang. Maka dokter yang menanganinya segera memberikan obat penahanan sakit. Tetapi obat penahan sakit itu memiliki efek samping yang membuat Doni terus tertidur sepanjang hari. Melihat demikian Tuti langsung mengadukan hal ini pada dokter yang menangani Doni. Dan dokter itu lekas meberikan obat lain berdosis ringan.

Satu hari setelah mengkonsumsi obat baru, Doni terlihat lebih segar. Ia mulai biasa menjalani aktivitas sehari-harinya: mandi, makan, dan salat tanpa merasa terintangi. Baru pada Jumat, 16 Juli 2010 tubuh Doni terlihat begitu lemah dan setengah tak sadarkan diri. Pagi itu juga Tuti menelpon dokter tumor yang menangani Doni. Tanpa membuang banyak waktu dokter itu menyarankan Tuti agar segera membawa Doni ke rumah sakit. Sesudah telepon dimatikan, Tuti bersama anak keduanya Hanny Purnamasari bergegas membawa Doni ke rumah sakit dengan menggunakan sebuah taksi.

Sangat disayangkan. Setibanya di ruang gawat darurat dan menjalani pemeriksaan medis, dokter jaga menyatakan Doni telah meninggal dunia. Kepedihan dan emosi seketika meletup dari hati Tuti dan Hanny. Air mata pun tak tertahankan mengucur deras dari kedua mata mereka. Anak yang mereka kasihi dan harapan untuk kembali membangun keceriaan setelah Doni menjalani terapi, pupus sudah pada hari itu. “Doni meninggal dengan sangat tenang, tanpa saya ketahui kapan ia menghembuskan nafas terakhir,” kata Tuti bersedih.

Hari-hari berikutnya, adalah hari-hari yang penuh kepedihan karena kenangan bersama Doni selalu terngiang di pikiran Tuti. Semua foto-foto dan benda-benda yang menyisakan kenangan Doni telah disimpan rapat-rapat oleh Hanny. Hanny tidak ingin ibunya terus meratapi kesedihan hingga melupakan kesehatannya. Maka untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya, Tuti giat mengumpulkan Rupiah demi Rupiah untuk ia dermakan kepada Tzu Chi. Baginya bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh Tzu Chi telah menyentuh lubuk hatinya yang terdalam. Meski kesembuhan itu tak pernah ada bagi Doni, tetapi Tuti memandangnya dengan penuh rasa syukur. Di Tzu Chi, Tuti tidak sekadar mensyukuri berkah. Lebih dari itu ia mengenal kasih sayang yang menembus semua batas.

  
 
 

Artikel Terkait

Bantuan Sosial Peduli Covid-19 di Desa Lemo

Bantuan Sosial Peduli Covid-19 di Desa Lemo

29 Maret 2021

Pada Minggu, 28 Maret 2021 Bantuan Sosial Peduli Covid-19 berupa beras dan masker medis sebanyak 1.200 paket disalurkan untuk warga prasejahtera dan yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi Covid-19 di Desa Lemo, Teluk Naga, Tangerang, Banten. 

Sehari Menjaga Si Bayi Telur

Sehari Menjaga Si Bayi Telur

24 Oktober 2016
Siswa-siswi P1 dan P2 SD Tzu Chi Indonesia, membawa bekal satu butir telur mentah pada Senin, 24 Oktober 2016. Dalam waktu satu hari penuh, mereka bertugas sebagai orang tua yang harus menjaga telur yang diibaratkan sebagai bayi agar tidak terluka atau pecah. Kegiatan tersebut merupakan persiapan dalam menyambut datangnya hari ibu.
Warga Terdampak Tsunami Menanti Rumah Layak

Warga Terdampak Tsunami Menanti Rumah Layak

20 Februari 2019

Pembangunan rumah relokasi adalah salah satu solusi tepat untuk memulihkan masyarakat yang terdampak bencana tsunami agar tidak berkepanjangan. Saat ini, satu bulan lebih sudah warga korban tsunami Selat Sunda masih tinggal di tenda pengungsian, karena rumah mereka roboh ataupun rusak berat.

Sikap jujur dan berterus terang tidak bisa dijadikan alasan untuk dapat berbicara dan berperilaku seenaknya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -