Doa dan Cinta di dalam Boneka
Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari
Yang Pit Lu menggendong boneka-boneka buatannya. Boneka kreasinya tersebut akan ia berikan untuk pasien anak penderita katarak dan sumbing untuk menghibur mereka.
Ruang dokter di dek C KRI dr. Soeharso menjadi ruang favorit Yang Pit Lu ketika menunggu perjalanan baksos kesehatan Tzu Chi ke-120. Ruangan itu menjadi favoritnya bukan karena enak untuk digunakan bersantai, tapi karena nyaman untuk membuat karya seni. Di sana ada satu meja yang lumayan lebar ditambah 6 kursi yang nyaman. Tas hitam besar berisi puluhan kaus kaki ada di sudut meja. Di sampingnya ada satu plastik berisi dakron, satu set jarum dan benang jahit berbagai warna, dan beberapa boneka mungil berwarna merah jambu dan biru. “Lucu banget sih,” kata setiap orang yang melihat hasil karya Lulu, panggilan akrab Yang Pit Lu.
Menunggu perjalanan baksos dari pulau ke pulau dengan waktu yang panjang memang bisa jadi sangat membosankan. Apalagi ketika tidak melakukan sesuatu yang menarik. Dari sana Lulu sudah menyiapkan segalanya untuk menyibukkan diri dan berkreasi mengisi waktu kosongnya dengan membuat boneka kaus kaki.
Lulu bercerita bahwa sebelum berangkat, menantunya telah memberinya banyak sekali kaus kaki yang harganya berkisar antara tiga hingga lima ribu rupiah sepasang. Motif dan warnanya pun beragam. Lulu sengaja membeli kaus kaki baru untuk berkreasi dengan satu pertimbangan.
“Hasilnya (karyanya) kan nanti akan diberikan untuk anak-anak yang ikut operasi katarak dan sumbing, harus yang baru biar mereka happy,” lanjutnya.
Lulu menggambar pola pada kaus kaki mungil. Ia mengaku mendapatkan ide membuat boneka kaus kaki setelah membaca buku kreasi.
Setiap pulang dari pulau-pulau lokasi baksos Tzu Chi, Lulu kembali ke ruangan tersebut dan melanjutkan menjahit. Dipandanginya kaus kaki mungil itu satu persatu, yang cocok dengan idenya akan ia satukan menjadi satu boneka. “Awalnya keseringan nggak ada ide mau dibikin apa, tapi sambil bikin, sambil lihat, akhirnya jadi,” tuturnya senang. Walau tidak seindah boneka buatan pabrik, Lulu yakin anak-anak akan menyukainya. “Boneka pabrik kan (buatnya) pakai mesin, kalau ini kita buat pakai tangan, jahit sendiri, ada perasaan kita di dalam,” katanya bangga.
Sebenarnya ide membuat boneka dari kaus kaki belum lama ini dikembangkan oleh Lulu. Berawal dari membaca sebuah buku kreasi, ia akhirnya malah ikut kecanduan berkreasi. Untuk cucunya saja, Lulu sudah membuatkan 6 buah boneka dari kaus kaki. Padahal awalnya ia hanya memberikannya untuk kado ulang tahun saja.
“Sekarang asal dia (cucu) request, saya pasti langsung mengiyakan,” imbuhnya.
Selama berada di KRI dr. Soeharso, Lulu selalu menggunakan waktu kosongnya untuk membuat boneka kaus kaki. Ia ingin memanfaatkan setiap waktu kosongnya untuk bersumbangsih.
Lulu juga tidak menyimpan ide kreatif itu sendiri. Ia kerap mengajak para DAAI Mama di Sekolah Tzu Chi Indonesia untuk memanfaatkan waktu luang mereka ketika menunggu anak-anak bersekolah dengan membuat boneka kaus kaki ini.
“Selain membuat orang lain happy, mereka kan juga bisa mengisi waktunya dengan memberi manfaat untuk orang lain,” kata Lulu. Buktinya, hasil karya DAAI Mama dipuji oleh anak-anak mereka. “Walaupun masih berantakan tapi karena dibuat oleh mamanya sendiri, rasanya pasti berbeda. Anak-anak mereka senang sekali, dibawa kemana-mana, dipeluk saat tidur. Mamanya pun senang bisa bikin sesuatu untuk anak sendiri,” tambahnya.
Khusus untuk pasien katarak dan sumbing pada baksos kesehatan Tzu Chi ke-120 di KRI dr. Soeharso yang bersandar di Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten, Lulu berharap bisa menyiapkan jumlah boneka yang sesuai dengan pasien anak untuk menghibur mereka. Ia berpikir bahwa, kalau cucunya saja suka, pasti anak-anak lain juga suka. Ia pun tidak lupa menyisipkan doa dan cintanya dalam setiap jahitan di boneka tersebut. “Semoga mereka bisa sukses mengembangkan diri,” ujar Lulu.
Khusus untuk pasien katarak dan sumbing pada baksos kesehatan Tzu Chi ke-120 di KRI dr. Soeharso yang bersandar di Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten, Lulu berharap bisa menyiapkan jumlah boneka yang sesuai dengan pasien anak.
Mengunjungi tiga pulau: Pulo Panjang, Pulau Tunda, dan Ujung Kulon untuk mengikuti baksos Tzu Chi membuat Lulu sedikit sedih. Bukan karena kelelahan atau lokasi yang jauh, namun karena fasilitas kesehatan dan keberadaan tim medis yang masih sangat minim di masing-masing pulau tersebut.
“Lalu apa yang akan terjadi pada generasi selanjutnya di pulau itu? Apa selamanya akan begitu? Apa anak-anak di pulau tidak bisa (memperoleh hal yang lebih baik)?” tanyanya. Lulu meyakini bahwa anak-anak itu nantinya bisa berbuat banyak untuk tanah kelahirannya. “Asal mereka diberi kesempatan,” lanjutnya.
Dari doanya di boneka-boneka mungil itu, Lulu berharap tunas-tunas muda di pulau-pulau tersebut nantinya mempunyai kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. “Bisa kuliah, bisa ambil perawat, bisa jadi dokter, bisa kembali mengabdi di pulau itu. Semoga mereka bisa belajar sesuatu dan kembali bisa membangun desa mereka.”
Editor: Khusnul Khotimah
Artikel Terkait
Baksos Tzu Chi ke-120: Jalinan Jodoh untuk Melepaskan Derita
28 September 2017Baksos kesehatan Tzu Chi ke-120 pada hari kedua di Cilegon berhasil menjaring lebih banyak pasien. Selain membantu masyarakat yang tidak mampu, kegiatan ini juga sebagai ajang silaturahmi masyarakat.
Baksos Tzu Chi ke-120: Pelayanan Kesehatan di Pulau Terluar Banten
25 September 2017Di hari kedua pelaksanaan bakti sosial kesehatan Tzu Chi ke-120 yang bekerja sama dengan TNI dalam rangka HUT TNI ke-72, seluruh tim medis kembali bergerak. Apabila hari pertama tim medis menangani pasien di Pulo Panjang, hari kedua ini (23/9/17) mereka habiskan untuk melayani pasien di Pulau Tunda, Serang, Banten.