Er Tong Ban Camp

Jurnalis : Juliana Santy, Fotografer : Agus D.S (He Qi Barat), Juliana Santy
 

foto
Pada tanggal 9-10 November 2013, anak-anak kelas budi pekerti Er Tong Ban mengikuti acara penutupan camp kelas budi pekerti tahun ajaran 2013.

Pada hari Minggu, 10 November 2013, saya berkesempatan sharing mengenai sebuah kehidupan yang bahagia kepada Bodhisatwa kecil kelas budi pekerti Tzu Chi Er Tong Ban. Selama dua hari, anak-anak yang masih mengenyam pendidikan di kelas 3-6 sekolah dasar ini mengikuti Er Tong Ban Camp yang diadakan pada tanggal 9 dan 10 November 2013. Mereka anak-anak yang antuasias, aktif, dan juga memiliki sopan santun yang baik. Saat itu saya bertanya kepada mereka, apa yang bisa membuat mereka bahagia.

 Berbagai jawaban saya dapatkan, tapi ada jawaban yang hampir sama dari beberapa anak-anak, sebuah jawaban yang berkaitan dengan perangkat teknologi terkini, sebuah jawaban yang tidak akan terucap di masa saya masih kecil karena perkembangan teknologi belum semaju saat ini.

Setiap generasi memiliki ciri khas, kepribadian, dan nilai-nilai yang berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh banyak faktor mulai dari faktor sosial, ekonomi, hingga teknologi, dan perkembangan teknologi saat ini menjadi faktor yang menyebabkan generasi anak saat ini menjadi sangat berbeda dengan generasi-generasi terdahulu. Anak-anak bisa mendapatkan hiburan apa saja dengan mudah melalui smartphone yang mereka miliki, sehingga tak heran jika banyak anak-anak lebih memilih aktif di dunia maya dalam waktu luangnya dibandingkan melakukan aktivitas lainnya.

Namun anak-anak ini sangatlah beruntung, karena walaupun hidup dalam perkembangan teknologi yang pesat, mereka masih mendapatkan pendidikan budi pekerti, sebuah pendidikan moral yang membentuk karakter anak-anak menjadi lebih baik. Diantara jawaban-jawaban yang saya dapatkan mengenai apa yang dapat membuat mereka bahagia, ada pula yang menjawab bahagia memiliki orang tua, dan jawaban tersebut juga disetujui oleh anak-anak lainnya. Pada sharing kali ini saya mengajak anak-anak untuk belajar bersyukur melalui berbagai kisah anak-anak lainnya dari berbagai negara yang walaupun hidup dalam keterbatasan, namun mereka hidup bahagia, bahagia karena memiliki orang tua dan dapat menjaga orang tua mereka.

Usai itu anak-anak menuliskan sebuah surat bagi orang tua mereka, dan menuliskan pesan yang ingin mereka sampaikan, sebuah pesan yang mungkin selama ini tidak berani diungkapkan yang ternyata adalah hal paling ingin di dengar oleh orang tua, salah satunya adalah ‘papa mama wo ai ni..’

foto  foto

Keterangan :

  • Di camp ini anak-anak diajarkan untuk mandiri walaupun terpisah dari orang tua mereka selama dua hari satu malam (kiri).
  • Anak-anak juga diajarkan mengenai pentingnya menjaga bumi melalui pelestarian lingkungan (kanan).

Perubahan Dalam Diri
Pada pukul 03.00, anak-anak dan orang tua Bodhisatwa kecil dari kelas budi pekerti sudah berkumpul di Guo Yi Ting, Aula Jing Si. Mereka bersiap untuk mengikuti acara penutupan Camp Kelas Bimbingan Budi Pekerti Tzu Chi Angkatan VIII tahun 2013. Sebanyak 281 Bodhisatwa kecil maju per kelempok untuk menampilkan berbagai lagu isyarat tangan yang mereka pelajari. Diakhir penutupan, beberapa orang tua murid berserta anaknya maju untuk berbagi cerita mengenai perubahan yang mereka rasakan.

“Tzu Chi mengajarkan banyak hal, seperti harus ramah, jangan rakus, melakukan daur ulang agar tidak mencemari lingkungan. Saya juga senang dapat mengikuti Tzu Chi karena saya dapat kemajuan. Tzu Chi bukan orang yang egois karena Tzu Chi dapat menolong orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Gan en Tzu Chi,” ucap Anabell salah satu Bodhisatwa kecil. Saat itu ayahnya juga berbagi kisah mengenai perubahan yang ia rasakan dari anaknya dan bersyukur karena anaknya mendapatkan pendidikan budi pekerti di Tzu Chi. Selesai sharing, Anabell tanpa ragu mengucapkan “wo ai ni papa mama” untuk menutup sharingnya.

Kebahagiaan lainnya juga dirasakan oleh orang tua Josephine, yaitu Herlina. Ia mengatakan bahwa perjalanan anaknya untuk ikut kelas budi pekerti Tzu Chi cukup tidak mudah, karena tahun ketiga baru bisa mengikuti kelas ini. “Tahun pertama daftar waktu kelas tiga, katanya umurnya kurang karena baru 9 tahun. Tahun kedua kuota sudah penuh. Tahun ketiga, waiting list, dan akhirnya bisa masuk. Tahun ketiga saya agak ragu, karena kami Katolik, jadi anak saya pada saat itu harus ikut komuni pertama, jadi memerlukan beberapa kali kehadiran di gereja dan saya agak khawatir waktunya bertabrakan, dan ternyata benar. Waktu itu saya sempat berkonsultasi dengan seorang Da Ai mama, dan ia menganjurkan untuk mendahulukan di gereja,” cerita sang mama.

foto  foto

Keterangan :

  • Di hari kedua, anak-anak menuliskan surat untuk orang tua mereka (kiri).
  • Herlina (tengah) merasa bersyukur anaknya dapat mengikuti kelas budi pekerti Tzu Chi, dan berharap anaknya dapat terus melanjutkan jalinan jodohnya di Tzu Chi (kanan).

Tapi anjuran tersebut ditolak oleh Josephine, karena ia ingin tetap mengikuti keduanya. Beberapa kali pertemuan terjadi di hari yang bersamaan saat ia harus mengikuti pertemuan di gereja, sehingga baru datang satu jam di kelas budi pekerti, ia sudah harus meninggalkan kelas untuk datang ke geraja. Namun ia tetap bersemangat dan bergembira.

Perubahan tak banyak dirasakan Herlina terhadap anaknya, karena ia merasa sejak dulu anaknya adalah anak yang baik, tapi satu perubahan dirasakan Herlina saat anaknya menggambar keluarganya. “Anak saya sudah kehilangan papanya pada umur 20 bulan. Selama ini kalau menggambar orang tua yang utuh selalu menggambar papa, mama, dan dia. Baru tahun lalu waktu di Tzu Chi dia menggambar saya, dia, dan omanya, jadi sesuai realitas keadaan,” cerita Herlina yang merasa sangat bersyukur karena Tzu Chi membuat anaknya sudah bisa lebih menerima dan bahagia dengan keadaannya saat ini.  

Di akhir sharingnya, Herlina pun berpesan kepada orang tua murid yang hadir bahwa jika merasa anaknya belum banyak berubah, jangan menganggap ikut kelas budi pekerti ini tidak ada gunanya, karena menurutnya, memang hanya dengan satu bulan sekali agak sulit jika mengharapkan anak berubah, apalagi jika lingkungan sekitar tidak mendukung. Jadi ia mengajak orang tua yang hadir untuk selalu menjadi pengingat anak-anaknya setiap hari. Ya, ditengah perkembangan teknologi yang pesat saat ini, orang tua menjadi kunci utama perkembangan anak-anaknya. Saat setiap anak bisa mendapatkan lingkungan yang baik, pendidikan moral yang baik, maka anak-anak yang menjadi harapan masa depan bangsa ini akan tumbuh menjadi lebih baik.

  
 

Artikel Terkait

Internasional : Menanam di Kebun Organik

Internasional : Menanam di Kebun Organik

26 Juli 2010
Kegiatan ini merupakan kerja yang penuh dengan sukacita dan cinta. Para relawan memiliki kepuasan batin, karena ketika mereka bekerja di ladang, mereka juga belajar untuk mengolah hati mereka sendiri.
Waisak 2557: Makna Tiga Hari Besar

Waisak 2557: Makna Tiga Hari Besar

22 Mei 2013 Selain memperingati hari Waisak juga memperingati hari Tzu Chi Sedunia dan hari Ibu Internasional. Hari Tzu Chi  sedunia diperingati oleh semua insan Tzu Chi di seluruh dunia di mana saat ini Tzu Chi sudah berkembang di 54 negara di seluruh dunia.
Bekal untuk Ibu Hamil dan Balita

Bekal untuk Ibu Hamil dan Balita

15 Januari 2024

Kesehatan ibu dan anak menjadi perhatian relawan Tzu Chi di wilayah Xie Li Kutai Barat (kubar) melalui penyuluhan dan pemberian makanan tambahan di Balai Penitipan Anak (BPA) Divisi 3 Sungai Perak Estate, Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Hanya dengan mengenal puas dan tahu bersyukur, kehidupan manusia akan bisa berbahagia.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -