Festival Filantropi, Lomba Berbagi Kebaikan

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari

Festival Filantropi, Lomba Berbagi Kebaikan

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang diwakili oleh Suriadi, menjadi salah satu pembicara dalam diskusi paralel yang diadakan oleh Perhimpunan Filantropi Indonesia bertajuk Mengembangkan Filantropi Keagamaan yang Strategis dan Inklusif di JCC pada Sabtu, 8 Oktober 2016 lalu.

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia kembali diundang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi paralel yang diadakan oleh Perhimpunan Filantropi Indonesia. Diskusi bertajuk Mengembangkan Filantropi Keagamaan yang Strategis dan Inklusif ini menjadi satu diskusi yang masuk dalam rangkaian acara Indonesia Philantropy Festival (IPFest) 2016 di JCC pada Sabtu, 8 Oktober 2016 lalu.

Selain Tzu Chi, ada dua lembaga lain yang mengisi diskusi tersebut, yaitu Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) dan Habitat for Humanity yang juga berfokus pada aksi sosial dalam upaya pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah didukung oleh 193 negara anggota PBB dan digunakan untuk membingkai rencana pembangunan nasional negara-negara di seluruh dunia selama 15 tahun ke depan.

SDGs merupakan seperangkat tujuan universal, target, dan indikator dari agenda pembangunan yang disepakati di tingkat global. SDGs diharapkan dapat menanggulangi berbagai masalah global, termasuk menghapuskan kemiskinan dan kelaparan, memajukan kesehatan dan pendidikan, juga membangun kota. Dari 17 poin yang dijabarkan dalam SDGs, Tzu Chi pun turut aktif dalam pencapaian program pembangunan nasional tersebut, seperti: mewujudkan kehidupan sehat dan sejahtera, menyediakan pendidikan berkualitas, melakukan penghematan energi bersih dan terjangkau, membangun kota dan pemukiman yang berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, membantu penanganan perubahan iklim.

Hal itu disambut baik oleh Irfan Abubakar, moderator yang juga merupakan peneliti filantropi lintas agama sekaligus Direktur Center for the Study of Religion and culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Ia menuturkan bahwa karakteristik filantropi berbasis agama bukan sekadar kegiatan membantu, bukan sekadar kegiatan yang memberikan, bukan juga semata-mata memberdayakan seseorang sehingga mereka lebih berdaya secara ekonomi sesuai dengan SDGs. “Lebih dari itu, filantropi keagamaan ini masuk ke dalam nilai. Jadi cinta kasih dalam agama itu bukan cuma dibicarakan tapi dialami sendiri, diwujudkan secara nyata,” tambahnya.

Festival Filantropi, Lomba Berbagi Kebaikan

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang diwakili oleh Suriadi menerima kenang-kenangan dari panitia usai menjadi salah satu pembicara dalam Indonesia Philantropy Festival (IPFest) 2016.

Festival Filantropi, Lomba Berbagi Kebaikan

Selain Tzu Chi, ada dua lembaga lain yang mengisi diskusi tersebut, yaitu Pos Keadilan Peduli Umat (tengah) dan Habitat for Humanity (kedua dari kiri) yang juga berfokus pada aksi sosial dalam upaya pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Sebarkan Cinta Kasih Lebih Luas Lagi

Dihadiri oleh 15 orang peserta, diskusi paralel yang dimulai sejak pukul 9 hingga 11 tersebut, menarik minat para peserta diskusi yang hadir. Salah satu peserta, Ignasius Irianto Susilo yang datang dari Surabaya mengemukakan bahwa diskusi tersebut merupakan momen yang ia tunggu karena banyak hal yang ingin ia dapatkan termasuk sharing dari pembicara. “Saya berangkat dari Rumah Bhinneka Tunggal Ika, suatu komunitas lintas agama di Surabaya,” tuturnya, “di sana kami juga mempunyai banyak permasalahan, jadi dengan mendengar sharing kami berharap bisa belajar lebih banyak. Kami pun berharap bisa berjejaring dengan Tzu Chi karena kita sudah melihat Tzu Chi bisa mengatasi permasalahan.”

Baginya filantropi adalah refleksi dari aksi sosial keagamaan sehingga sangat bermanfaat untuk kemanusiaan, komunitas, sekaligus membantu pemerintah dalam banyak hal. “Artinya apabila masyarakat semakin mandiri dan kuat maka negara dan bangsa menjadi lebih kuat pula,” tambahnya. Hanya saja ia menilai bahwa kegiatan filantropi masih belum menyentuh seluruh pelosok nusantara. “Saya sangat berharap nanti ada pemerataan sehingga tidak semuanya terpusat di Jakarta karena potensi daerah juga harus dibangkitkan sehingga semangat dan cinta kasihnya tersebar pula ke pelosok daerah dan membuat lebih banyak orang lagi yang tergugah, lebih banyak yang berlomba untuk berbagi kebaikan,” harapnya.

Harapan serupa datang dari Wandi. Ia yang hadir mewakili Dompet Sosial Madani (DSM) Bali mengungkapkan ingin banyak belajar dari rekan-rekan filantropi lainnya dalam diskusi paralel yang ia ikuti. “Saya ingin tahu seperti apa Tzu Chi melakukan pendekatan kepada masyarakat, terlebih dengan nama “Buddha” yang melekat,” ucap Wandi usai mendengar pemaparan dari Suriadi. Keingintahuannya tersebut didasari akan apa yang ia alami dalam menjalankan aksi filantropi. Ia pun bertekad akan membagikan ilmu dan membangun jaringan seluas mungkin untuk mewujudkan dan memeratakan bantuan yang akan dibagikan. “Filantropi tidak terbatas dan tidak ada batasan. Kalau bisa hal-hal seperti ini lebih sering diadakan sehingga bisa menjadi sarana pengingat dan belajar,” tutupnya.


Artikel Terkait

Festival Filantropi, Lomba Berbagi Kebaikan

Festival Filantropi, Lomba Berbagi Kebaikan

10 Oktober 2016
Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang diwakili oleh Suriadi, menjadi salah satu pembicara dalam diskusi paralel yang diadakan oleh Perhimpunan Filantropi Indonesia bertajuk Mengembangkan Filantropi Keagamaan yang Strategis dan Inklusif di JCC pada Sabtu, 8 Oktober 2016 lalu.
Keindahan kelompok bergantung pada pembinaan diri setiap individunya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -