Gempa Palu: Menyambung Asa Korban Gempa dan Tsunami
Jurnalis : Arimami Suryo A, Fotografer : Arimami Suryo ARelawan Tzu Chi Indonesia, Hong Tjhin langsung merangkul Yuli (75) yang menangis terharu setelah mendapatkan bantuan berupa uang pemerhati (dukacita) dari Tzu Chi pada Kamis, 4 Oktober 2018.
Yuli (75) pun tak kuasa menahan air mata saat menerima uang pemerhati (dukacita) dari Tim Tanggap Darurat (TTD) Tzu Chi Indonesia dan Tzu Chi International Medical Association (TIMA) Indonesia. Kehadiran relawan seolah menjadi sebuah pertolongan tersendiri untuknya saat ditemui di RS Wirabuana, Palu. “Saya sedih, saya berterima kasih sama Allah, saya berterima kasih kepada Tzu Chi, begitulah sampai saya jatuh air mata. Jika saya dapat sesuatu lantas saya bawa dalam doa,” ungkapnya.
Rasa haru juga tidak bisa dibendung oleh relawan TTD Tzu Chi Indonesia melihat Yuli yang langsung menangis saat menerima bantuan dari Tzu Chi. “Saya tidak menduga dan kaget, karena ibu Yuli menangis saat menerima bantuan,” ungkap Hong Tjhin, relawan TTD Tzu Chi Indonesia yang memberikan bantuan tersebut. Spontan ia pun langsung memeluk Yuli yang saat itu sedang mendapatkan perawatan di halaman yang terletak di dalam RS Wirabuana. “Beliau terharu atas bantuan dan perhatian yang kita berikan, saya pun juga ikut terharu membayangkan ibu Yuli dan para korban lainnya yang berusaha berjuang menyelamatkan diri saat bencana tersebut,” tambahnya.
Dr. Subekti, salah satu tim medis Tzu Chi yang ikut ke Kota Palu, Sulawesi Tengah memberikan semangat dan uang pemerhati dari Tzu Chi kepada Mohammad Nabil Afrezy (12).
Benar saja, saat gempa terjadi Yuli sedang bersiap melaksanakan salat Maghrib. “Pada waktu mau gempa saya mau ambil air wudu. Tiba-tiba lantai rumahnya bergetar, saat mau keluar rumah sudah bergoyang-goyang,” ungkap wanita yang pernah berprofesi sebagai tukang jahit tersebut. Setelah berhasil keluar rumah dengan kepanikan, Yuli terjatuh dan beberapa bagian tubuhnya membentur material bangunan rumahnya. “Saya terbentur dengan beton pagar rumah saya, darah bercucuran dari kepala dan wajah sekitar mata, itu awalnya,” kenang Yuli.
Tidak sampai di sini saja, guncangan yang semakin keras juga membuat keadaannya semakin tidak karuan. “Aduh, jatuh saya terguling-guling beberapa kali dan berusaha untuk terus duduk, saya juga sempat terlempar satu kali,” ceritanya. Penderitaan Yuli tidak berhenti sampai di situ, rupanya tangan kanannya pun patah saat terlempar. “Tangan saya langsung patah saat itu, tanpa pikir panjang kemudian saya remas karena takut copot,” ungkap janda yang memiliki 9 anak tersebut.
Yuli pun sangat berterima kasih atas bantuan yang diberikan kepadanya. Sebelum gempa terjadi ia sudah tidak menjahit lagi karena sakit jantung. “Kata dokter suruh berhenti menjahit, karena kurang istirahat membuat jantung lemah,” kata Yuli. Anaknya saat ini juga hanya tinggal 6 orang saja karena 3 anak lainnya sudah meninggal dunia sejak lama. Bantuan yang diberikan Tzu Chi cukup menjadi peringan hidupnya saat ini apalagi dengan kondisinya pascagempa. “Harapan saya bantuan ini akan saya pergunakan untuk saya punya kesehatan,” ungkap wanita yang tinggal di Jl. Gunung Bale, Lolu Utara, Kota Palu tersebut.
Terlambatnya obat-obatan karena antrian bantuan yang akan masuk dari Makassar ke Palu tidak menyurutkan semangat tim medis Tzu Chi. Di bandara Palu, dr. Anthony Pratama juga membantu pasien yang akan dievakuasi ke Makassar.
Lain halnya dengan Mohammad Nabil Afrezy (12), yang selamat setelah digulung gelombang tsunami bersama ayahnya saat berusaha menyelamatkan diri. Saat kejadian, ia sedang bersama keluarga untuk mempersiapkan sebuah acara di rumahnya di wilayah Kelurahan Petobo, Palu Selatan. “Waktu itu (Jumat) di rumah sedang kumpul keluarga karena mau persiapan acara akikah untuk hari Sabtunya. Pas kejadian gempa, semua langsung berhamburan ke jalan. Semua di depan rumah,” cerita Fadlun Ponulele, ibu Nabil.
Beberapa menit kemudian setelah gempa, gelombang tsunami pun mulai merayap memasuki Kota Palu. “Gak lama, hitungan menit kok. Ada air yang bercampur lumpur setinggi 6-7 meter yang mulai menerjang rumah-rumah dari arah utara kota. Langsung semua lari ke arah selatan,” kata Fadlun menceritakan kondisi saat itu. Saat berlari menyelamatkan diri inilah, mereka sekeluarga terpisah. Saudara-saudara yang lain juga sibuk menyelamatkan diri sendiri. “Saya lari dengan papa, tapi kita terpisah dengan mama. Kita arah ke selatan, kita lihat air bercampur lumpur sudah dekat. Papa sama saya langsung ditabrak air dan lumpur saat lari dan langsung tergulung-gulung,” kenang Nabil.
Saat tergulung air yang bercampur lumpur, Nabil dan ayahnya juga saling berpegangan dan sempat meraih-raih apapun yang ada disekitar mereka. Namung gelombang datang kembali. “Sempat reda, terus saya dan papa mencoba untuk berdiri. Tapi ada lagi yang menghantam, kami terjatuh lagi,” cerita Nabil. Tarik menarik baju dan segala yang bisa diraih di antara ayah dan anak ini pun terus dilakukan. Mereka saling bergumul saat berjuang menyelamatkan diri di dalam lumpur. “Pokoknya udah pasrah, nafas di lumpur,” kata Nabil.
Kehangatan dan perhatian Tzu Chi kepada korban gempa dan tsunami di Palu bukan hanya melalui uang pemerhati saja, Tzu Chi juga memberikan roti kepada para korban yang dirawat di RS Wirabuana, Palu.
Dalam keadaan terdesak, naluri seorang ayah untuk menyelamatkan anaknya pun terus keluar dari mulut yang terus dimasuki lumpur yang bercampur air. “Papa berteriak ‘kaki ayun-ayun terus, bil. Kita harus tetap kuat, semangat terus di dalam air’,” kenang Nabil yang juga dirawat di RS Wirabuana. Keduanya pun saling menguatkan dan saling berpegangan. Pukul 20.00 WITA pascakejadian, Fadlun Ponulele yang selamat dari gempa dan tsunami bertemu dengan suami dan anak semata wayangnya. Keluarga ini pun baru bisa berkumpul kembali setelah Nabil dan ayahnya berteriak-teriak dan mendapat pertolongan.
Ayah dan anak ini kemudian mendapatkan pertolongan di posko pengungsian. Mereka berdua menderita luka-luka yang serius. Wajah, punggung, dan kedua lutut kaki Nabil pun luka parah. Dua hari setelah kejadian, batuk-batuk masih keluar lumpur dari mulut Nabil. Sedangkan ayahnya tidak jauh berbeda, bahkan lebih parah karena kakinya sobek dan terlihat tulangnya. Setelah keduanya dirujuk ke RS Wirabuana, ayah nabil langsung dievakuasi menuju Makassar dengan pesawat Hercules untuk mendapatkan perawatan yang intensif karena korban terus berdatangan di rumah sakit tersebut.
Tim medis Tzu Chi juga ikut mengunjungi daerah yang terdampak gempa dan tsunami di Palu seperti di wilayah Balaroa, Kota Palu. Menurut data yang terkumpul, di wilayah ini terdapat rumah-rumah yang terhisap oleh tanah saat gempa dan dihuni oleh 4.000 Kepala Keluarga.
Kehadiran Tzu Chi saat memberikan perhatian kepada Nabil cukup membuat semangat Nabil bangkit kembali. Ia pun sempat berbincang-bincang dengan dr. Subekti dari TIMA Indonesia. “Bersyukur, Alhamdulillah banget, saya masih bisa berkumpul sama mama, papa,” ungkap Nabil yang masih duduk di kelas 1 SMP tersebut. Tak lupa, Tzu Chi juga memberikan santunan kepada Nabil untuk membantu meringakan beban keluarganya.
Membuka Jalan Bantuan Tzu Chi di Palu
Gempa bumi dan tsunami yang
terjadi di Kota Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat, 28 September
2018 menimbulkan kerugian material dan korban jiwa yang besar. Tercatat
sebanyak 1000 jiwa lebih meninggal dunia dalam peristiwa bencana ini. Bantuan
dan tenaga relawan pun segera mengalir ke wilayah Kota Palu yang mengalami
dampak paling parah.
Namun akibat kejadian tersebut, akses menuju Kota Palu terputus khususnya lewat jalan darat. Akses yang dapat ditempuh hanya menggunakan jalur udara dan jalur laut. Tzu Chi Indonesia kemudian menggalang bantuan untuk Kota Palu dengan mengirimkan tim advance yang terdiri dari relawan Tim Tanggap Darurat (TTD) Tzu Chi Indonesia dan tim medis Tzu Chi. Pada Rabu, 3 Oktober 2018 dengan pesawat Hercules milik TNI AU dari Lanud Sultan Hasanuddin Makassar, tim advance tiba di Kota Palu untuk melakukan observasi keadaan di lapangan supaya alokasi bantuan Tzu Chi bisa masuk dan tepat sasaran. Selain itu, tim ini juga membawa obat-obatan untuk pelayanan medis bagi para korban luka yang ada di posko-posko pengungsian.
Dokter dari tim medis Tzu Chi juga melakukan pertemuan dengan pihak Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Palu, Sulawesi Tengah untuk membuka posko kesehatan di area perkantorannya.
Banyaknya bantuan yang akan masuk ke Kota Palu membuat antrian panjang di Lanud Sultan Hasanuddin Makassar. Bantuan obat-obatan Tzu Chi pun terhambat pengirimannya. Relawan dan tim medis Tzu Chi pun kemudian bergabung untuk memberikan bantuan awal sambil menunggu obat-obatan dikirim ke Kota Palu. Bantuan pun berupa uang pemerhati (dukacita) kepada para korban gempa dan tsunami yang dirawat jalan di RS Wirabuana. “Karena masih menunggu obat-obatan, TTD dan tim medis melakukan kegiatan dengan memberikan 36 paket santunan langsung kepada pasien yang dirawat jalan di RS Wirabuana. Dari pasien pun kita juga belajar untuk berempati dan memahami penderitaan mereka,” ungkap Hong Tjhin.
Selama 2 hari di Kota Palu, relawan dan tim medis Tzu Chi juga berkeliling untuk melihat perkembangan Kota Palu pascabencana. Secara perlahan, geliat kehidupan warga pun cenderung ke arah yang lebih baik. ”Saya optimis dengan Palu. Saya lihat selama 2 hari berada di sini, dari segi keamanan yang konon katanya situasinya tidak kondusif ternyata semenjak saya 2 hari di sini sudah membaik, kemudian pemulihan dari listrik, air, SPBU, dan lainnya juga sudah mulai pulih. Saya juga melihat pasar tradisional sudah mulai buka, ATM juga sudah ada yang bisa, tentu saja itu adalah tanda-tanda yang menggembirakan sehingga pemulihan Kota Palu akan lebih cepat,” jelas Hong Tjhin.
Editor: Yuliati
Artikel Terkait
Gempa Palu: Menyambung Asa Korban Gempa dan Tsunami
05 Oktober 2018Tzu Chi Indonesia merespon kejadian gempa dan tsunami di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah pada Jumat, 28 September 2018 dengan mengirimkan relawan dan bantuan ke wilayah tersebut untuk membantu para korban.