Gempa Palu: Semangat Tak Boleh Terkubur Bersama Gempa

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari


Senyum Sofian tergurat di balik kaca mobil rental yang dipakainya. Sudah seminggu ia menemani relawan berkeliling Palu untuk membagikan bantuan, tak heran ia sudah sangat akrab dan kerap bercanda dengan beberapa relawan.

Di balik kemudi, Sofian dengan rinci menjelaskan arah-arah jalan di Kota Palu. “Kalau mau ke Balaroa, dekat Pak. Hanya lurus saja dari sini. Dia ada di dekat pasar impres. Nah itu rumah saya dulu di sana. Lalu kalau Petobo, juga dekat, tidak jauh dari bandara. Semuanya ada di pusat kota,” katanya kepada Johnny Chandrina yang duduk di sampingnya. “Kalau ke Sigi, sekitaran satu jam. Donggala, sekitar dua jam,” lanjutnya antusias seperti biasa.

Hari itu relawan ingin melihat langsung bagaimana kondisi perumahan warga yang terdampak fenomena likuifaksi. Yang kata warga Palu, tanah di perumahan itu sudah lebur seperti diblender. Termasuk rumah Sofian, salah satu sopir yang membantu relawan Tzu Chi berkeliling membagikan bantuan di Palu. Rumahnya amblas tak ada sisa.

“Nah… di sana, di dekat rumah walet itu,” katanya menunjuk satu-satunya bangunan yang ia ingat dan masih tersisa. “Dulu rumah saya ada di samping rumah walet itu. Tapi sudah tak ada itu sisanya,” ucapnya ringan dengan wajah tersenyum.


Rumah Sofian dulunya ada di samping rumah walet (kiri – atas) yang kini sudah amblas tak berbekas karena likuifaksi.


Sofian berjalan bersama relawan setelah memperlihatkan bekas rumahnya yang sudah amblas karena llikuifaksi.

Di pekan terakhir proses evakuasi, wilayah Perumnas Balaroa, yang dulu adalah tempat Sofian dan keluarganya tinggal terlihat sedikit lebih rapi. Reruntuhan dan puing-puing bangunan sebagian besar sudah terangkut. Hanya ada sisa-sisa galian tanah di kanan dan kiri, yang sebelumnya adalah lokasi evakuasi korban gempa dan likuifaksi.

“Saya sudah ikhlas, bersyukur keluarga saya semuanya selamat,” tukasnya melihat sekeliling wilayah Perumnas Balaroa.

Beberapa kali, terhitung sejak 28 September 2018, setelah gempa menguncang Palu, Sofian datang melihat rumahnya yang tak berbekas di Balaroa. Istrinya, Nurhidayah, menolak untuk ikut. Cukup dari foto saja, katanya. Sebagai kepala rumah tangga, Sofian memang lebih tegar dan kuat. Hal itu diakui oleh para relawan yang selama seminggu selalu diantarkan olehnya. “Dia memang menjadi salah satu korban, tapi dia hebat, tidak menyerah pada keadaan,” ungkap Johnny Chandrina.

“Ya mau sampai kapan lagi kita meratapi. Katanya kan Palu mau bangkit lagi, jadi kita harus kerja kuat juga,” ucapnya santai.


Tidak hanya menjadi sopir, Sofian (kiri – belakang) juga turun langsung membantu relawan Tzu Chi membagikan bantuan dengan memakai rompi relawan di tiap daerah yang dibantu Tzu Chi.

Sofian tak menampik kesedihan yang juga ia rasakan karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan sekadar surat-surat penting milik keluarganya. “Tapi jangan sampai semangat kita ikut tenggelam bersama bencana itu,” katanya pasti.

Saat ini Sofian tinggal di rental mobil tempatnya bekerja. Sementara istri dan kedua anaknya memilih pulang kampung ke Desa Pesona, Kec. Kasimbar, Kab. Parimo, Sulawesi Tengah. Di sana keluarga Sofian bisa lebih tenang, anak pertamanya pun bisa memulihkan kondisi setelah patah tulang. Walaupun begitu, mereka pun masih berharap bisa lekas sembuh dari rasa trauma dan ketakutan.

“Sampai saat ini yang masih sering takut itu anak pertama saya, Femin Anugerah,” aku Sofian. Ketakutan remaja 16 tahun itu bukanlah tanpa sebab. Femin menjadi salah satu orang yang berada di lokasi terjadinya tsunami. Kata Femin, seketika seluruh pengunjung di lantai dasar sebuah pusat perbelanjaan yang ia datangi, termasuk dirinya, panik dan bejejalan di pintu keluar. “Anak saya selamat karena dia panjat, lompat pagar, dan lari ke tempat tinggi. Tapi tangannya patah. Tulangnya keluar sekitar 5 sentimeter,” jelas ayah dua anak itu.


Sofian tak segan membantu relawan megangkat logistik maupun barang-bantuan kke posko-posko pengungsian warga.

Semalaman Sofian mencari Femin, ia berkeliling ke sana ke mari, tidak tidur, dan sangat cemas. Sebelumnya anak pertamanya itu memang meminta izin untuk pergi ke lokasi yang belakangan terdampak tsunami. “Yang nemuin dia teman saya, langsung dibawa ke atas gunung, tempat kami bermalam,” lanjut Sofian. “Beruntung juga saya saat itu sedang di rental, istri dan anak kedua saya sedang di rumah teman. Jadi kami semua selamat,” imbuhnya.

Tak ingin keluarganya dilanda trauma berkepanjangan, Sofian mengirim mereka ke kampung halaman satu minggu setelah bencana itu terjadi. Sementara dirinya melanjutkan hidup dengan tetap bekerja di Kota Palu. “Nggak mungkin kan kita ikut tenggelam dengan bencana, lumpur. Ingat-ingat rumah yang amblas juga nggak mungkin lagi, itu hanya membuat risau, stres,” ungkapnya optimis.

Semakin hari, Sofian merasa semangat dan sikap optimisnya semakin bertambah. Belakangan ia menuturkan bahwa energi itu ia dapatkan karena melihat para relawan Tzu Chi yang datang membantu warga Palu.

Apabila datang ke Posko relawan yang ada di Wihara Karuna Dipa, ia tidak hanya menunggu untuk mengantarkan relawan. Ia memilih membantu tim logistik memuat barang bantuan bersama relawan lainnya. Setelah itu, barulah ia menjadi petunjuk jalan. Turun ke lokasi pembagian bantuan, Sofian juga sigap ikut menata perlengkapan dan mengangkat ini itu.


Bisa membantu warga lainnya yang sama-sama sedang tertimpa musibah menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi Sofian.


Sofian bersyukur bisa menjadi sopir yang mengantarkan relawan ke beberapa posko pengungsian warga. Dari sana ia bisa belajar untuk bersyukur dan ikut menguatkan warga lainnya.

Sofian merasa beruntung bisa menjadi sopir relawan Tzu Chi yang secara tidak langsung ikut juga dalam setiap kegiatan relawan di Palu. Dari berbagai kegiatan relawan di sana, ia juga melihat berbagai kejadian yang menimpa warga lainnya. Ada yang kehilangan anggota tubuh, ada juga yang kehilangan anggota keluarga. Ia juga kerap berbagi pengalamannya yang kehilangan rumah kepada warga penerima bantuan. Tujuannya tidak untuk pamer, namun untuk saling menguatkan.

“Bersama Tzu Chi, saya sudah merasa sangat bersyukur karena dikasih pekerjaan. Keadaan sekarang kan masih sangat sulit untuk bekerja. Jadi saya tidak mengharap lebih, yang penting saya bisa kerja. Kita juga kan harus bersyukur bisa selamat satu keluarga. Kita harus kuat,” tutur Sofian penuh syukur.

Kini, ia dan keluarganya hanya perlu melanjutkan kesempatan hidup yang diberikan oleh Tuhan dengan lebih baik. “Saya sudah mendapatkan pelajaran berharga dari relawan Tzu Chi, kasih sayang, kebaikan, semangat, rasa syukur. Semuanya. Semoga bisa saya manfaatkan dengan baik,” katanya mantap.

Editor: Khusnul Khotimah


Artikel Terkait

Wali Kota Palu Kunjungi Kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia

Wali Kota Palu Kunjungi Kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia

22 November 2018

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia menerima kunjungan Wali Kota Palu Hidayat di Tzu Chi Center PIK, Kamis (22/11/18). Hidayat diterima langsung oleh Liu Su Mei Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dan Wakil Ketua Sugianto Kusuma. Kedatangan Hidayat ke Tzu Chi Center untuk menindaklanjuti bantuan kemanusiaan yang sejak peristiwa bencana gempa, Yayasan Buddha Tzu Chi tengah hadir di Palu untuk memberikan bantuan.

Gempa Palu: 600 Sarana MCK untuk Palu

Gempa Palu: 600 Sarana MCK untuk Palu

26 Oktober 2018

Kamis, 25 Oktober 2018, relawan Tzu Chi melakukan serah terima satu truk kontainer berisi 600 kloset, 200 sak semen, 1.800 spandek (atap), dan dua kardus paku seng kepada Korem 132/Tadulako. Serah terima ini dilakukan di depan kantor Korem 132/Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah.

Gempa Palu: Semangat Tak Boleh Terkubur Bersama Gempa

Gempa Palu: Semangat Tak Boleh Terkubur Bersama Gempa

02 November 2018

“Nah… di sana, di dekat rumah walet itu,” kata Sofian menunjuk satu-satunya bangunan yang ia ingat dan masih tersisa. “Dulu rumah saya ada di samping rumah walet itu. Tapi sudah tak ada itu sisanya,” ucapnya ringan dengan wajah tersenyum. Rumah Sofian dulu ada di Perumnas Balaroa yang terdampak likuifaksi, yang kata warga Palu, tanah di perumahan itu sudah lebur seperti diblender. Namun berbeda dengan semangat Sofian yang tetap kuat dan tak goyah.

Bila sewaktu menyumbangkan tenaga kita memperoleh kegembiraan, inilah yang disebut "rela memberi dengan sukacita".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -