Hadiah Terindah

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 
 

foto Menderita Lupus tidak membuat Cahyo Adi patah semangat. Dengan ketabahan dan keyakinan imannya, ia mampu melewati semua masa sulit hingga kemudian kesehatannya berangsur-angsur membaik.

Cahyo Adi Susanto, pria berusia 31 tahun ini sangat menyukai dunia pendidikan. Separuh hidupnya ia habiskan untuk sesuatu yang positif bagi masa depan, yaitu belajar dan menjalani hidup sesuai perintah agama.

Sejak duduk di sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, Cahyo sebagai anak ke-5 dari 6 bersaudara ini selalu membuat bangga kedua orang tuanya, dengan selalu meraih peringkat pertama di kelas. Bahkan saat memasuki sekolah menengah atas ia menunjukkan prestasi yang lebih maksimal dengan diperolehnya beasiswa siswa berprestasi dari sekolah dan kemudian berlanjut dengan diterimanya ia di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah. Namun, keterbatasan biaya untuk hidup di perantauan membuat Cahyo harus rela menggurungkan niatnya kuliah di universitas negeri dan beralih ke univesitas swasta. Kendati demikian Cahyo tetap menganggap peristiwa itu sebagai berkah yang patut disyukuri.

Suhartono (71) ayahnya, selalu membekali Cahyo dengan wejangan hidup yang berlandaskan falsafah agama. Sebagai umat Kristiani, sejak kecil hingga beranjak dewasa Cahyo tak pernah melewatkan hari Minggu tanpa pergi ke gereja bersama keluarga. Karena itu, sebagai anak yang tumbuh di keluarga yang religius dan menghargai pendidikan, hidup Cahyo bisa dikatakan terentang mulus tanpa banyak ringtangan.

Setamat kuliah dari Universitas 17 Agustus di tahun 2003, Cahyo lantas memperoleh pekerjaan sebagai auditor di sebuah perusahaan jasa perparkiran. Semula semua berjalan lancar dan Cahyo pun mendapatkan apa yang selama ini ia harapkan – memiliki penghasilan sendiri. Sampai suatu hari di bulan Juli 2005, Cahyo merasakan nyeri yang tak biasa pada seluruh persendiannya, terutama saat ia menggerakkan bahu untuk berpakaian. Ketika itu pula, Cahyo yang tak paham dengan penyakitnya itu langsung mengobatinya dengan teknik pijat. Namun setelah lebih dari 3 kali menjalani terapi pijat, nyeri itu tak kunjung reda, bahkan semakin terasa sakit. Akhirnya Cahyo pun memeriksakan diri ke salah satu balai pengobatan. Salah satu dokter di sana lantas mendiagnosis Cahyo menderita demam reumatik.

foto    foto

Keterangan :

  • Suhartono (tengah) selalu mengajarkan kebersamaan dan rasa saling memiliki di antara anggota keluarga. (kiri)
  • Meski tidak memiliki pekerjaan tetap,Suhartono (kiri) mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga tingkat perguruan tinggi. (kanan)

Setelah menjalani 6 kali pengobatan, nyeri sendi Cahyo belum juga bisa dihilangkan dan bahkan semakin parah di saat menjelang akhir tahun 2005. Ketika itu Cahyo sering mengalami demam yang diikuti sesak nafas, ruam merah pada seluruh tubuhnya, menurunnya berat badan, dan rontoknya rambut. Akibatnya Cahyo harus dirawat selama seminggu di salah satu rumah sakit di Jakarta Utara. Merasa ada yang tak beres dengan kondisi tubuhnya, maka sepulang dari rumah sakit, Cahyo kembali mengkonsultasikan dirinya ke seorang dokter spesialis kulit. Dari dokter spesialis kulit inilah akhirnya Cahyo dirujuk untuk menjalani pemeriksaan terpadu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Hasil biopsi menyatakan Cahyo positif menderita SLE (Systemic Lupus Erythematosus), yaitu penyakit mematikan yang setara dengan kanker. Penyakit di mana kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat.

Bagi Cahyo penyakit Lupus adalah istilah yang sangat asing. Ia bahkan tak terkejut ketika kali pertama menbaca hasil pemeriksaan medis. Namun saat ia mencoba mencari tahu dari berbagai literatur, perasaannya langsung terpuruk begitu tahu Lupus adalah penyakit yang mematikan. ”Semula saya tak tahu penyakit Lupus sepeti apa. Saya mencoba mencari tahu dari berbagai literatur dan setelah mengetahui saya sempat kaget, karena penyakit itu memerlukan pengobatan jangka panjang. Saya sempat down, sedih, kenapa bisa terjadi pada saya,” kata Cahyo. Tetapi keyakinan kepada Tuhan yang Maha Esa adalah kekuatan yang membuat Cahyo berkomitmen untuk tetap tabah dan bersyukur atas segala kondisi yang dialaminya.

Setelah satu tahun menjalani terapi obat, ternyata obat yang dikonsumsi Cahyo memiliki efek samping, yaitu pengeroposan tulang. Akibatnya tulang panggul sebelah kanan Cahyo keropos dan harus menjalani operasi untuk pemasangan alat penyangga. Namun kondisi ekonomi keluarga yang tak memadai membuat Cahyo harus meminjam uang dari kerabat ayahnya dan untuk sisanya ia mengajukan permohonan sebagai pasien tidak mampu ke pihak rumah sakit.

foto  foto

Keterangan :

  • Sejak berhenti sebagai pegawai swasta 28 tahun yang lalu Suhartono (kanan) berusaha mencukupi kebutuhan keluarganya dengan bekerja freelance.  (kiri)
  • Karena sudah tidak lagi bekerja, Cahyo Adi mengisi waktu luangnya dengan membaca buku. (kanan)

Sesaat setelah menjalani operasi inilah Cahyo berkenalan dengan Jamal seorang pasien penerima bantuan pengobatan Tzu Chi yang kala itu sedang dijenguk para relawan Tzu Chi. Keramahan dan perhatian yang diberikan oleh relawan pemerhati kepada Jamal, akhirnya mengundang kekaguman Cahyo dan mendorongnya untuk bertanya. Sesudah mengetahui Tzu Chi biasa memberikan bantuan sosial kepada warga tidak mampu, maka Siswanto kakak lelaki tertua di keluarganya segera mendatangi Kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia di Mangga Dua, Jakarta. Di luar semua dugaannya, seminggu setelah disurvei atau 4 hari menjelang hari ulang tahunnya  (6 Oktober 2008) permohonan Cahyo disetujui Tzu Chi. Saat itulah Cahyo menganggap bantuan Tzu Chi sebagai hadiah terindah di hari ulang tahunnya.

Hari-hari berikutnya adalah masa di mana Cahyo menjalani terapi pengobatan dengan penuh harap dan melewatkan semua hari-hari menjenuhkan dengan ketabahan dan rasa syukur. Kendati demikian, kerinduan untuk menjadi manusia seutuhnya telah mendorong Cahyo untuk menyisihkan sebagian dari uang sakunya untuk ia danakan kepada Tzu Chi. Maka selama ia menjalani pengobatan dari tahun 2008 sampai 2010, Cahyo rutin menyerahkan dana sebulan sekali.

Selama menjalani pengobatan inilah Cahyo terus belajar dan bersyukur atas peristiwa yang ia dapat sebagai sesuatu yang memiliki hikmah. ”Saya sebagai umat manusia tetap bersyukur kepada Tuhan atas apa yang diberikan dalam hidup saya. Sebagai manusia saya juga mengalami kesedihan, ingin seperti orang lain yang sehat tanpa masalah. Tetapi bagaimana pun saya harus mengakui kalau saya ada kelemahan divonis mengidap penyakit Lupus. Saya yakin di dalam hidup ini ada rencana Tuhan yang baik,” jelas Cahyo yakin.

  
 

Artikel Terkait

Gempa Lombok: Menciptakan Keceriaan di Tengah-tengah Warga Lombok Utara

Gempa Lombok: Menciptakan Keceriaan di Tengah-tengah Warga Lombok Utara

03 Oktober 2018
Berkumpul bersama warga lainnya bagi Juliani (28) adalah cara mujarab melupakan kegundahan hati akibat rumahnya yang hancur karena  gempa pada Agustus 2018 lalu. Warga Dusun Lonang di Kecamatan Gangga, Lombok Utara ini merasa senang karena relawan Tzu Chi datang lagi ke dusunnya. 
Kamp 4in1 Tzu Chi Indonesia 2019

Kamp 4in1 Tzu Chi Indonesia 2019

05 Agustus 2019

Kamp Pelatihan 4 in 1 Tzu Chi Indonesia tahun 2019 kembali diadakan di Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara. Kegiatan ini diikuti oleh relawan Tzu Chi dari berbagai wilayah di Indonesia dan diadakan selama dua hari (27-28 Juli 2019).

Pasien Juga Manusia

Pasien Juga Manusia

05 Maret 2010
Baru beberapa langkah ia maju ke depan, pasien itu kembali berteriak, “Mbak yang cantik,” panggilnya. “Kenapa mbak tidak mau kenalan sama saya, apa karena saya gila? Biar gila, saya kan juga manusia.” keluhnya.
Cara untuk mengarahkan orang lain bukanlah dengan memberi perintah, namun bimbinglah dengan memberi teladan melalui perbuatan nyata.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -