Menjadi seorang kurir bukanlah pekerjaan yang mudah. Membawa tumpukan barang dari satu tempat ke tempat yang lain, melewati kemacetan jalan di bawah panas terik atau hujan lebat, juga memastikan barang sampai sesuai pesanan dan tepat waktu. Sebuah runtutuan tugas yang berat. Tapi dalam hal ini, Handoko ahlinya.
Bersama motornya, Handoko biasa mengantar barang yang dijual di toko Aneka Jaya Stationary, tempat ia bekerja. Wilayah antaran biasa tidak jauh dari Bekasi dan sekitarnya, tapi dia juga pernah mengantar barang sampai Cikarang, yang apabila ditempuh dengan motor, bisa menempuh sekitar 2 jam perjalanan. Khusus untuk Handoko, bisa sampai 3 jam.
Handoko menggunakan kaki palsu untuk beraktifitas sepanjang hari, mulai dari bekerja hingga bermain bersama anak semata wayangnya.
Rasanya mungkin biasa bagi masyarakat urban yang jarak rumah dan kantor terhitung jauh. Tapi bagi Handoko, hal itu termasuk pencapaian yang khusus dalam hidupnya. Ia berani mengendarai motor, ia bisa mengendarai motor, ia melawan ketakutan dan trauma masa lalunya.
Hidup Berubah dalam Semalam
Handoko hari itu (12 Oktober 2021) berpenampilan rapi, rambutnya baru saja dicukur karena relawan Tzu Chi Bekasi mengabari ingin berkunjung melihat kondisinya dan keluarga. Mereka lalu bertemu di tempat kerja Handoko, yang alamatnya mudah dicari. Handoko mengenakan setelan kaos dan celana jins, dilengkapi dengan sepatu kets. Apabila dilihat, tak ada yang berbeda dengannya. Hanya cara jalannya saja yang sedikit timpang karena satu kakinya merupakan kaki palsu prostetik.
Handoko biasa menjaga, merapikan, dan mengantar barang yang dijual di toko Aneka Jaya Stationary, tempat ia bekerja ke berbagai wilayah Bekasi dan sekitarnya.
Kaki kanan Handoko diamputasi tahun 2015 lalu setelah lima tahun berjuang menjalani pengobatan alternatif karena kecelakaan motor yang menimpanya. Sebenarnya tulang kaki Hadoko sudah patah sejak awal kecelakaan. Bagian tulang di pergelangan kaki dan tulang keringnya harus segera ditangani oleh dokter. Namun kala itu Handoko dan keluarga percaya untuk pergi ke tukang urut. Itu pun sedikit tertunda karena saat itu adalah masa-masa perayaan Hari Raya Idul Fitri.
Cedera menahun yang kurang tepat dalam segi penanganan tersebut membuat kondisi Handoko tak kunjung sembuh. Luka di kaki kanannya juga meluas menjadi sepanjang sejengkal orang dewasa. Hingga keputusan akhir, ia harus diamputasi. “Padahal setiap diurut, bapaknya (tukang urut) kasih semangat terus dan bilang kalau bisa sembuh,” kenang Handoko.
Lima tahun berusaha mempertahankan kaki kanannya, Handoko yang saat itu masih kelas 2 SMP (15 tahun) sangat terpukul. Ia pun harus berhenti sekolah untuk melanjutkan pengobatannya. “Tapi kenapa malah parah? Kenapa kok nggak sembuh-sembuh?” begitu keluhnya setiap menyadari kondisi kakinya.
Keluarga Handoko juga sama sedihnya. Dalam kondisi yang tak kunjung membaik dan selama proses itu pula, ibunya ikut sakit. Keuangan keluarga pun menjadi tidak menentu, sehingga rumah keluarga harus dijual. Sementara adiknya, putus sekolah. Tak berselang lama, ibunya meninggal.
Relawan Tzu Chi menamani Handoko usai operasi amputasi yang ia lakukan di RSCM, Jakarta Pusat tahun 2005 lalu.
Kabar mengenai kakinya yang harus diamputasi juga membuat Handoko putus asa. Ia tidak sampai hati berpikir apa jadinya masa depannya tanpa satu kaki. Untuk berdiri saja pasti tidak lagi seimbang, bagaimana bisa ia menjalani hidup?
Handoko sangat ingin mempertahankan kakinya, ia masih mau bisa bertanding bola bersama teman seusianya, juga bermain dan berlarian. Ia tak bisa menahan rasa malu. “Pas tidur pun saya dijagain sama orang tua, takut saya bertindak di luar batas karena kan saya nangis sejadi-jadinya, sedih dan marah sekali,” kata Handoko, “Ya tapi kalau tunggu lama lagi, (lukanya) bisa lebih parah lagi, bisa sampai paha.”
Mengumpulkan Kembali Harapan yang Tersisa
Kala itu, karena keterbatasan keluarga, biaya amputasi Handoko dibantu oleh Tzu Chi, begitu pula dengan pengobatan setelah amputasi, rawat jalan untuk pemulihan, terapi jalan, hingga pemberian kaki palsu pertama pada tahun 2006. Sejak saat itu, Handoko belajar mengubur kenangan lama dan mencoba menapak dengan kaki barunya. Tahun 2016 dan 16 Oktober 2021 kemarin, Tzu Chi juga masih membantu kembali pengadaan kaki palsu baru untuk Handoko. Jalinan jodoh baik tersebut terus dirajut.
“Kadang kalau nggak pakai kaki palsu, saya kelupaan dan jalan aja. Ternyata jatoh. Rasanya seperti masih ada kakinya,” ungkap Handoko yang kini sudah bisa menertawakan masa-masa beratnya.
Sudah 16 tahun lamanya, Handoko menggunakan kaki palsu. Kecelakaan yang terjadi 21 tahun lalu membuat kaki kanan Handoko harus diamputasi.
Bisa pulih dari kecelakaan adalah berkah tersendiri untuknya. Apa yang ia takutkan pun tidak sepenuhnya terjadi. Buktinya, keluarga, saudara, dan teman-temannya malah memberikan dukungan moral dan tidak meninggalkannya, pun mempermalukannya.
“Rasa minder masih ada walaupun tidak seperti dulu. Tapi dukungan dari keluarga, saudara, dan teman, membuat rasa percaya diri sedikit demi sedikit terbangkitkan,” tutur Handoko, “Orang pasti punya kekurangan, tapi yasudah, saya jalani saja walaupun sangat tidak mudah. Saya yakin Tuhan memberi yang terbaik dan ke depannya juga ada jalan terbaik.”
Menjaga Kepercayaan dan Berhati-hati
Relawan Tzu Chi Bekasi, Denasari dan Listiany berkunjung ke rumah Handoko dan keluarganya di daerah Bekasi dan memberikan bingkisan.
Tahun ini adalah tahun ke 16 setelah Handoko menjalani amputasi. Kini Handoko sudah berkeluarga. Ia mempunyai istri yang mendukungnya, anak usia 18 bulan yang lincah, dan keluarga yang menyayanginya. Handoko juga mempunyai pekerjaan yang lancar dan atasan yang baik.
Di pekerjaan saat ini, Handoko merangkap sebagai penjaga toko dan pengantar barang. Sudah lima tahun ia bekerja di sana. Bosnya, Maria, mengaku salut dengan semangat Handoko karena walaupun satu kakinya adalah kaki palsu, ia mengerjakan pekerjaan yang baik, jujur, dan cekatan.
“Sebenarnya nggak terlalu tahu (kalau Handoko ada kekurangan) awalnya, tapi pas masuk ya akhirnya tahu. Temannya bilang walaupun ada kurangnya, dia rajin. Ya pas sekali karena saya butuh anak yang rajin dan jujur. Sampai akhirnya lima tahun bertahan (bekerja) di sini, terbukti juga anaknya rajin,” ungkap Maria.
Handoko mengabadikan motor beserta muatannya ketika pesanan barang sedang banyak. Walaupun tidak mudah, Handoko bisa bekerja dengan penuh tanggung jawab dan mengantarkan pesanan dengan baik.
Dalam seminggu, Handoko bisa dua tiga kali keluar toko untuk mengantar barang. Bisa juga setiap hari, tergantung dari ritme pesanan. Sebagai kurir dengan satu kaki palsu, tidak mudah untuk menyeimbangkan berat, apalagi ketika barang yang ia antar sedang banyak-banyaknya. Tapi seiring waktu, Handoko terbiasa.
Sementara untuk mengendarai motor, ayah satu anak ini sudah mulai menyesuaikan diri sejak tahun 2008. Karena menggunakan motor bebek manual, ia hanya bisa mengandalkan rem tangan, sehingga kaki palsu di bagian kanannya tak perlu menginjak rem. Kuncinya, ia harus ekstra hati-hati yang menyesuaikan layu kecepatan motornya saat berkendara.
Menjalin Jodoh dan Memupuk Berkah
Masa sekarang yang dirasakan oleh Handoko adalah masa-masa yang tidak terbayangkan olehnya. Ia sadar keadaannya saat ini adalah berkat uluran tangan dari banyak orang. Mulai dari keluarga hingga relawan Tzu Chi dan donatur. Dari sana ia ingin pula bersumbangsih. Tak banyak, tapi ia bertekad walaupun tidak bisa dengan materi, tenaga pun ia luangkan.
“Shixiong Handoko memang rajin,” kata Denasari, relawan Tzu Chi Bekasi. “Kekurangannya tidak mengganggu dia dalam beraktivitas seperti orang lain pada umumnya,” imbuh Dena, panggilan akrabnya.
Handoko dan keluarga kecilnya bercanda bersama relawan Tzu Chi Bekasi.
Denasari bercerita pada tahun 2018, ketika Tzu Chi di Bekasi mengadakan baksos pembagian sembako, Handoko mulai ikut kegiatan kerelawanan di Xie Li Bekasi. “Dia rajin. Kalau orang nggak tahu juga nggak akan sadar kalau Shixiong Handoko pakai kaki palsu karena cekatan dan bawa sembako berat juga oke aja,” kenang Dena.
Usai dari baksos pembagian sembako itu, Handoko kembali ikut dalam baksos kesehatan degeneratif. Dena masih ingat bagaimana Handoko menawarkan tenaganya dan mencari hal apa yang bisa ia kerjakan alih-alih menunggu perintah.
Hal lain yang Dena ceritakan adalah tentang Handoko yang menelfonnya untuk ikut dalam program donasi ranjang di Tzu Chi Hospital. “Ia membagi cinta kasih dan berkah. Padahal waktu itu saya nggak tawarin, tapi dia menelfon dan minta ikut,” tutur Dena. Dalam program itu, Xie Li Bekasi mengumpulkan Rp 50 ribu per bulan selama 10 bulan dari 200 simpatisan (relawan / donatur).
Handoko kembali bersumbangsih dengan bergabung menjadi relawan Tzu Chi dan ikut berkegiatan di waktu senggangnya.
Handoko mengaku senang bisa ikut kegiatan Tzu Chi. Walaupun sebelumnya ia mengaku minder ketika bertemu orang baru, tapi di Tzu Chi ia merasakah hal yang beda. Semua relawan saling membantu, semua relawan bagai keluarga. “Saya ingin menjadi relawan seperti kebanyakan Shixiong Shijie lainnya. Saya ingin bisa membantu dengan apa yang bisa saya lakukan atau saya kerjakan. Saya ingin menjadi orang yang bermanfaat,” tegas Handoko.
Dena bersyukur kini Handoko sudah bisa menikmati hasil dari pertempurannya dengan beban dan kekalutan di masa lalu yang membuatnya lebih dewasa dari usianya. Ia berharap Handoko bisa terus menjaga semangatnya dan pelan-pelan bisa membantu sesama dengan kemampuan yang ia punya. Berawal dari tangan di bawah, menjadi di atas. Seperti tujuan Master Cheng Yen, dari penerima bantuan menjadi pemberi bantuan. “Dari gan en hu, menjadi relawan,” kata Dena.
Editor: Khusnul Khotimah