Harapan yang Sempat Hilang
Jurnalis : Veronika Usha, Fotografer : Veronika UshaTidak hanya memberikan bantuan pengobatan, para relawan Tzu Chi juga rutin melakukan kunjungan kasih ke rumah para pasien kasus untuk menjalin tali silahturahmi. |
| ||
Penyakit Itu Datang Kondisi ini akhirnya membuat Henny memutuskan untuk berobat ke sebuah Puskesmas di Kayumanis, Jakarta Timur. Henny menuturkan, saat itu ia sempat mengira kalau mual-mual yang dirasakannya itu karena dirinya hamil, tapi ternyata setelah dilakukan tes kehamilan, hasilnya pun negatif, “Aku bilang ke dokter setiap bulan aku mens rutin. Tapi kenapa kali ini mens terus, apakah saya hamil?” Dokter pun menjelaskan kalau mungkin ada kista di rahim Henny, dan mengimbaunya untuk melakukan USG di Puskesmas Matraman, Jakarta Timur — saat itu USG di Puskesmas Kayumanis sedang rusak. Setelah dilakukan pemeriksaan dan bertemu dengan dr. Ronald, salah satu dokter di sana, Henny didiagnosis menderita mola (gumpalan darah yang keluar dari rahim ketika mengalami keguguran), dan harus segera dikuret. Aku Putus Asa
Ket : - Henny adalah salah satu pasien kasus Tzu Chi yang rela kehilangan rahimnya karena penyakit trofoblas ganas yang dideritanya, serta besarnya biaya pengobatan. (kiri) Setelah mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), akhir April Henny pun langsung ke RSCM untuk melakukan kuret. Tapi tanpa diduga, ia harus menjalani serangkaian pemeriksaan terlebih dahulu. “Saya harus periksa darah dan menjalani observasi, itu aja sudah habis Rp 1.500.000,” ungkapnya. Setelah dikuret, Henny langsung mengajukan kepada pihak rumah sakit untuk bisa segera pulang ke rumah karena uangnya sudah semakin menipis. Pihak RSCM sebenarnya tidak mengizinkan Henny karena kondisinya yang masih tidak memungkinkan, tapi karena Henny terus memaksa dengan alasan tidak ada biaya, akhirnya ia pun bisa keluar rumah sakit. “Saat pergi ke administrasi mengurus pembayaran, uang saya saat itu tinggal Rp 500.000, sedangkan biaya rumah sakit mencapai 3 juta rupiah. Saya bingung. Akhirnya saya telepon ibu (saya), dan ditambahin ibu satu juta. Setelah kompromi dengan pihak rumah sakit, akhirnya saya bisa keluar,” terang Henny. Setelah lima hari di rumah, Henny kembali merasakan sakit di perutnya. Ia pun memutuskan untuk kembali memeriksakan diri dan menjalani USG. Hasilnya sangat mengejutkan, menurut dokter ia menderita Penyakit Trofoblas Ganas (PTG) dan meminta Henny untuk segera menjalani kemoterapi. Mendengar hal itu, Henny pun sangat putus asa. Bukan hanya karena harus menjalani kemoterapi, tapi lebih memikirkan biaya kemoterapi yang sangat mahal, sekitar dua juta rupiah. “Dua juta mungkin bagi orang lain bukan uang yang besar, tapi untuk saya itu besar sekali. Masa setiap saya mau kemoterapi, saya harus terus meminta bantuan dari adik dan ibu? Akhirnya saya minta kepada dokter untuk angkat rahim saja, dan tidak perlu kemoterapi. Tapi dokter dari RSCM tetap merekomendasikan untuk melakukan kemoterapi. Karena saya sangat putus asa, saya nekat pergi ke rumah sakit lain (di Jakarta) untuk angkat rahim,” jelas Henny. Di sana (rumah sakit) Henny pun menceritakan keinginannya kepada dokter. Setelah menjalani pemeriksaan, ternyata Henny juga mengalami kelainan darah dan harus melakukan tranfusi darah terlebih dahulu sebelum operasi pengangkatan rahimnya dilakukan.
Ket : - Julaeha, ibunda Henny, juga bersyukur penyakit putrinya bisa disembuhkan. (kiri). Mengenal Tzu Chi Selain mendapat bantuan biaya untuk operasi pengangkatan rahim, Henny menjelaskan bahwa hingga kini biaya check up dan dokter Henny pun masih dibantu oleh Tzu Chi, “Setiap kali check up, saya harus menyediakan uang sekitar Rp 300.000. Dan ini harus teratur saya lakukan selama lebih kurang dua tahun, hingga (kadar dan ukuran) darah saya normal.” Kondisi ekonomi Henny memang cukup memprihatinkan. Suami Henny tidak memiliki pekerjaan tetap, sedangkan ia sendiri hanya seorang buruh jahit sulaman kerudung yang berpenghasilan lebih kurang Rp 40.000 setiap dua minggu sekali. “Untuk makan sehari-hari saja kami masih kesulitan,” tutur ibu dari tiga anak ini, yang hingga kini masih menumpang tinggal di rumah ibundanya. Karena rasa syukur atas kesembuhannya dan bantuan dari Tzu Chi, ia kini dengan tulus menyisihkan sedikit penghasilannya di sebuah celangan bambu yang diberikan oleh relawan Tzu Chi. “Saya terima kasih sekali. Saya pernah merasakan sendiri bagaimana rasanya putus asa dan hilang harapan ketika sakit. Oleh karena itu, mungkin sedikit uang ini bisa membantu mereka yang juga merasakan penderitaan seperti saya,” isak Henny menahan air matanya. Bantuan dan pendampingan para relawan Tzu Chi tidak hanya membekas di hati Henny, Julaeha, sang ibu juga merasakan hal serupa. “Saya dulu juga sempat putus asa. Kasihan dia, makan saja mereka susah, apalagi untuk berobat. Ibu dari Tzu Chi juga sangat perhatian, mereka sering datang menjenguk Henny di sini,” tuturnya haru. Tidak hanya bantuan pengobatan, para pasien juga membutuhkan semangat dan motivasi dalam menghadapi penyakit yang tengah mereka derita. | |||
Artikel Terkait
Menjaga Kualitas Menu Vegan di Tantangan 21 Hari Diet Nabati Utuh Tzu Chi Medan
08 September 2022Peserta program Tantangan 21 Hari Diet Nabati Utuh Tzu Chi Medan telah menyelesaikan programnya (periode 31 Juli – 20 Agustus 2022).
Perhatian untuk Para Pengungsi di Sentani
27 Maret 2019Di hari ketiga (24/3), relawan Tzu Chi masih terus berkeliling di posko-posko pengungsian untuk melakukan survei dan pemberian bantuan. Di Posko Pokem relawan medis Tzu Chi ikut memberikan pelayanan kesehatan.
Satu Juta Masker dan Rapid Test Kit untuk Indonesia
24 Maret 2020Sampai tanggal 23 Maret 2020, Tzu Chi Indonesia telah menyalurkan bantuan 1.200.000 masker, 2.995 baju isolasi, ditambah 400.700 alat rapid test, juga 4 buah ventilator (alat bantu pernafasan) sudah disalurkan ke 68 rumah sakit dan 18 instansi pemerintahan.