Harapan yang Sempat Hilang

Jurnalis : Veronika Usha, Fotografer : Veronika Usha
 
 

fotoTidak hanya memberikan bantuan pengobatan, para relawan Tzu Chi juga rutin melakukan kunjungan kasih ke rumah para pasien kasus untuk menjalin tali silahturahmi.

Ketika orang lain tengah menikmati hari libur pada tanggal 26 Februari 2009 lalu, para relawan Tzu Chi justru sibuk memupuk kebajikan. Setelah memasak makan siang untuk para “seniman bangunan” di proyek pembangunan Aula Jing Si, tiga relawan Tzu Chi dari He Qi Selatan, Marlina, Windarti Susilo, dan Marwani, masih menyempatkan waktu untuk melakukan kunjungan kasih di rumah Henny Suryaningsih, salah satu pasien kasus Tzu Chi yang terpaksa harus merelakan rahimnya diangkat (operasi) karena keterbatasan biaya.  

 

 

Penyakit Itu Datang
Sekitar awal tahun 2009, Henny mulai merasakan ada keganjilan di dalam tubuhnya. Ia sering sekali merasa lemah, kurang darah, serta mual-mual. Keanehan ini terus berlanjut hingga bulan Februari, dimana Henny mengalami pendarahan tanpa henti. “Pendarahannya seperti datang bulan. Tapi bedanya, kalau ini pagi-pagi keluarnya seperti vlek saja, tapi kalau malam darah yang keluar sangat banyak dan tidak berwarna merah, tapi hitam,” kenang Henny.

Kondisi ini akhirnya membuat Henny memutuskan untuk berobat ke sebuah Puskesmas di Kayumanis, Jakarta Timur. Henny menuturkan, saat itu ia sempat mengira kalau mual-mual yang dirasakannya itu karena dirinya hamil, tapi ternyata setelah dilakukan tes kehamilan, hasilnya pun negatif, “Aku bilang ke dokter setiap bulan aku mens rutin. Tapi kenapa kali ini mens terus, apakah saya hamil?”

Dokter pun menjelaskan kalau mungkin ada kista di rahim Henny, dan mengimbaunya untuk melakukan USG di Puskesmas Matraman, Jakarta Timur — saat itu USG di Puskesmas Kayumanis sedang rusak. Setelah dilakukan pemeriksaan dan bertemu dengan dr. Ronald, salah satu dokter di sana, Henny didiagnosis menderita mola (gumpalan darah yang keluar dari rahim ketika mengalami keguguran), dan harus segera dikuret.

Aku Putus Asa
“Biaya untuk kuret tidak murah. Di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) saja, kalau menggunakan SKTM  (dibutuhkan) Satu Juta Rupiah, sedangkan kalau tidak, bisa sampai 2 juta rupiah. Untung saja salah satu adik saya mau membantu,” tutur Henny.

foto  foto

Ket : - Henny adalah salah satu pasien kasus Tzu Chi yang rela kehilangan rahimnya karena penyakit             trofoblas ganas yang dideritanya, serta besarnya biaya pengobatan. (kiri)
       - Setelah sembuh dari penyakitnya, Henny kini melanjutkan pekerjaan sambilannya menjadi buruh jahit             sulaman kerudung untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan keluarga. (kanan)

Setelah mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), akhir April Henny pun langsung ke RSCM untuk melakukan kuret. Tapi tanpa diduga, ia harus menjalani serangkaian pemeriksaan terlebih dahulu. “Saya harus periksa darah dan menjalani observasi, itu aja sudah habis Rp 1.500.000,” ungkapnya.

Setelah dikuret, Henny langsung mengajukan kepada pihak rumah sakit untuk bisa segera pulang ke rumah karena uangnya sudah semakin menipis. Pihak RSCM sebenarnya tidak mengizinkan Henny karena kondisinya yang masih tidak memungkinkan, tapi karena Henny terus memaksa dengan alasan tidak ada biaya, akhirnya ia pun bisa keluar rumah sakit. “Saat pergi ke administrasi mengurus pembayaran, uang saya saat itu tinggal Rp 500.000, sedangkan biaya rumah sakit mencapai 3 juta rupiah. Saya bingung. Akhirnya saya telepon ibu (saya), dan ditambahin ibu satu juta. Setelah kompromi dengan pihak rumah sakit, akhirnya saya bisa keluar,” terang Henny.

Setelah lima hari di rumah, Henny kembali merasakan sakit di perutnya. Ia pun memutuskan untuk kembali memeriksakan diri dan menjalani USG. Hasilnya sangat mengejutkan, menurut dokter ia menderita Penyakit Trofoblas Ganas (PTG) dan meminta Henny untuk segera menjalani kemoterapi. Mendengar hal itu, Henny pun sangat putus asa. Bukan hanya karena harus menjalani kemoterapi, tapi lebih memikirkan biaya kemoterapi yang sangat mahal, sekitar dua juta rupiah. “Dua juta mungkin bagi orang lain bukan uang yang besar, tapi untuk saya itu besar sekali. Masa setiap saya mau kemoterapi, saya harus terus meminta bantuan dari adik dan ibu? Akhirnya saya minta kepada dokter untuk angkat rahim saja, dan tidak perlu kemoterapi. Tapi dokter dari RSCM tetap merekomendasikan untuk melakukan kemoterapi. Karena saya sangat putus asa, saya nekat pergi ke rumah sakit lain (di Jakarta) untuk angkat rahim,” jelas Henny.

Di sana (rumah sakit) Henny pun menceritakan keinginannya kepada dokter. Setelah menjalani pemeriksaan, ternyata Henny juga mengalami kelainan darah dan harus melakukan tranfusi darah terlebih dahulu sebelum operasi pengangkatan rahimnya dilakukan. 

foto  foto

Ket : - Julaeha, ibunda Henny, juga bersyukur penyakit putrinya bisa disembuhkan. (kiri).
         - Walaupun ekonominya terbatas, Henny tulus menyisihkan sebagian penghasilannya untuk               disumbangkan ke Tzu Chi melalui celengan bambu dan donatur. "Bukan jumlahnya, tapi semangat               cinta kasihnya harus kita syukuri," ucap Susilo, salah satu relawan Tzu Chi. (kanan)

Mengenal Tzu Chi
Saat tengah melakukan tranfusi darah tersebut Henny bertemu dengan Tan Mey Hoa, salah satu pasien kasus Tzu Chi yang tengah mendapatkan pengobatan karena menderita miom pada rahimnya. “Melalui Mey Hoa saya tahu Yayasan Buddha Tzu Chi, dan akhirnya kami pun mengurus segala surat-surat yang dibutuhkan untuk segera mendapatkan bantuan pengobatan,” terang Henny.

Selain mendapat bantuan biaya untuk operasi pengangkatan rahim, Henny menjelaskan bahwa hingga kini biaya check up dan dokter Henny pun masih dibantu oleh Tzu Chi, “Setiap kali check up, saya harus menyediakan uang sekitar Rp 300.000. Dan ini harus teratur saya lakukan selama lebih kurang dua tahun, hingga (kadar dan ukuran) darah saya normal.”

Kondisi ekonomi Henny memang cukup memprihatinkan. Suami Henny tidak memiliki pekerjaan tetap, sedangkan ia sendiri hanya seorang buruh jahit sulaman kerudung yang berpenghasilan lebih kurang Rp 40.000 setiap dua minggu sekali. “Untuk makan sehari-hari saja kami masih kesulitan,” tutur ibu dari tiga anak ini, yang hingga kini masih menumpang tinggal di rumah ibundanya.

Karena rasa syukur atas kesembuhannya dan bantuan dari Tzu Chi, ia kini dengan tulus menyisihkan sedikit penghasilannya di sebuah celangan bambu yang diberikan oleh relawan Tzu Chi. “Saya terima kasih sekali. Saya pernah merasakan sendiri bagaimana rasanya putus asa dan hilang harapan ketika sakit. Oleh karena itu, mungkin sedikit uang ini bisa membantu mereka yang juga merasakan penderitaan seperti saya,” isak Henny menahan air matanya.

Bantuan dan pendampingan para relawan Tzu Chi tidak hanya membekas di hati Henny, Julaeha, sang ibu juga merasakan hal serupa. “Saya dulu juga sempat putus asa. Kasihan dia, makan saja mereka susah, apalagi untuk berobat. Ibu dari Tzu Chi juga sangat perhatian, mereka sering datang menjenguk Henny di sini,” tuturnya haru.

Tidak hanya bantuan pengobatan, para pasien juga membutuhkan semangat dan motivasi dalam menghadapi penyakit yang tengah mereka derita.

  
 
 

Artikel Terkait

Aksi solidaritas Relawan Tzu Chi di Lhokseumawe pada Bulan Suci Ramadan

Aksi solidaritas Relawan Tzu Chi di Lhokseumawe pada Bulan Suci Ramadan

27 April 2021

Relawan Tzu Chi Lhokseumawe membagikan paket kebutuhan harian dan dana tanggap darurat kepada 12 kepala keluarga yang mengalami musibah kebakaran di Desa Batuphat Timur, Kecamatan Muara Satu pada Jumat (24/04/2021) malam.

Daur Ulang di Sekolah Surya Dharma

Daur Ulang di Sekolah Surya Dharma

01 Desember 2015
Minggu, 22 November 2015, relawan Tzu Chi He Qi (komunitas) Selatan mengadakan kegiatan pelestarian lingkungan yang berlokasi di Sekolah Surya Dharma, Jl. Tolapekong 14 Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kegiatan rutin yang berlangsung setiap hari Minggu di akhir bulan ini dimulai pukul 9 pagi hingga 12 siang.
Rumah untuk Tzu Chi Indonesia

Rumah untuk Tzu Chi Indonesia

10 Mei 2009 Pencanangan Pembangunan Aula Jing Si Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dimulai pada tanggal 10 Mei 2009. Aula Jing Si memiliki makna khusus bagi Tzu Chi sebab akan menjadi pusat kegiatan yang merekam jejak perjalanan misi kemanusiaan Tzu Chi. Master Cheng Yen, pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi berujar, “Saya berharap penampilan luar maupun berbagai isi bagian dalam Aula Jing Si secara keseluruhan, dapat menjadi ’Pembabaran Dharma tanpa kata-kata’.
Keindahan kelompok bergantung pada pembinaan diri setiap individunya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -