Harmonisasi dalam Keberagaman

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari
 
 

foto
Faisal (tengah), salah satu Peneliti dari Pusat Riset Ilmu Kepolisian, mewakili para tamu undangan untuk melakukan perkenalan pada kunjungan yang dilakukan Selasa, 23 april 2013 lalu.

Dalam kehidupan bermasyarakat, sering kali kita mendengar kata toleransi, tenggang rasa, maupun kerukunan. Kata-kata tersebut memang tidak asing lagi bagi kita yang hidup di negara dengan multi etnis seperti Indonesia ini. Bahkan ungkapan toleransi sendiri begitu kental terlihat di semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya, dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain.

Berkaitan dengan toleransi tersebut, sebanyak 12 orang mantan pejuang Afganistan dan Moro selasa (23/4) lalu melakukan kunjungan di Rusun Cinta Kasih Tzu Chi untuk melihat harmonisnya hidup dalam kebergaman di kompleks rusun ini. Faisal yang merupakan salah satu Peneliti dari Pusat Riset Ilmu Kepolisian mengungkapkan bahwa kegiatan kunjungan ini telah dilakukan sebanyak dua kali dengan peserta yang berbeda di setiap kunjungannya. Dengan feedback yang sangat baik dalam kunjungan pertama, akhirnya mereka mengadakan kunjungan untuk yang kedua ini dengan tujuan yang tidak jauh berbeda yaitu mengenalkan bagaimana menerapkan toleransi dalam perbedaan. “Kami dari Pusat Riset Ilmu Kepolosian UI ingin membawa para peserta Program Pemberdayaan Dakwah Islam untuk bisa meninjau dan berkeliling ke yayasan ini, tujuannya tidak lain adalah untuk memperkenalkan kepada mereka bahwa ada lingkungan masyarakat yang harmonis, yang saling toleransi, yang tenggang rasa, yang justru diprakarsai oleh yayasan dengan latar belakang agama Buddha. Jadi hari ini penting bagi mereka karena mereka bisa mengenal dan mengetahui bahwa ternyata di luar sana banyak yayasan yang memang pure bergerak dibidang kemanusiaan,” ujar Faisal.

foto  foto

Keterangan :

  • Eko Raharjo (kemeja putih), salah seorang guru Agama Islam di Sekolah Cinta Kasih Cengkareng, mendapat kesempatan untuk menceritakan pengalamannya selama mengajar di sekolah Cinta Kasih Cengkareng selama hampir sepuluh tahun (kiri).
  • Ke-12 orang yang merupakan eks pejuang perang Afganistan dengan Soviet dan juga eks kelompok Moro di Filipina ini diajak untuk melihat kompleks rusun Tzu Chi dan mengamati bagaimana keberagaman di dalamnya (kanan) .

Ke-12 orang ini merupakan eks pejuang perang Afganistan dengan Soviet dan juga eks kelompok Moro di Filipina. Faisal juga menjelaskan latar belakang pembentukan program deradikalisasi yang kini kian serius mereka geluti. “Awalnya tahun 2009 kita membuat program yang serius bernama deradikalisasi dan kita terlibat langsung dengan orang yang benar-benar melakukan aksi teror dan masuk penjara. Program ini kemudian dilanjutkan dengan mencari orang-orang yang terlibat tapi yang sudah keluar dari tahanan atau orang-orang yang tidak ikut sama sekali. Kita kemudian ketemu mereka yang tersebar di 6 kota, Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Balikpapan, Ambon (2011-2012). Dari sini sebenarnya tujuan yang paling utama yang ingin kita capai adalah untuk meminimalisir aksi bom terjadi lagi dan juga menjadikan mereka kembali diterima di masyarakat,” jelasnya. “Dengan label mereka yang teroris, radikal, atau sebagainya ini kan merugikan bagi mereka, dari sana kita juga bekerjasama dengan kementerian agama untuk menaungi mereka ketika mereka akan melakukan dakwah,” tambah Faisal.

Membina Tenggang Rasa
Eko Raharjo, salah seorang guru Agama Islam di Sekolah Cinta Kasih Cengkareng pada kegiatan ini mendapat kesempatan untuk menceritakan pengalamannya selama mengajar di sekolah hampir selama sepuluh tahun. Berawal dari keragu-raguan karena latar belakang dirinya yang merupakan seorang muslim, namun berakhir dengan kecintaannya pada sekolah ini. “Tahun 2003 lalu, sebelum saya masuk menjadi guru agama di sini. Saya sempat ragu ketika membaca lowongan kerja di sebuah media cetak yang menyatakan bahwa Yayasan Buddha Tzu Chi membutuhkan seorang guru agama Islam. Setelah berkonsultasi dengan keluarga, akhirnya saya diijinkan oleh untuk mengajar. Awal masuk, saya pikir muridnya mayoritas beragama Buddha karena ini adalah yayasan Buddha, namun ternyata perkiraan saya salah karena di sini waktu itu 90% murinya beragama muslim. Berselang beberapa tahun kemudian, sekolah ini menjadi multi ras, ada berbagai keturunan yang menjadikannya beragam, namun dalam keberagaman ini menjadikan cerminan tenggang rasa yang besar, sikap saling menghormati dan toleransi  begitu terlihat,” tutur Pak Eko.

“Tantangan pertama saya mengajar di sini adalah pada bulan puasa di tahun 2004 yang akhirnya malah menimbulkan keharuan bagi saya sendiri karena kami begitu dihormati. Pihak yayasan waktu itu memberikan kesempatan untuk siswa-siswi kami yang muslim untuk dapat beribadah puasa dengan khusuk tanpa boleh diganggu oleh yang beragama lain dengan cara memberikan peraturan untuk tidak makan di sembarang tempat dan memberikan iming-iming pada yang lain. Ini artinya bahwa praktek daripada toleransi tidak hanya dalam teori, tapi kami sendiri telah melakukan hal tersebut. Dari sana akhirnya harmonisasi dalam keberagaman ini bisa terwujud dan membuat saya merasa nyaman bahwa kesempatan kami untuk beribadah terwujud dengan baik di sini.”

foto  foto

Keterangan :

  • Dengan adanya kunjungan ini diharapkan bahwa pandangan mengenai tolerasi dan tenggang rasa serta keharmonisan dalam bermasyarakat yang terwujud di rusun Tzu Chi dapat dicontoh oleh masyarakat luas (kiri) .
  • Dalam kunjungan, Pak Yono (tengah), pengelola Rusun Cinta Kasih membawa para tamu ke berbagai tempat kegiatan warga seperti depo daur ulang, dan juga hasta karya (kanan) .

Sama halnya dengan Eko Raharjo, Setia Damayanti yang dulu pernah mengambil penelitian mengenai ekologi masyarakat dalam lingkup rumah susun juga merasakan hal yang sama. Selama melakukan penelitian di Taiwan, perlakuan yang sangat baik juga didapatkan olehnya. “Sewaktu saya melakukan penelitian di Taiwan saya begitu merasa terharu ketika saya ingin meminta sebuah tempat untuk melakukan sholat dzuhur. Kalau misalnya di Indonesia, kita sholat pasti di tempatkan di tempat paling pojok di sudut ruangan. Tapi di sana saya disediakan tempat yang paling baik, bersih, di sana saya merasa bahwa toleransi antar sesama sangat terasa,” ujar Maya.

Kembali Bermasyarakat
Awal tahun 1987, Ahmad Sajuli pergi merantau ke Afganistan. Selama di sana dia menimba ilmu kemiliteran termasuk juga ilmu tentang agama Islam. Tak lama berselang, pecahlah perang antara Afganistan dengan Uni Soviet yang membuat suasana menjadi genting dan  mengharuskan orang-orang untuk bisa menjaga diri masing-masing dari serangan-serangan. Ahmad sendiri merupakan salah satu  dari mereka-mereka yang ikut berjuang dalam perang tersebut. Setelah empat tahun berjuang, Ahmad memutuskan untuk kembali pulang dan belajar keberagaman. “Sebenarnya semua agama itu sama, di Islam kami juga diajarkan tentang keberagaaman dan juga perbedaan. Kini setelah saya kembali dari Afganistan, saya mulai belajar membuka diri dan kembali bermasyarakat. Saya juga sangat salut pada Tzu Chi karena sudah sejak lama sekali yayasan ini memberikan kontribusinya pada masyarakat yang memang membutuhkan bantuan. Sebagai seorang Muslim, kami juga seharusnya bisa mencontoh apa yang telah Tzu Chi lakukan untuk masyarakat. Sehingga rasa toleransi dalam masyarakat benar-benar dapat tercapai,” kata Ahmad. Dirinya juga menegaskan bahwa apa yang telah ia pelajari di Afganistan tidak akan ia aplikasikan di negara asalnya. “Setelah pulang ke Indonesia, saya seperti orang biasa, kembali bermasyarakat dan menjalani kehidupan saya secara lebih baik,” tutup Ahmad yang kini menjalani profesi sebagai pedagang makanan di lingkungan rumahnya.

Seperti apa yang dikatakan oleh Master Cheng Yen bahwa, Kita hendaknya dapat hidup bermasyarakat dengan saling tenggang rasa, namun jangan hanya ikut-ikutan tanpa memiliki pendirian. Dengan hidup bertenggang rasa, maka cinta kasih yang harmonis dan damai dapat tercapai dalam diri semua orang.

  
 

Artikel Terkait

Sumbangsih Setetes Keringat

Sumbangsih Setetes Keringat

07 April 2010
Dengan penuh semangat, para mahasiswa dan mahasiswi STABN Sriwijaya mulai mengangkat lembar demi lembar zincalum (lembaran seng besi yang dipergunakan sebagai atap bangunan) untuk dipindahkan ke sisi atas bangunan.
Betapa Tulusnya Perhatian Relawan kepada Para Lansia

Betapa Tulusnya Perhatian Relawan kepada Para Lansia

25 April 2024

Para relawan Tzu Chi Sinar Mas di Xie Li Indragiri secara rutin mengunjungi (memberi perhatian) kepada  keluarga Mbah Murdi dan Mbah Muminem di Desa Suka Mandiri, Bagan Jaya, Enok, Indragiri Hilir, Riau.

Berbagi Kebaikan di Bulan Ramadan

Berbagi Kebaikan di Bulan Ramadan

21 Mei 2019

Relawan Tzu Chi mensosialisasikan kegiatan-kegiatan Tzu Chi kepada masyarakat, Kamis, 17 Agustus 2019 di SPBU Panghegar, Bandung. Di bulan Ramadan yang penuh berkah, relawan juga membagikan takjil kepada pengendara mobil dan motor yang melintas.

Memiliki sepasang tangan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, sama saja seperti orang yang tidak memiliki tangan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -