Harmonisasi dalam Keberagaman
Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari
|
| ||
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya, dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Berkaitan dengan toleransi tersebut, sebanyak 12 orang mantan pejuang Afganistan dan Moro selasa (23/4) lalu melakukan kunjungan di Rusun Cinta Kasih Tzu Chi untuk melihat harmonisnya hidup dalam kebergaman di kompleks rusun ini. Faisal yang merupakan salah satu Peneliti dari Pusat Riset Ilmu Kepolisian mengungkapkan bahwa kegiatan kunjungan ini telah dilakukan sebanyak dua kali dengan peserta yang berbeda di setiap kunjungannya. Dengan feedback yang sangat baik dalam kunjungan pertama, akhirnya mereka mengadakan kunjungan untuk yang kedua ini dengan tujuan yang tidak jauh berbeda yaitu mengenalkan bagaimana menerapkan toleransi dalam perbedaan. “Kami dari Pusat Riset Ilmu Kepolosian UI ingin membawa para peserta Program Pemberdayaan Dakwah Islam untuk bisa meninjau dan berkeliling ke yayasan ini, tujuannya tidak lain adalah untuk memperkenalkan kepada mereka bahwa ada lingkungan masyarakat yang harmonis, yang saling toleransi, yang tenggang rasa, yang justru diprakarsai oleh yayasan dengan latar belakang agama Buddha. Jadi hari ini penting bagi mereka karena mereka bisa mengenal dan mengetahui bahwa ternyata di luar sana banyak yayasan yang memang pure bergerak dibidang kemanusiaan,” ujar Faisal.
Keterangan :
Ke-12 orang ini merupakan eks pejuang perang Afganistan dengan Soviet dan juga eks kelompok Moro di Filipina. Faisal juga menjelaskan latar belakang pembentukan program deradikalisasi yang kini kian serius mereka geluti. “Awalnya tahun 2009 kita membuat program yang serius bernama deradikalisasi dan kita terlibat langsung dengan orang yang benar-benar melakukan aksi teror dan masuk penjara. Program ini kemudian dilanjutkan dengan mencari orang-orang yang terlibat tapi yang sudah keluar dari tahanan atau orang-orang yang tidak ikut sama sekali. Kita kemudian ketemu mereka yang tersebar di 6 kota, Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Balikpapan, Ambon (2011-2012). Dari sini sebenarnya tujuan yang paling utama yang ingin kita capai adalah untuk meminimalisir aksi bom terjadi lagi dan juga menjadikan mereka kembali diterima di masyarakat,” jelasnya. “Dengan label mereka yang teroris, radikal, atau sebagainya ini kan merugikan bagi mereka, dari sana kita juga bekerjasama dengan kementerian agama untuk menaungi mereka ketika mereka akan melakukan dakwah,” tambah Faisal. Membina Tenggang Rasa “Tantangan pertama saya mengajar di sini adalah pada bulan puasa di tahun 2004 yang akhirnya malah menimbulkan keharuan bagi saya sendiri karena kami begitu dihormati. Pihak yayasan waktu itu memberikan kesempatan untuk siswa-siswi kami yang muslim untuk dapat beribadah puasa dengan khusuk tanpa boleh diganggu oleh yang beragama lain dengan cara memberikan peraturan untuk tidak makan di sembarang tempat dan memberikan iming-iming pada yang lain. Ini artinya bahwa praktek daripada toleransi tidak hanya dalam teori, tapi kami sendiri telah melakukan hal tersebut. Dari sana akhirnya harmonisasi dalam keberagaman ini bisa terwujud dan membuat saya merasa nyaman bahwa kesempatan kami untuk beribadah terwujud dengan baik di sini.”
Keterangan :
Sama halnya dengan Eko Raharjo, Setia Damayanti yang dulu pernah mengambil penelitian mengenai ekologi masyarakat dalam lingkup rumah susun juga merasakan hal yang sama. Selama melakukan penelitian di Taiwan, perlakuan yang sangat baik juga didapatkan olehnya. “Sewaktu saya melakukan penelitian di Taiwan saya begitu merasa terharu ketika saya ingin meminta sebuah tempat untuk melakukan sholat dzuhur. Kalau misalnya di Indonesia, kita sholat pasti di tempatkan di tempat paling pojok di sudut ruangan. Tapi di sana saya disediakan tempat yang paling baik, bersih, di sana saya merasa bahwa toleransi antar sesama sangat terasa,” ujar Maya. Kembali Bermasyarakat Seperti apa yang dikatakan oleh Master Cheng Yen bahwa, Kita hendaknya dapat hidup bermasyarakat dengan saling tenggang rasa, namun jangan hanya ikut-ikutan tanpa memiliki pendirian. Dengan hidup bertenggang rasa, maka cinta kasih yang harmonis dan damai dapat tercapai dalam diri semua orang. | |||
Artikel Terkait
Barisan Pencatat Sejarah Tzu Chi Indonesia
04 Juli 2014“Benar, Bajik, dan Indahâ€
06 Agustus 2010Relawan Bantu Pembongkaran Rumah di Kelurahan Tanah Tinggi
12 Desember 2023Relawan Tzu Chi membantu proses pembongkaran rumah warga di RT 005/ RW 012, Kelurahan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat yang mendapat bantuan Program Bebenah Kampung dari Tzu Chi Indonesia dan Pemprov DKI Jakarta.