Lie Anne Tanjaya mulai sadar bahwa untuk memiliki hidup yang indah dan bermakna, bukan berasal dari penampilan luar, tetapi berasal dari apa yang telah saya lakukan.
Berpedoman pada ajaran dan nilai luhur dari ajaran Buddha, Master Cheng Yen memiliki satu tujuan dan juga merupakan komitmen Master Cheng Yen terhadap guru Beliau. Hal tersebut adalah welas asih kepada semua makhluk tanpa harus sedarah, sependeritaan dan sepenanggungan, juga ikrar Demi Ajaran Buddha, Demi Semua Makhluk Hidup.
Master Cheng Yen memiliki keyakinan akar ajaran Buddha yang begitu kuat dan mendalam, memiliki cinta kasih universal. hal tersebut yang menyadarkan Lie Anne Tanjaya untuk memiliki akar dan pemahaman yang tepat dimana keyakinannya dengan ajaran Master Cheng Yen, dapat berjalan selaras, agar cinta kasih bisa berkembang. Belajar dari Master Cheng Yen, Lie Anne Tanjaya menjadi terinspirasi untuk terlibat aktif dalam kegiatan gereja di komunitasnya dalam menyebarkan cinta kasih sesuai dengan yang diharapkan Master Cheng Yen.
Lie Anne Tanjaya mulai mendapat pemahaman, kita harus menyebarkan welas asih kepada semua makhluk hidup. Semua makhluk memiliki hakikat ke-Buddha-an, ketika melihat penderitaan, maka kita akan timbul hati welas asih. Namun sering kita jumpai, hanya demi memuaskan nafsu keinginan manusia, kita selalu mengorbankan makhluk lain. Makhluk tersebut akan mengalami penderitaan (kesakitan), dendam dan kebencian.
“Jika tidak segera menghentikan hal itu, akumulasi energi negatif dan kebencian akan terpupuk semakin cepat, dan bencana akan semakin kerap terjadi. Banyak bencana terjadi di dunia, akibat ketidakselarasan unsur alam. Penebangan hutan mengakibatkan bumi mengalami pemanasan global,” terang Lie Anne Tanjaya sambil mengajak peserta Pelatihan Fungsionaris 4in1 untuk melihat beberapa kondisi (penderitaan) yang terjadi di dunia, seperti kekeringan di Afganistan, kebakaran hutan di California, layaknya suatu fenomena neraka di alam manusia.
Lie Anne Tanjaya menambahkan bahwa kita harus memanfaatkan hidup untuk menyelamatkan kehidupan yang tak terhingga. Cinta kasih bisa menyelamatkan dan melindungi kehidupan dengan membebaskan kehidupan.
Pandemi ini telah membuat Lie Anne Tanjaya untuk tetap bersyukur dapat merasakan suatu kehangatan sebuah keluarga. “Saya lebih perhatian dengan mengurus sekolah online anak saya. Saya rajin mencari resep melalui media online, mengkreasi dan mengkombinasi menu masakan vegetaris. Saya bisa mengatur waktu untuk mendengarkan siraman Dhamma melalui online di komunitas,” imbuhnya, walau dulu pernah lebih mementingkan hal-hal indah dan duniawi, mengejar nafsu keinginan yang berlebihan, dengan selalu berpikir untuk memiliki tas, baju dan sepatu bagus haruslah mahal dan bermerek, makanan enak di restoran mahal hingga memiliki prinsip “Makanan yang enak adalah fondasi kebahagiaan yang sebenarnya.”
Namun Tzu Chi telah membuka mata Lie Anne Tanjaya, ia turut bersumbangsih di tengah masyarakat, merasakan penderitaan, rasa haru melihat kondisi masyarakat yang belum dibantu, masih menjalankan hidup mereka dengan ikhlas. “Di saat yang bersamaan, saya sangat bersyukur karena hidup saya masih dengan penuh berkah, dan sukacita. Di saat kebahagiaan datang, maka penderitaan akan sedikit berkurang,” kata Lie Anne Tanjaya, menyadari telah mempunyai berkah dan harus bisa menghargainya.
Lie Anne Tanjaya mulai sadar bahwa untuk memiliki hidup yang indah dan bermakna, bukan berasal dari penampilan luar, tetapi berasal dari apa yang telah saya lakukan. “Saya menjadi paham, kehidupan yang berorientasi pada kenikmatan hidup adalah kehidupan yang hampa dan tidak bermakna. Saya mulai memahami dan membutuhkan sikap dan pengetahuan yang luas agar saya bisa sukses. Berpakaian yang sopan dan rapi adalah bentuk menghargai diri sendiri,” kata Lie Anne Tanjaya telah paham menjalani hidup sederhana, dan bersukacita sehingga hidup menjadi lebih bermakna.
Lie Anne Tanjaya menyadari untuk melakukan sesuatu hal, harus dimulai dari satu tekad dari sebutir benih maka tumbuh menjadi pohon besar. “Saya sadar pelatihan diri saya harus dimulai tindakan yang bermanfaat bagi orang lain. Kebahagiaan akan saya peroleh dari sikap tanpa pamrih. Kebijaksanaan akan saya dapatkan dari sikap tidak melekat, sehingga kedamaian bisa saya raih tanpa keterikatan,” jelas Lie Anne Tanjaya, bertekad untuk menjalankan pola makan sehat bervegetaris dan menjadi pilihan hidup sederhana, bahagia dan penuh sukacita dengan menghargai kehidupan.
Husni (39) juga pernah menjalankan kehidupan menyenangkan namun tidak bermakna sebelum bergabung di Tzu Chi.
Ketidakselarasan pada tubuh manusia, akan menimbulkan penyakit. Ketidakselarasan antar sesama manusia akan menimbulkan malapetaka. Ketidakselarasan pada alam semesta akan menimbulkan bencana. Tiga penggalan kalimat inilah, membuat Lie Anne Tanjaya menjalani kehidupan dengan pemahaman yang tepat, penuh sukacita, dan memantapkan diri di jalan Tzu Chi.
Kehidupan kurang bermakna, juga pernah dijalankan Husni (39), “Banyak waktu luang hanya dihabiskan untuk kegiatan menyenangkan tetapi tidak bermakna. Namun setelah bergabung di Tzu Chi, saya bisa memanfaatkan waktu untuk berkegiatan dan bersumbangsih di Tzu Chi,” cerita Husni, relawan asal Medan Perintis.
Menjalankan pelestarian lingkungan, bagi Johnny Chandrina haruslah menerapkan hidup sederhana dan tentunya harus terus berkesinambungan (berkelanjutan) karena bumi terus berputar, kerusakan bumi akibat pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim, suhu cuaca dan angin atau sering disebut climate change, dan juga sampah yang sangat meresahkan kehidupan yang ada pada saat ini. “Bervegetaris adalah solusi yang paling tepat untuk memperlambat dampak kerusakan bumi,” terang Johnny Chandrina tentang gas metana yang sangat berbahaya yang dihasilkan dari hewan ternak.
Sebagai relawan Tzu Chi, Johnny Chandrina mengingatkan para relawan untuk menerapkan lima kebajikan dalam keseharian. Kebajikan pertama, bervegetaris. Kebajikan kedua, hemat listrik (energi). Jangan membiarkan energi listrik terbuang sia-sia. “Begitu mati lampu, kita akan kesulitan,” kata Johnny Chandrina mengimbau untuk tidak meremehkan hal-hal kecil seperti mematikan atau mencabut kabel berbagai barang elektronik ketika tidak digunakan.
Di Tzu Chi, relawan menerapkan konsep (prinsip) 5R yang digambarkan dalam bentuk piramida.
Kebajikan ketiga, hemat air. Kebajikan keempat, membawa alat makan dan minum sendiri, selain hiegienis, juga untuk mengurangi sampah (barang yang tidak terpakai lagi). Sampah plastik sangat sulit terurai di alam yaitu membutuhkan 400-450 tahun agar bisa terurai. “Hindari pemakaian alat makan dan minum yang sekali pakai,” kata Johnny Chandrina. Kebajikan kelima, memakai transportasi massal untuk menghemat emisi.
Di Tzu Chi menerapkan konsep (prinsip) 5R yang digambarkan dalam bentuk piramida, rethink (berpikir), reduce (mengurangi), reuse (memperpanjang usia barang dengan menggunakan kembali barang yang masih bisa dipakai), repair (memperbaiki) dan recycle (mendaur ulang barang untuk diproduksi kembali menjadi barang baru). Prinsip ini harus dimulai dari diri kita sendiri. Kita harus membantu Master Cheng Yen dalam menjalankan misi pelestarian lingkungan, demi anak cucu kita dan demi bumi tercinta ini, jadilah pahlawan pelindung bumi ini. “Bila sudah paham, mari kita bertindak. Dengan bertindak maka akan ada perubahan. Dengan perubahan maka akan ada harapan. Saya berharap kita mau ikut terjun dalam kegiatan daur ulang dan mau mengemban tanggung jawab misi pelestarian lingkungan di komunitas masing-masing,” ajakan dan harapan Johnny Chandrina kepada peserta pelatihan.
Terakhir, Johnny Chandrina menambahkan bahwa jika kita tidak terlalu banyak keinginan maka kita tidak akan risau. “Keinginan berlebihan itu adalah dari pikiran. Ketamakan akan materi (barang). Nah itulah penyebab bertambahnya sampah yang ada di sekitar kita,” tutupnya.
Perumpamaan Rumah Terbakar dalam Sutra Teratai
Shu Tjeng, relawan komite asal Medan menjelaskan dalam Sutra Teratai terdapat 7 perumpamaan agar relawan dapat mudah mencerna dan mengerti.
Perumpamaan Rumah Terbakar merupakan suatu gambaran kondisi bumi kita saat ini, dapat juga digambarkan sebagai kondisi diri kita sendiri di dunia, juga kondisi batin manusia saat ini. Semua ini merupakan peringatan yang telah disampaikan Buddha pada 2500-an tahun yang lalu. Buddha membabarkan bahwa manusia di masa depan akan dipenuhi dengan nafsu keinginan. Nafsu keinginan manusia yang tidak pernah bisa terpenuhi, tidak pernah bisa terpuaskan, sehingga manusia akan melakukan banyak tindakan yang akan merusak dunia ini, bahkan akhirnya merusak kehidupan manusia ini sendiri.
Dalam Sutra Teratai, ada perumpamaan mengisahkan sebuah rumah seorang sesepuh yang terbakar, sementara anak-anaknya masih bermain di dalam rumah terbakar itu. Mereka tidak ingin keluar dari rumah terbakar tersebut padahal kondisi rumah tersebut sudah sangat mengkhawatirkan, apalagi dalam rumah tersebut penuh dengan berbagai makhluk yang berbahaya. Jika rumah terbakar itu mengumpamakan pikiran kita, maka keinginan bermain di dalam rumah terbakar menggambarkan nafsu keinginan kita yang berkobar-kobar, padahal sudah jelas berada pada sebuah situasi dan lingkungan yang sangat berbahaya.
Di sinilah, Buddha dengan kebijaksanaan dan welas asihnya membimbing kita dengan memberikan metode untuk keluar dari rumah terbakat tersebut. Bahkan kita diharapkan setelah berhasil keluar dari rumah terbakar, haruslah membimbing orang lain untuk keluar dari rumah terbakar tersebut.
Master Cheng Yen ingin agar para muridnya untuk menumbuhkan jiwa kebijaksanaan. Master Cheng Yen selalu mengatakan gan en kepada para murid yang telah bekerja keras dalam menjalankan 4 Misi Tzu Chi dan 8 Jejak Dharma. Namun apa yang dapat diberikan untuk para murid sebagai ungkapan terima kasih Master Cheng Yen, adalah dengan Dharma. “Dengan Dharma, Master Cheng Yen ingin para murid tumbuh kebijaksanaannya sehingga dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan mereka juga tentu saja di Tzu Chi,” terang Shu Tjeng, komite senior asal Medan.
Sutra Teratai adalah sebuah ajaran Buddha di akhir masa hidupnya. Ini merupakan harapan mendasar dari Buddha. Sebuah Sutra yang digunakan Master Cheng Yen sebagai landasan dalam mendirikan Tzu Chi, dan mempraktikkan berbagai misi di Tzu Chi. “Sutra ini mengajarkan praktik jalan Bodhisatwa dunia. Karena ini pula, Master Cheng Yen memilih Sutra Teratai untuk mempraktikkan ajaran Buddha sehingga dapat memberikan manfaat bagi makhluk hidup di dunia ini,” jelas Shu Tjeng kembali.
Walau Indra Wijaya telah keluar dari rumah terbakar, tetapi ia masih memikirkan cara menyakinkan orang banyak untuk keluar dari rumah terbakar.
Untuk menyampaikan intisari dari Sutra Teratai dengan sederhana sehingga dapat mudah diterima para murid, Master Cheng Yen senantiasa menggunakan perumpamaan yang ada dalam Sutra Teratai ini, terutama Perumpamaan Rumah Terbakar.
Perumpamaan Rumah Terbakar dalam Sutra Teratai dikenal sebagai sebuah metode terampil yang diharapkan agar dapat dipahami dan dijangkau oleh para murid yang mendengarkannya dengan baik dan memahaminya dengan benar. Dengan demikian dapat membantu dalam menumbuhkan kebijaksanaan para murid, terutama dalam menjalan misi Tzu Chi.
Shu Tjeng mengibaratkan peserta training adalah anak-anak yang sedang berada di dalam rumah terbakar. Diartikan bahwa peserta training akan memahami bahwa dalam kehidupan, kita harus mengendalikan pikiran kita, sehingga kita bisa segera keluar dari rumah terbakar ini. Setelah diri sendiri keluar dari rumah terbakar, kita juga harus membantu orang lain keluar dari rumah terbakar. “Diri sendiri tahu bagaimana menjaga pikiran dan hati, menjalani hidup dengan batin yang murni dan suci, selanjutnya membantu orang lain untuk melepaskan kerisauan batin mereka, ibarat kita telah membantu orang lain keluar dari rumah terbakar,” tuturnya.
Shu Tjeng mengharapkan peserta training dapat menjalin hubungan dengan berbagai persoalan lingkungan hidup yang terjadi saat ini seperti pemanasan global, efek rumah kaca, perubahan iklim. Semua ini merupakan akibat dari perilaku manusia sendiri yang mengakibatkan empat unsur alam tidak selaras. Dengan demikian harus tahu cara mengobati bumi yang sudah sakit ini.
“Setidaknya dimulai dari diri sendiri, salah satu contohnya dengan bervegetaris. Kemudian mengajak orang lain bervegetaris. Ini bagaikan dalam perumpamaan rumah terbakar, dimana setelah diri sendiri sudah berada di luar, sudah memilih Kereta Lembu Putih besar, masuk ke dalam rumah terbakar mengajak orang lain keluar dan bersama-sama menaiki Kereta Lembu Putih besar ini,” jelas Shu Tjeng, menjelaskan tujuan materi ini diberikan kepada 1.109 relawan Tzu Chi se-Indonesia secara virtual pada 9 – 10 Oktober 2021.
Perumpamaan Rumah Terbakar, dapat diterapkan dalam banyak hal di kehidupan kita. “Seperti saya sendiri, suatu ketika, pastilah ada merasa lelah secara batin, merasakan ada hal yang tidak sesuai keinginan saya, dan hal lain yang dapat membuat saya menjadi tidak dapat mengendalikan diri. Saya mengambil hikmah dari perumpamaan rumah terbakar ini, saya mengingatkan diri saya, jangan sampai masuk ke rumah terbakar. Saya harus tetap menjaga pikiran, perilaku dan tindakan kita sehingga saya benar-benar selalu berada di luar rumah terbakar,” imbuh Shu Tjeng untuk selalu mawas diri dan mawas dalam menjaga pikiran.
Ema menuturkan Master Cheng Yen telah memberikan obat bagi para muridnya untuk keluar dari rumah terbakar, tinggal bagaimana relawan Tzu Chi menjalankannya.
Banyak aspek kehidupan lainnya, Shu Tjeng merasakan harus selalu berada dalam kondisi pikiran yang jernih dalam menjalaninya. Seperti juga dalam berkegiatan di Tzu Chi, banyak situasi yang mengharuskan kita berhadapan dengan orang lain yang mungkin saja sering terjadi perbedaan pendapat ataupun gesekan. “Dengan mengambil manfaat dari perumpamaan ini, saya sadar harus selalu menjalin jodoh baik dengan orang lain untuk menciptakan situasi yang harmonis. Dengan demikian, semua dapat berjalan dengan lancar dan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Dengan berpengertian dan toleransi, saya merasa ini juga adalah tindakan mengajak orang lain keluar dari rumah terbakar,” cerita Shu Tjeng dalam menjalin jodoh dengan orang banyak.
Setelah menyampaikan materi Perumpamaan Rumah Terbakar kepada peserta trainig, Shu Tjeng menjelaskan ia harus mawas diri, harus menjadi contoh bagi orang lain, terutama dalam berkegiatan Tzu Chi. “Sebenarnya, saya harus menempatkan diri saya sendiri pada posisi sebagai contoh, sebagaimana dalam sharing yang telah saya sampaikan. Sangat beruntung selama ini, telah mempraktikkan banyak hal yang digambarkan dalam Perumpamaan Rumah Terbakar. Namun, masih jauh dari sempurna. Saya harus segera memperbaiki kekurangan dan kesalahan saya selama ini. Dengan mawas diri saya harus lebih serius dalam mempraktikkannya, dan terus belajar mendalami Dharma Master Cheng Yen dalam kehidupan,” tutup Shu Tjeng.
Dari sharing ini, Ema (48) menuturkan Master Cheng Yen telah memberikan obat bagi para muridnya untuk keluar dari rumah terbakar, “Master Cheng Yen selalu berseru agar para muridnya bervegetaris, melakukan pelestarian lingkungan, dan menjalankan Dhamma dalam kehidupan. Tetapi apakah kita semua sudah melaksanakannya? Inilah merupakan kekhawatiran Master Cheng Yen,” imbuh Ema, relawan komunitas Tanjung Balai Karimun.
“Saya telah keluar dari rumah terbakar, tetapi saya masih memikirkan cara menyakinkan orang banyak untuk keluar dari rumah terbakar,” kata Indra Wijaya (24) telah menjalani pola hidup bervegetaris.
Editor: Metta wulandari