Saat awal berdiri, relawan Tzu Chi yang mayoritas hanyalah ibu rumah tangga asal Taiwan melakukan berbagai kegiatan yang saat itu masih sesuai dengan kapasitas mereka, salah satunya ikut dalam bazar di Taipei School, Kelapa Gading untuk mencari donasi demi membantu sesama.
Peringatan hari ulang tahun Tzu Chi baru saja usai. Berbagai perkembangan dan pencapaian yang telah diraih oleh Tzu Chi selama 30 tahun ini ditampilkan dalam acara yang meriah dan penuh kehangatan. Di balik kegembiraan para relawan dalam acara itu, sebetulnya ada semangat dan kerja keras juga tekad yang sangat kuat yang tiada henti karena semua pencapaian tersebut sebenarnya berawal dari satu niat baik yang terus dipegang teguh.
Keberadaan Tzu Chi di Indonesia dilatari dari datangnya para pengusaha Taiwan yang membuka usaha dan berinvestasi di Indonesia. Dalam perjalanannya, para pengusaha ini kemudian juga mengajak keluarga mereka untuk tinggal dan menetap di Indonesia.
Jalinan jodoh Tzu Chi di Indonesia sendiri mulai terjalin pada tahun 1993, ketika Liang Cheung, seorang perempuan asal Taiwan yang mendampingi suaminya bekerja di Indonesia dan juga merupakan donatur Tzu Chi Taiwan mulai mengajak teman-temannya (para istri pengusaha Taiwan) untuk menjadi donatur Tzu Chi. Tinggal dan menetap di negeri orang, mereka pun melihat banyaknya penderitaan di sekitar mereka. Dari sini kemudian tebersit pertanyaan, "Mengapa kita tidak melakukan kegiatan sosial di sini, di Indonesia?"
Pada perkembangannya, relawan ikut serta dengan dinas kesehatan wilayah Serang menjalankan program penanggulangan TBC di Desa Kiara dan Desa Gaga.
Berbekal pengalaman tentang Tzu Chi di Taiwan, Liang Cheung memandu dan mulai menyusun struktur relawan Tzu Chi Indonesia pada tanggal 3 November 1993. Kemudian, mereka pulang ke Taiwan untuk menemui Master Cheng Yen dan memohon restu beliau untuk mendirikan Tzu Chi di Indonesia. Gayung pun bersambut, saat itu Master Cheng Yen berpesan, "Bagi yang mencari nafkah di negeri orang, harus memanfaatkan potensi setempat dan berkontribusi bagi penduduk setempat."
Sekitar setahun kemudian, tepatnya tanggal 27 Juli 1994, sembilan orang relawan Tzu Chi Indonesia pergi ke Taiwan untuk mendalami misi Tzu Chi. Tanggal 28 September 1997, Master Cheng Yen memberikan patung Buddha Avalokitesvara sebagai simbol pengakuan terhadap Tzu Chi Indonesia. Tanggal 28 September ini kemudian ditetapkan sebagai hari Tzu Chi Indonesia. Sementara itu, ketika Liang Cheung harus kembali ke Taiwan bersama keluarganya, Liu Su Mei dipilih menjadi Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dan hingga saat ini terus memimpin serta membagikan inspirasi.
Eka Tjipta Widiaja beserta keluarga berkesempatan bertemu dengan Master Cheng Yen pada tanggal 9 Mei 1998.
Semakin bertambah tahun, semakin banyak pula kegiatan yang dilakukan oleh para relawan yang mayoritas hanyalah ibu rumah tangga asal Taiwan ini. Bermula dari membantu membayarkan uang sekolah murid-murid kurang mampu, membantu penanganan beberapa kasus pasien, juga pernah menyumbang 12 rumah karena gempa di Jogja. Akhirnya mereka menerima tantangan besar saat membantu pemerintah dalam penyuluhan pencegahan TBC di Desa Kiara dan Desa Gaga, Tangerang.
Perkembangan Tzu Chi juga terlihat dari perkembangan kantor Yayasannya. Pada tahun 1993 kantor Tzu Chi berada di rumah Liu Su Mei dan 1995 menyewa rumah 2 lantai di Kelapa Gading. Tahun 1998, Eka Tjipta Widjaja meminjamkan kantor seluas 800 meter persegi di ITC Mangga Dua sebagai kantor Yayasan hingga ditempati selama 14 tahun lamanya. Baru pada tahun 2012, semua operasional Yayasan Buddha Tzu Chi berpindah ke Aula Jing Si, PIK.
“Jodoh Tzu Chi Indonesia begitu luar biasa, seperti ada yang mengaturnya,” ucap Chia Wen Yu, relawan senior Tzu Chi.
Sebuah berkah yang mana Tzu Chi yang mayoritas ibu-ibu kemudian didukung oleh Franky O. Widjaja dan Sinarmas Grup membagikan 1.100 ton beras untuk tantara, polisi, dan masyarakat pada masa pasca kerusuhan 1998 terjadi.
Franky Widjaja turut turun langsung membagikan beras kepada masyarakat.
Wen Yu bercerita bahwa, ia yang lebih dulu mengenal Tzu Chi pun mencoba membagikannya juga pada atasannya kala itu, Eka Tjipta Widiaja beserta Franky O. Widjaja hingga akhirnya keluarga Widjaja berkesempatan bertemu dengan Master Cheng Yen pada tanggal 9 Mei 1998. Lalu pada 13 Mei 1998, terjadi peristiwa kerusuhan di mana krisis moneter berdampak pada banyak penjarahan dan penyerangan terhadap kaum Tionghoa. Setelah peristiwa tersebut, Eka Tjipta Widjaja menulis surat kepada Master Cheng Yen.
“Master Cheng Yen membalas surat Pak Eka dan mengajarkan bahwa kita harus menggunakan cinta kasih untuk mencairkan kebencian. Untuk itu sangat berkah karena Tzu Chi yang mayoritas ibu-ibu kemudian didukung oleh Franky Widjaja dan Sinarmas Grup membagikan 1.100 ton beras untuk tantara, polisi, dan masyarakat,” terang Wen Yu mengenang peristiwa besar tersebut.
Momen banjir besar yang melanda Jakarta tahun 2002 juga menjadi tonggak sejarah lainnya karena pada peristiwa tersebut, Sugianto Kusuma (tengah) mulai bergabung dengan Tzu Chi. Ia pun turun langsung ikut dalam pembersihan wilayah kali.
Momen banjir besar yang melanda Jakarta pada tahun 2002 juga menjadi tonggak sejarah lainnya karena pada peristiwa tersebut, Sugianto Kusuma mulai bergabung dengan Tzu Chi.
Saat itu Kota Jakarta terendam banjir besar sebagai efek dari hujan yang turun tiada henti, Tzu Chi membantu para korban dengan membagikan nasi bungkus dan bakti sosial kepada para pengungsi. Tanggal 2 Februari 2002, Tzu Chi Indonesia mengadakan pertemuan dengan para pengusaha yang juga dihadiri oleh Sugianto Kusuma. Beberapa saat setelah pertemuan tersebut Eka Tjipta Widjaja menyampaikan pesan Master Cheng Yen bahwa Master ingin, melalui eka Tjipta Widjaja, para pengusaha dapat berbuat lebih bagi para pengungsi. Gayung bersambut, hal tersebut ditanggapi secara positif oleh Sugianto Kusuma.
Saat itu Eka Tjipta bertanya, “Aguan, Sang Ren (Master Cheng Yen) mau kita bersama-sama membersihkan kota Jakarta, Aguan mau?” Sugianto Kusuma pun menjawab, “Pak Eka, saya mau.”
Dimulai dari momen tersebut dan dengan dukungan dari Master Cheng Yen, Tzu Chi Indonesia membersihkan Kota Jakarta, melakukan pembersihan Kali Angke, merelokasi penduduk sekitar ke Perumahan (Rusun) Cinta Kasih Tzu Chi yang telah dilengkapi dengan fasilitas sekolah dan rumah sakit. Saat itu Sugianto Kusuma dan Franky O. Widjaja memberikan waktu, pikiran, tenaga, sekaligus dana untuk mewujudkan rusun, demi masyarakat bisa hidup jauh lebih aman dan nyaman.
Pada Juli 2002, Tzu Chi Indonesia memulai pembangunan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi yang ditujukan bagi warga terdampak normalisasi Kali Angke.
Wen Yu juga menceritakan kisah pemberian bantuan Tzu Chi Indonesia saat terjadinya tsunami Banda Aceh, gempa Yogyakarta, gempa Palu. Begitu banyak pengalaman dan pembelajaran yang dialami para relawan dalam memberikan bantuan, namun hal tersebut terbayarkan dengan rasa bahagia telah menyalurkan bantuan dan menyebarkan cinta kasih kepada sesama.
Tidak terasa, perjalanan Tzu Chi Indonesia telah memasuki usia 30 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, Tzu Chi Indonesia telah melakukan banyak sumbangsih dan kontribusi bagi negara dan rakyat Indonesia.
“Saat ini perasaan saya sangat bahagia karena saya sejak tahun 1995, sudah 28 tahun ikut Tzu Chi,” ungkap Wen Yu. “Saya tidak pernah menyangka, tidak pernah bermimpi bahwa Tzu Chi Indonesia bisa berkembang pesat hari ini. Kini Tzu Chi mempunyai 15.000 relawan, kita mempunyai 18 cabang (kantor), kita menjalankan 4 misi, dan kita juga mempunyai Jing Si Tang (Aula Jing Si), sekolah, rumah sakit. Saya sangat gan en pada semua Shixiong Shijie Indonesia,” lanjutnya.
Chia Wen Yu sangat berbahagia karena 28 tahun ke belakang, perjalanan hidupnya selalu bersama Tzu Chi. Wen Yu ingin ke depannya, hati para relawan Tzu Chi terus seirama dengan Tzu Chi, maju bersama dengan semangat cinta kasih universal.
Wen Yu juga ingin ke depannya, hati para relawan Tzu Chi terus seirama dengan Tzu Chi, maju bersama dengan semangat cinta kasih universal. Maka dari itu, ia mengimbau relawan terus bisa memberikan perhatian kepada satu sama lain juga mempertebal semangat gan en (bersyukur), zhun zhong (menghormati), dan ai (membagikan cinta kasih).
“Supaya para relawan senior memperhatikan relawan yang junior. Para relawan junior bisa belajar bagaimana bersumbangsih dengan memperdalam dharma dan filosofi Tzu Chi. Kita saling belajar, saling berkembang,” harapnya. “Yang terpenting, bersumbangsih lah di Tzu Chi dengan sepenuh hati. Anda tak akan menyesal karena semua yang Anda kerjakan adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri. Itu bahagianya tak terhingga,” pesan Wen Yu dengan wajah penuh kebahagiaan.
Editor: Khusnul Khotimah