Indahnya Penglihatan
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto Celengan bambu yang diterima oleh Hajis setelah operasi kini telah terisi penuh, dan dengan penuh sukacita Hajis menyerahkannya kepada relawan Tzu Chi. | “Mana obeng, mana obeng?” tanya Hajis kepada Suhartini istrinya. “Buat apa luh?” Suhartini kembali bertanya dengan panik. “Kesel lah, pikiran begini, biarin dah saya mau colok nih mata,” jawab Hajis dengan ekspresi kesal. “Sabar Jis, nanti juga ada panggilan untuk operasi,” jawab Suhartini menenangkan suaminya. Mendengar perkataan istrinya yang lemah, emosi Hajis menjadi reda, dan Hajis menjadi tersadar. Akhirnya dengan masih diliputi rasa kesal, ia pergi meninggalkan istrinya untuk menenangkan diri. |
Beberapa bulan terakhir, di pertengahan tahun 2008, keceriaan seolah telah sirna dari diri Suyani Hajis. Yang ada hanyalah raut wajah yang murung, perasaan yang bimbang, dan emosi yang tinggi. Pasalnya di bulan April 2008, Hajis menderita sakit katarak. Penglihatannya menjadi terganggu, dan bahkan ia sudah sulit melihat dengan jelas. Berkurangnya daya lihat membuat ia harus kehilangan pekerjaannya yang selama ini ia jalani yaitu, mengojek. Bahkan karena lamanya ia tidak bekerja, ia harus merelakan motornya disita oleh dealer lantaran tunggakan selama tiga bulan tidak mampu ia lunasi. Katarak Datang Pekerjaan Hilang Biasanya mereka berdua membawa surat-surat yang akan diantar dalam sebuah tas besar. Terkadang mereka berdua berjalan kaki bila alamat yang diantarnya tidak terlampau jauh, terkadang juga menggunakan sepeda motor. Hari-hari mereka lalui dengan selalu bersama-sama. Perbekalan pun mereka bawa untuk mereka konsumsi bersama di jalan. Tak terasa masa-masa itu telah berlangsung beberapa tahun. Mereka pun akhirnya berniat untuk membeli sebuah sepeda motor dengan cara mencicil. Keputusan ini mereka ambil agar kerja keras yang selama ini mereka lakukan dapat membuahkan hasil dan juga untuk menunjang pekerjaan Hajis dalam mengantar surat-surat. Tetapi sayang, perjalanan hidup Hajis tidak berjalan dengan mulus. Tahun 2005, Hajis harus rela berhenti kerja karena statusnya sebagai karyawan kontrak tidak lagi diperpanjang. Alasannya tidak ia ketahui dengan pasti, yang jelas masa kontraknya telah berakhir dan ia harus berhenti bekerja. Kebutuhan hidup dan berbagai tanggungan terasa menjadi pukulan yang berat bagi Hajis. Selain harus mencukupi kebutuhan makan sehari-hari, ia juga harus menjalani kewajiban membayar sewa rumah dan cicilan sepeda motor. Menyadari permasalahan yang semakin menghimpit hidupnya, akhirnya Hajis berinisiatif untuk menarik ojek. “Nariknya semaunya, bisa pulang jam 7 atau jam 9 malam. Penghasilannya juga tidak tentu, sehari bisa dapat Rp 40.000 atau Rp 30.000. Tapi kalau lagi ga dapet, ya ga dapet sama sekali. Paling saya dapet dari pelanggan aja sebulan, sebulan Rp 200.000,” akunya. Dalam kondisi seperti itu, Suhartini paham betul penghasilan suaminya sebagai tukang ojek tidaklah seberapa dan tidak menentu. Maka Suhartini pun ikut membanting tulang membuka usaha guna mendapat tambahan penghasilan. Dengan uang pemberian Sulastri, putri pertamanya yang saat itu telah bekerja di perusahaan garmen, Suhartini langsung mengolahnya untuk modal berjualan rempeyek. Biasanya rempeyek hasil buatannya ia pasarkan ke warung-warung yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. “Penghasilannya tidak besar. Paling bersih dapat Rp 10.000 sampai Rp 20.000 sehari. Hanya cukup untuk tambahan makan,” terang Suhartini. Ket : - Hajis saat menerima bingkai foto kenang-kenangan yang diserahkan oleh Marlinda Chandra. Bingkai itu Aktivitas ini mereka jalani selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Sampai suatu hari di bulan April 2008— di pagi hari, Hajis setelah selesai mandi dan hendak menyisir ia mendapati sebuah noda putih muncul melingkari bola matanya. Dari kelopak bawah matanya juga mengeluarkan selaput benang putih berlendir seperti kotoran mata. Terkejut melihat hal yang tidak biasa ia alami, Hajis langsung berkata kepada istrinya, “Har, kok keluar apaan nih saya bingung, apa bisul, apa nanah?” “Ya udah ke Puskesmas aja kita periksa,” saran Suhartini kepada suaminya. Maka beberapa hari berikutnya, Hajis bersama Suhartini pergi ke Puskesmas Cibubur yang ada di Jembatan Lima, Jakarta Barat. Saat itu kondisi mata Hajis semakin memburuk. Lingkaran putih semakin menutupi bola hitam matanya. Setelah diperiksa, dokter mendiagnosis bahawa Hajis menderita katarak. Solusi terbaik ia harus menjalani operasi. Biaya operasi termurah di tempat itu sebesar empat juta rupiah. Murah bagi mereka yang mampu, tetapi tidak bagi Hajis yang berpenghasilan tidak menentu sebagai tukang ojek. Akhirnya dengan kecewa, mereka pun pulang sambil dilingkupi rasa khawatir. Karena penglihatan yang semakin memburuk, Hajis praktis sudah tidak lagi dapat menjalani aktivitasnya untuk menarik ojek. Perasaan tidak nyaman dan bingung mulai tumbuh dalam diri Hajis. Rasa jengkel terus bersemayam di hatinya, terlebih banyak tetangga yang mengejek keadaannya. Ditambah selama tiga bulan ia tidak lagi menarik ojek hingga menyebabkan motornya ditarik kembali oleh dealer karena tunggakan selama tiga bulan tidak mampu ia lunasi. Hari-hari Hajis diisi dengan pikiran kalut yang semakin hari semakin memuncak menjadi keputusasaan. Sebab dengan kondisi ekonomi yang ia hadapi saat ini, mustahil rasanya untuk Hajis menjalani operasi katarak. Berbagai permohonan pinjaman pun sudah ia lakukan, tetapi hasilnya tak ada satu orang pun yang mau memberikan pinjaman uang kepadanya. Efeknya, rumah tangga Hajis menjadi tidak harmonis. Hajis menjadi sering marah tanpa sebab, terlebih kepada istrinya. Rasa malu bercampur takut membuat ia berubah menjadi seorang suami yang pengeluh dan pemarah. Sampai suatu hari Hajis bertemu dengan salah satu tetangganya. Melihat kondisi mata Hajis yang tidak normal tetangga Hajis langsung berkata, “Pak Hajis kalau mau operasi gratis ke yayasan (Tzu Chi) aja di Cengkareng.” “Apa ga salah tuh, yang benar, Cik?” “Iya,” jawab tetangga Hajis. Setelah mengetahui persyaratan yang diperlukan untuk mengajukan bantuan pengobatan, maka Hajis langsung mengurus surat-surat yang dibutuhkan, seperti Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari RT, RW, dan kelurahan setempat. Setelah semuanya lengkap, maka ia bersama istrinya pergi menuju Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng, Jakarta Barat. Ket : - "Satu koin melambangkan satu cinta kasih," kata Oey Hoey Leng, relawan Tzu Chi kepada Hajis. (kiri) Sesampainya di Cengkareng, Hajis diarahkan untuk bertemu dengan Weni (salah seorang perawat di RSKB –red) di lantai 2. Begitu bertemu, Hajis langsung menyapa Weni, “Selamat siang, Bu.” “Siang,” jawab Weni. “Bu saya mau ini (ikut baksos), tolong mau operasi gimana?” kata Hajis saat mengajukan permohonan. “Tetapi ini prosesnya tidak bisa langsung cepat ya, Pak. Prosesnya lama bisa dua bulan baru dipanggil,” terang Weni kepada Hajis. Setelah diperiksa oleh Weni dan melihat berkas-berkas yang dilampirkan oleh Hajis, maka Weni langsung memberikan sepucuk surat yang berisi rekomendasi untuk mengikuti operasi katarak. Di bulan Juni 2008, Hajis kembali mendatangi RSKB untuk menjalani operasi kataraknya. Tetapi karena karena tekanan darahnya tinggi dan Hajis masih dalam kondisi yang tidak tenang, maka operasi Hajis saat itu ditunda—dijadwalkan untuk menjalani operasi periode berikutnya. Baksos pengobatan mata berikutnya adalah tanggal 30 November 2008, dan Hajis kembali hadir untuk menjalani operasi. Lagi-lagi operasi Hajis harus kembali ditunda yang disebabkan tekanan darahnya dinilai masih terlalu tinggi. Esok harinya, tanggal 1 Desember 2008, beberapa relawan dan dokter datang mengunjungi rumah Hajis. Setelah di periksa oleh dr Toto, Hajis dinyatakan sudah bisa mengikuti operasi di periode berikutnya tanggal 30 Desmber 2008. Dalam kunjungan itu dokter Toto juga bertanya kepada Hajis, “Pak, kenapa kok kelihatannya murung dan tegang terus?” “Abis gimana udah kaya gini. Saya ga ada kerjaan,” jawab Hajis “Bapak harus tenang, harus bersyukur. Lihat istri bapak masih bisa berdagang,” kata Ratna Kumala, relawan Tzu Chi membesarkan hati Hajis. Mengetahui kondisi Hajis yang perlu mendapatkan pendampingan, maka sebelum hari operasi dilaksanakan, relawan Tzu Chi beberapa kali datang mengunjungi Hajis sekadar untuk menghibur dan menyemangatinya agar tidak takut menghadapi operasi nanti. Akhirnya 30 Desember tiba dan Hajis harus menjalani operasi kataraknya. Semua perasaan khawatir dan takut telah ia buang jauh-jauh dan ia gantikan dengan kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Menjelang operasi hingga operasi dilaksanakan, tak henti-hentinya Hajis memanjatkan doa agar dirinya bisa menjalani operasi dengan baik. Tidak lebih dari satu jam, operasi Hajis pun selesai dilaksanakan. Seketika itu pula Hajis memperoleh kembali penglihatannya yang jelas. “Ih kok terang, silau ada lampu,” kata Hajis dalam hati. “Alhamdullilah, Dok,” kata Hajis sambil menyalami kepada setiap dokter dan perawat yang ada di ruangan operasi. Sejuta perasaan bahagia kini menyelimuti hati Hajis karena operasinya dinilai telah berhasil dan kini ia telah memperoleh penglihatannya kembali. Kunjungan Kasih untuk Meneruskan Cinta Kasih Rabu, 13 Mei 2009, relawan Tzu Chi bersama seorang dokter dan perawat kembali mengunjungi Hajis. Tujuannya tak lain untuk memeriksa kondisi kesehatan Hajis setelah menjalani operasi. Selain itu relawan juga bermaksud terus membangkitkan cinta kasih dari dalam diri Hajis. Sebuah celengan bambu yang diterima oleh Hajis telah terisi penuh dan hari itu ia menyerahkannya kepada relawan Tzu Chi. Ket : - Menurut Ratna, kunjungan kasih ini bermakna untuk membangkitkan dan menumbuhkan rasa bahagia Sambil menyerahkan, Hajis berkata kepada relawan, “Isinya belum banyak.” “Tidak penting isinya, yang penting niat baiknya,” kata Ratna kepada Hajis. “Satu koin melambangkan satu cinta kasih loh,” Oey Hoey Leng, relawan Tzu Chi lainnya menambahkan. Menurut Ratna Kumala, kunjungan kasih ini bermakna untuk membangkitkan dan menumbuhkan rasa bahagia seorang pasien sehingga dapat turut melakukan perbuatan baik, dan para dokter yang menanganinya pun turut merasakan kebahagiaan itu. Sebab bila hanya memberi pengobatan, sifatnya hanyalah bantuan yang nilainya 10% dan 90%-nya lagi adalah bila pasien, para dokter, serta insan Tzu Chi ikut berbuat baik meneruskan perbuatan baiknya kepada sesama dan mengubah dirinya ke arah yang lebih baik. “Sepuluh persen adalah pasien sembuh, mendapat bantuan sembuh. Tiga puluh persennya adalah dia ikut berbuat baik. Mempengaruhi orang untuk berbuat baik dan dirinya menjadi lebih baik, secara perilaku ia berubah menjadi lebih baik, itulah yang 60%,” terang Ratna. Menurut Hajis, relawan-relawan Tzu Chi selalu mengunjunginya dengan sikap yang baik dan ramah. Kehadiran mereka dapat menghilangkan duka lara yang selama ini ia rasakan. “Banyak yang datang ke sini, semuanya baik-baik. Itu mah jiwa penolong semua. Makanya begitu saya dapat celengan, saya langsung mengisinya. Punya duit celengin, punya duit celengin,” kata Hajis. “Mereka datang ke sini nyanyi-nyanyi hanya untuk menghibur Hajis,” Suhartini menambahkan. Menurutnya, karena ia telah mendapatkan bantuan, maka ia pun ingin bisa membantu orang lain—walau dengan cara yang tidak besar. Menyucikan hati manusia adalah tujuan utama dari semua misi kegiatan Tzu Chi, dan untuk mencapai tahap itu diperlukan sebuah proses. Kegiatan kunjungan kasih ini adalah salah satu cara mengarahkan seseorang untuk menuju ke arah pencapaian menyucikan hati manusia. | |
Artikel Terkait
Menjadikan Cobaan Hidup sebagai Pemacu Semangat
04 Desember 2017Walau harus menghadapi kenyataan pahit di kehidupan keluarganya, Michael (16) dan adik perempuannya Friecil (15) mampu tumbuh menjadi murid berprestasi. Kedua remaja penerima bantuan Tzu Chi ini pun menjadi anak yang santun.