Jalinan Jodoh Tzu Chi dan Wilna (Bag. 1)

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
 
 

fotoWilna (kaus putih) bersama relawan Tzu Chi dan teman-temannya bermain bersama di pantai dekat rumahnya di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.

Jarum jam sudah berada di angka 7 ketika Wilna Nurcahyani (12) dengan berat mengenakan sepatu di kakinya. Bukan kemalasan yang membuatnya seolah tampak enggan untuk berangkat ke sekolah, namun keterbatasan fisiklah yang menyebabkannya demikian. Meski merupakan kegiatan yang sederhana, tetapi bagi Wilna hal itu sudah merupakan sebuah perjuangan berat di awal harinya.

 

 

Seusai sarapan pagi dengan dibantu oleh ibunya, Wilna pun segera berangkat berangkat menuju sekolahnya: SLB B-C Yayasan Mutiara Bahari Mandiri di Palabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.

Angin laut berdesir pelan tatkala pintu rumah yang sederhana itu terbuka. Udara dan bau khas pantai sangat terasa. Rumah nenek Wilna memang sangat dekat dengan bibir pantai. Jadi tak heran jika Wilna beserta adik dan teman-temannya banyak menghabiskan waktunya di pantai. Gemuruh ombak dan lembutnya pasir hitam menjadi hal yang dekat dengan anak-anak pesisir pantai selatan ini. “Dulu nggak ada yang mau tinggal dan bangun rumah di sini,” kata Tati Patimah, nenek Wilna mengenang. Tati sendiri lahir dan tinggal di Bandung, sebelum akhirnya menikah dengan seorang pelaut asal Makassar. Sejak itulah Tati Patimah kemudian menjadi akrab dengan laut, pantai, dan juga hasil alamnya.

foto  foto

Keterangan :

  • Wilna saat berusia 2,5 tahun pascaoperasi yang dilakukan di RSCM Jakarta pada bulan September 2000 yang difasilitasi dan dibantu oleh Tzu Chi. (kiri)
  • Wilna saat ini sudah berusia 12 tahun dan bersekolah di SLB Yayasan Mutiara Bahari Mandiri.(kanan)

Dengan langkah pelan, Wilna Nurcahyani (12) mengikuti langkah neneknya yang seolah tampak lebih gesit dan cekatan darinya. Menyusuri jalan-jalan kecil yang berliku, sang nenek mengajak kami untuk memotong jalan— melewati gang-gang sempit di antara rumah penduduk. Sekitar 10 menit kemudian, sampailah kami di halaman sekolah. Begitu memasuki selasar kelas, dua anak sebaya Wilna menyambutnya dengan senyuman ramah. Wilna segera mengulurkan tangan dan keduanya secara bergiliran menyambut tangan Wilna. Tanpa kata-kata, ketiganya duduk berjejer dengan tertib untuk menunggu jam pelajaran dimulai. Di sudut lain, beberapa anak juga sedang bercengkrama dengan temannya. Mulut mereka terbuka namun tanpa suara, dan lebih banyak menggunakan isyarat tangan dan juga anggukan kepala.

foto  foto

Keterangan :

  • Sebelumnya Wilna sempat bersekolah di sekolah umum, namun karena sering tertinggal pelajaran membuat orangtuanya memindahkannya ke Sekolah Luar Biasa.(kiri)
  • Di sekolah ini Wilna lebih dapat berinteraksi dan beradaptasi dengan teman-temannya. Menurut seorang gurunya, Wilna termasuk salah satu penyandang tunagrahita sedang.(kanan)

Sabtu pagi itu (22/10/11) kebetulan merupakan hari mereka untuk melatih saraf motorik mereka – aktivitas fisik. Mereka berolahraga, mulai dari berlari, lompat katak, olah tubuh dan gerak serta bermain basket. Setiap gerakan dari sang guru selalu dicoba para muridnya dengan usaha keras yang tak mudah. Di sekolah ini memang beragam anak-anak yang mengalami keterbatasan: tunarunggu, tunagrahita, dan kelainan fisik lainnya. Wilna sendiri menurut gurunya, Lela Sobariah termasuk kategori tunagrahita sedang. “Gurunya juga maklum, katanya kalau menghadapi Wilna harus sabar. Jangan dipaksakan, biar dianya (Wilna -red) aja yang mau. Kalau dalam dirinya ada kemauan untuk belajar pasti hasilnya akan baik juga,” kata Lina mengulang perkataan sang guru.

Sepuluh Tahun yang Lalu
Sepuluh tahun lalu, tepatnya tanggal 11 September 2000 menjadi hari bahagia bagi pasangan Wawan dan Lina Herlinawati. Dari buah pernikahan mereka lahir seorang bayi perempuan yang diberi nama Wilna Nurcahyani. Namun meski begitu, ada kerisauan yang menyelimuti keduanya, yaitu bayi mereka menderita benjolan yang cukup besar di wajah (kening dan juga mengenai kelopak mata bagian kanannya). Dalam bahasa medisnya kelainan bawaan ini disebut Meningocele atau dikenal juga dengan sebutan spina bifida (tulang belakang terbuka). Kondisi ini sempat membuat pasangan ini dan keluarga besarnya merasa terpuruk, terlebih kondisi Wilna saat itu yang terlahir tidak sempurna membuat banyak cerita-cerita tak sedap di lingkungan tempat tinggal mereka. ”Ada yang bilang ini penyakit kutukan dan sebagainya,” kenang Tati Patimah lirih. Tanpa daya (kemampuan finansial) dan hanya bisa pasrah menerima takdir ini, keluarga kemudian hanya bisa menyaksikan Wilna yang tumbuh dengan keterbatasan fisiknya. ”Waktu itu nggak tahu mau minta bantuan kemana?” kata Lina.

Bersambung ke Bagian Dua.

 

  
 

Artikel Terkait

Mengenal Lebih Dalam Budaya Humanis Tzu Chi

Mengenal Lebih Dalam Budaya Humanis Tzu Chi

25 September 2019
Pelatihan relawan He Qi Timur yang dilaksanakan pada hari Minggu, 15 September 2019, di Kantor Tzu Chi He Qi Timur, gedung MOI lantai P3. Sesuai dengan tema pelatihan, Misi Budaya Humanis Tzu Chi, tentunya pembahasan tidak jauh dari tiga pilar Tzu Chi: Bersyukur (Gan en), Menghormati (Zhung zong), dan Cinta Kasih (Ai). 
Membersihkan Pantai Pasir Panjang

Membersihkan Pantai Pasir Panjang

20 Juli 2012 Hari minggu tanggal 15 Juli 2012, jam 12 siang, para relawan Tzu Chi mulai berdatangan di kantor penghubung Tzu Chi Singkawang. Banyak diantara relawan yang kelihatan membawa sapu lidi dan perlengkapan bersih-bersih. Apa yang akan mereka lakukan?
Peletakan Batu Pertama Jembatan Simpay Asih Cikaung

Peletakan Batu Pertama Jembatan Simpay Asih Cikaung

09 November 2021

Relawan Tzu Chi Bandung dan Tzu Chi Cianjur melakukan peletakan batu pertama pembangunan Jembatan Simpay Asih Ciakung yang menghubungkan 3 desa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Giat menanam kebajikan akan menghapus malapetaka. Menyucikan hati sendiri akan mendatangkan keselamatan dan kesejahteraan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -