Janji di Bulan Penuh Berkah
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Vimala, Riani Purnamasari (He Qi Utara), Hendra, Feranika Husodo (He Qi Utara), Stefen Ang (He Qi UtSetiap hari Sabtu, pukul 10.00 WIB ada sebuah kegiatan menarik yaitu para pasien dan relawan berkumpul dan menyanyi bersama. |
| ||
Baginya bulan 7 adalah bulan yang penuh berkah, karena di bulan ini masyarakat yang ingin menghormati leluhur selayaknya bisa melakukan dengan cara yang lebih realistis, yaitu berbuat banyak kebajikan untuk dilimpahkan kepada leluhur. Maka hari itu Siat Kong dengan penuh semangat mengajak anak dan istrinya untuk mengikuti training relawan abu putih dilanjutkan doa penuh berkah. Bahkan untuk menyambut bulan 7, Siat Kong sudah bervegetarian sejak 2 bulan yang lalu. ”Apa yang Master Cheng Yen sarankan, saya usahakan menjalaninya,” kata Siat Kong. Bergabung di Tzu Chi memang telah mengubah banyak pandangan Siat Kong tentang kehidupan. Kebiasaan merokok beratnya pun telah ia hentikan sejak bergabung di Tzu Chi. Tak mudah bagi Siat Kong untuk menghilangkan kebiasaan lama yang telah mendarah daging. Tetapi keyakinannya pada Tzu Chi telah meneguhkan tekadnya untuk tak lagi menghisap rokok kretek. Maka ketika matahari menyinsing, mereka pun beranjak menuju Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng. Setibanya di sana istri Siat Kong langsung mengikuti serangkaian training relawan abu putih. Dan setelah sesi pelatihan itu berakhir di pukul 15.00 WIB, dengan langkah ringan mereka berjalan menuju RSKB Cinta Kasih Tzu Chi untuk mengikuti doa bersama di bulan 7 penuh berkah. Di awali dengan ceramah Master Cheng Yen tentang tradisi Ulambana – upacara untuk mendoakan arwah para leluhur dan orang tua yang meninggal dunia, Bun Siat Kong sekeluarga secara seksama mencerap setahap demi setahap acara yang disuguhkan oleh relawan Tzu Chi. Pada akhirnya serangkaian acara itu memberikan pesan singkat bahwa hidup adalah kesempatan. Waktu yang terus berjalan dan kesempatan yang kian menipis di bumi yang terus merangas, membuat setiap insan Tzu Chi layak menyadari hal ini. Oleh karena itu bersumbangsih terhadap sesama, bersikap hemat, dan menjalani vegetarian merupakan aksi realistis dalam menyambut bulan 7 Imlek.
Ket : - Bergabung di Tzu Chi mengubah pandangan hidup Bun Siat Kong. Kebiasaan merokok dan pandangan takhayulnya pun menjadi hilang. (kiri) Vegetarian Seumur Hidup Iwan Prasetyo, relawan Tzu Chi yang lain pun memiliki pandangan serupa. Menurutnya sembahyang rebutan di bulan 7 merupakan bentuk penghormatan orang yang masih hidup terhadap para leluhur. Tetapi akan lebih baik kalau sepanjang tahun orang-orang yang masih hidup bisa melakukan banyak perbuatan baik. Dari pemahaman ini akhirnya Iwan merasa bersyukur bisa bertemu dengan ajaran master Cheng Yeng. Karena sebelum mengenal Tzu Chi sebagian keyakinan Iwan menganggap bulan 7 adalah bulan yang menakutkan. Namun semua kepercayaan takhayul itu kini telah punah dari pandangan Iwan. Tak ada lagi rasa takut, yang ada adalah momen penuh syukur dan kesempatan untuk mengajak banyak orang untuk bervegetarian. ”Sejak saya mengenal Tzu Chi 5 tahun yang lalu, banyak perubahan terjadi pada diri saya. Saya tidak percaya lagi pada hal-hal takhayul, dan saya juga sudah menjalankan anjuran Master Cheng Yen untuk bervegetarian seumur hidup mulai awal bulan 7,” jelasnya. Hal inilah yang membuat relawan Tzu Chi berbeda dengan masyarakat etnis Tionghoa lainya yang menganggap bulan 7 Imlek adalah bulan yang tidak baik untuk melakukan berbagai aktivitas. Pada bulan ini secara Feng Shui (ilmu yang mempelajari keharmonisan manusia dengan alam) posisi Yin dan Yang sedang saling berjauhan. Maka sepanjang bulan 7 Imlek, masyarakat Tionghoa sangat jarang menggelar berbagai pesta. Ini karena mereka meyakini bahwa di bulan tersebut yang menghadiri pesta bukan saja para tamu undangan, tetapi juga para arwah yang kelaparan. Karena itulah maka pada bulan tersebut rutin digelar upacara ritual yang ditujukan untuk para arwah telantar. Menghormati Arwah Leluhur Menurut tradisi Tionghoa, leluhur mempunyai garis keturunan yang jelas dan memiliki altar pemujaan tersendiri. Meskipun demikian ada leluhur lain yang dianggap sebagai sahabat yang terdiri dari roh-roh tidak berkeluarga atau orang-orang yang mati dalam peperangan atau kecelakaan. Menurut kayakinan Tionghoa mereka ini tidak boleh ditelantarkan. Maka dari itu, setiap tahun masyarakat Tionghoa percaya kalau pintu akhirat dibuka sejak tanggal 1 bulan 7 Imlek dan berakhir pada tanggal 30 bulan 7 Imlek.
Ket : - Para relawan sedang melaksanakn prosesi doa bersama dengan membawa bunga sebagai persembahan. (kiri) Dalam keyakinan yang lebih mistis, masyarakat Tionghoa percaya kalau para arwah memiliki kekuatan besar atas kejadian sehari-hari. Arwah leluhur yang tidak bahagia dapat menyebabkan wabah penyakit atau ketidakmakmuran di antara orang-orang yang masih hidup. Jadi untuk menghindari semua kemalangan itu diperlukan satu sembahyang umum untuk menenteramkan mereka. Upacara ini ditujukan kepada arwah-arwah gentayangan yang tidak memiliki keluarga atau yang ditelantarkan oleh keluarganya. Di kalangan masyarakat Indonesia tradisi ini sering disebut sebagai sembahyang rebutan (Cioko). Pada masa sembahyang rebutan, tiap-tiap keluarga biasa menyediakan meja sembahyang dan menyajikan sesaji. Di negeri Tiongkok bagian utara kebiasaan sembahyang ini ada dimana-mana, terutama di tempat-tempat yang pernah menjadi ajang peperangan, malapetaka, ataupun bencana alam. Di wilayah utara perayaan ini disebut Yulanpenhui dan sesajiannya mengutamakan masakan vegetarian. Sedangkan di Indonesia Indonesia berbeda, ragam sesajinya lebih lengkap. Di atas sesajian itu kemudian ditancapkan sebatang dupa untuk menghormati arwah. Namun sayang, di balik semua kemegahan upacara penghormatan arwah, masyarakat Tionghoa masih tetap yakin kalau bulan 7 adalah bulan tidak baik. Keyakinan ini justru bertolak belakang dengan pandangan Master Cheng Yen. Bagi Master Cheng Yen bulan 7 Imlek adalah bulan yang penuh berkah. “Sesungguhnya, sejak lebih dari 2.000 tahun lalu, Buddha terus mengatakan kepada semua orang bahwa bulan 7 merupakan bulan penuh berkah,” terang Master Cheng Yen. Pangkal tolaknya berasal dari tradisi Buddhis yang sudah hidup lebih dari 2.500 tahun silam. Pada zaman itu musim hujan di India jatuh pada bulan 4 sampai 7 penanggalan lunar. Maka untuk menghindari tergigit hewan berbisa atau melukai hewan-hewan melata yang banyak keluar di musim penghujan, Buddha melarang para biksu untuk meninggalkan wihara dan bersungguh-sungguh melatih diri di daerah pegunungan. Pengasingan diri ini akhirnya membuahkan pandangan terang bagi para biksu. Dan tidak sedikit dari mereka memperoleh kesucian. Aktualitas ini yang dimaksud oleh Master Cheng Yen sebagai bulan penuh berkah karena pada bulan ini akan muncul banyak orang-orang baik dan suci. Sebagai gantinya, Master Cheng Yen menyarankan kepada para relawan untuk menanam banyak kebajikan di bulan 7 ini. Bervegetarian di saat orang lain tengah sibuk mengorbankan hewan untuk persembahan sembahyang, dan mensyukuri berkah yang diterima untuk didermakan kembali kepada yang membutuhkan. Inilah yang dimaksud bulan 7 penuh berkah. Menciptakan berkah untuk diri sendiri dan makhluk lain. | |||