Menjelang Tiga Hari Besar Tzu Chi (Perayaan Waisak, Hari Tzu Chi Internasional, dan Hari Ibu Sedunia), Tzu Chi Indonesia mengadakan ritual Namaskara (Chao shan) yang berlangsung pada Minggu, 5 Mei 2024 di Lapangan Teratai, Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara.
Menjelang Tiga Hari Besar Tzu Chi (Perayaan Waisak, Hari Tzu Chi Internasional, dan Hari Ibu Sedunia) Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia kembali mengundang insan Tzu Chi, donatur dan masyarakat umum untuk mengikuti ritual Namaskara yang juga dikenal dengan Chao Shan. Kegiatan ini berlangsung dengan khidmat pada Minggu, 5 Mei 2024 di Lapangan Teratai, Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara. Sebanyak 210 relawan bersama masyarakat umum, dengan pikiran murni, batin yang suci dan hati yang tenang, tulus melafalkan nama Buddha, melanturkan doa dalam langkah kaki, bersujud, bangun dan melangkah kembali.
Sebelumnya, Kamis, 2 Mei 2024 merupakan Hari Tzu Chi International ke-58 dan juga merupakan hari kelahiran Master Cheng Yen. Seluruh insan Tzu Chi di Indonesia mengikuti kebaktian, “Kita mendoakan semoga Master sehat selalu, panjang umur, senantiasa tinggal di dunia dan terus memutar roda Dharma. Kita Tzu Chi Indonesia tahun ini menginjak usia 31 tahun, sudah lengkap empat misi. Untuk itu, sangat gan en terima kasih kepada shixiong shijie yang senantiasa menjaga tekad awal, berjalan di jalan Tzu Chi sehingga barisan Tzu Chi bisa semakin panjang seperti hari ini,” ungkap Ketua Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei kepada peserta yang ikut dalam ritual Namaskara.
Sebanyak 210 relawan bersama masyarakat umum, dengan pikiran murni, batin yang suci dan hati yang tenang, tulus melafalkan nama Buddha, melanturkan doa dalam langkah kaki, bersujud, bangun dan melangkah kembali.
Setelah mengikuti ritual Namaskara, para peserta juga melakukan meditasi.
Di sini, Liu Su Mei juga mendoakan, “Semoga semuanya senantiasa sehat dan segala sesuatunya berjalan dengan harapan. Ketulusan hati kita ini, hendaknya juga dibawa pulang ke rumah (keluarga) masing-masing. Semoga seluruh keluarga kita senantiasa aman dan damai serta selamat. Gan En semuanya.”
Ritual Namaskara ini mampu menumbuhkembangkan Bodhicitta, yaitu baik ke atas dengan menapak jalan Buddha, dan ke bawah dengan menolong semua makhluk. Ritual chao shan sering disebut san bu yi pai, adalah ritual tiga langkah kaki dan satu sujud (Namaskara) dengan melanturkan nama Buddha dalam hati. “Maknanya adalah menumbuhkan keyakinan, membina kegigihan dan melatih keberanian, mengikis kesombongan dan menaklukkan kebencian, serta mengasah keyakinan yang tulus,” jelas koordinator ritual Namaskara, Anie Wijaya.
Walau setiap langkah insan Tzu Chi tidak sama, bagi Anie Wijaya pun tidak masalah. “Kita bersama-sama melangkah maju. Dalam ritual itu, dalam keheningan saat berjalan, Namaskara, kita harus renungkan kembali dengan hati yang tenang, dengan tekad, keyakinan penuh, melangkah di jalan Bodhisatwa. Walau ada yang pelan, ada yang cepat, sama-sama menuju arah yang sama, dengan cinta kasih yang sama, berjalan di jalan Bodhisatwa, melatih diri bersama,” lanjut Anie Wijaya.
Ketua Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei mendoakan semua insan Tzu Chi dan menghimbau agar membawa pulang ketulusan hati untuk keluarga agar semuanya senantiasa aman dan damai.
Koordinator kegiatan ritual Namaskara (Chao shan), Anie Wijaya (kiri) mengajak insan Tzu Chi tetap bertekad dan keyakinan penuh melangkah di jalan Bodhisatwa.
Masa Awal Tzu Chi, Tonggak Sejarah Chao Shan
Tiga hari besar, salah satunya adalah memperingati Hari Tzu Chi International. Memperingati bagaimana Tzu Chi, dari masa-masa awal bisa berkembang sampai sekarang, selangkah demi selangkah. Ini adalah salah satu makna Chao Shan.
Tradisi Chao Shan dimulai dari Tzu Chi. Awal Tzu Chi membangun rumah sakit, kondisi Tzu Chi saat itu masih sangat sulit. “Pada saat itu, ada relawan yang memprakarsai. Salah satu cara, beliau terus berdoa supaya tekad Master Cheng Yen membangun rumah sakit, dapat segera terwujud, relawan tersebut melakukan Chao Shan setiap kali mau datang ke Griya Jing Si. Ini salah satu jalinan jodoh, mengapa di Tzu Chi bisa ada Chao Shan,” jelas Hendry Chayady, relawan Komite Tzu Chi Jakarta.
Ritual Namaskara atau sering disebut Chao Shan ini adalah salah satu cara kita (umat Buddha) untuk mengingat budi luhur Buddha dalam rangka Hari Trisuci Waisak. “Dengan ada Buddha hadir di dunia, baru bisa ada Dharma yang menyebar di dunia, baru bisa ada Tzu Chi yang bersumbangsih bagi dunia,” imbuh Hendry Chayady.
Semua pencapaian Tzu Chi hari ini adalah dimulai dari selangkah demi selangkah. Demikian juga, Chao Shan dilakukan dengan tiga langkah satu Namaskara. “Namaskara ini sebenarnya salah satu sarana (latihan) bagi kita untuk mengikis keegoan dan ke-akuan kita. Ketika berlutut di tanah (jalan), kepala kita menyentuh tanah (jalan), ini berarti kita sudah merendahkan hati. Tentu ini mengingatkan diri kita bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari sudah semestinya kita bersikap baik, bersikap penuh hormat kepada orang-orang yang kita temui,” jelas Hendry Chayady.
Hendry Chayady juga menambahkan makna dari kata Chao Shan. “Chao itu artinya menuju, Shan artinya gunung. Zaman dulu, istilah Chao Shan bagi orang-orang yang ingin berziarah ke tempat-tempat suci. Berjalan mengarah ke gunung atau tempat suci. Makna melakukan Chao Shan, tentu kita harus punya arah yang benar, berjalan sesuai arah yang benar, baru kita bisa sampai tujuan,” ungkapnya.
Hendry Chayadi saat mengikuti ritual Namaskara. Dengan tekad yang kuat, akhirnya ia mengikuti seluruh rangkaian kegiatan Namaskara hingga selesai.
Kata Shan, itu sendiri bukan berarti menuju ke satu gunung di luar sana. Master Cheng Yen pernah mengatakan bahwa gunung itu mewakili tingginya kualitas-kualitas luhur. “Mengarah ke gunung, artinya kita mengarah ke kualitas-kualitas luhur itu. Kualitas luhur itu ada dalam hati kita sesungguhnya, ada di dalam hakikat diri kita. Artinya, mengingatkan diri kita untuk membangkitkan kualitas-kualitas luhur di dalam diri kita. Inilah arah kita. Inilah tujuan yang mau kita tuju ketika belajar ajaran Buddha. Lewat Chao Shan kita diingatkan untuk ini,” tambah Hendry lebih lanjut.
Tekun Bersemangat Melampaui Batasan Diri Kita
Pagi itu, Hendry sendiri masih ragu-ragu untuk mengikuti ritual Namaskara ini. Namun dengan tekad yang kuat, akhirnya ia memutuskan untuk mengikutinya hingga selesai. “Kita mengamati diri sendiri, mengenal diri sendiri, memperhatikan langkah (kaki) kita sendiri, memperhatikan setiap bagian tubuh kita, mana yang sakit, mana yang tidak benar, apalagi ada keringat yang mengalir. Ini adalah salah satu sarana untuk mengembangkan empat landasan perenungan,” kata Hendry.
“Pertama, merenungkan tubuh ini tidak bersih. Awalnya mungkin kita merasa bersih, tetapi setelah kita bernamaskara, kita menyentuh tanah, kita keringatan. Ini mengingatkan kita, tubuh ini tidak bersih. Kedua, perasaan membawa derita. Derita ini, segala sensasi yang kita rasakan itu membawa derita. Dalam batin timbul ketidaknyamanan. Semua ini berawal dari pikiran,” imbuhnya.
“Ketiga, pikiran itu tidak kekal. Ketika kita jalani, pikiran-pikiran kita itu sebenarnya tidak kekal, timbul tenggelam. Kadang kita merasa pegel, tetapi lama-lama pegel itu bisa hilang. Keempat, segala sesuatu itu tanpa inti. Kita yang tadi dengan kita yang sekarang, dalam setiap langkah sebenarnya senantiasa berubah, senantiasa berproses. Ini mengingatkan kita, tidak perlu melekat pada satu ke-akuan. Karena segala sesuatu itu tanpa aku, tanpa inti,” lanjut Hendry.
Selain itu, Hendry Chayady menjelaskan bahwa kita belajar melampaui diri sendiri. “Setelah mengamati diri sendiri, tadinya pegel, tadinya ada yang tidak nyaman karena kondisi tubuh. Tetapi setelah diamati, dia hilang. Pada saat hilang itu, kita kembali semangat lagi, jalan lagi, melangkah lagi. Ternyata kita telah melampaui batasan diri kita. Kita jalan lagi, muncul lagi sensasi kurang nyaman atau rasa sakit di tubuh, kurang nyaman lagi. Setelah kita jalani, sensasi tersebut mulai berkurang lagi, hilang lagi. Pada saat itu, saya sudah melampaui diri saya lebih tinggi lagi. Ini adalah proses inside. Ketika kita berada di jalan yang benar, kita harus terus tekun bersemangat untuk melampaui batasan-batasan diri kita,” tutupnya.
Mengatasi Setiap Tantangan Dengan Langkah Pasti
Banyak cerita tentang keraguan dan tantangan dalam menjalankan ritual Namaskara ini. Semuanya pupus oleh kekuatan dan tekad yang teguh. Di usianya yang sudah lanjut, Yusniawati (85) tetap ikut dalam ritual Namaskara ini. “Hati senang dan gembira. Tidak bisa bersujud (Namaskara), bisa selesai di tempat tujuan, sudah senang. Buddha memberkati kita.” kata Yusniawati yang diajak oleh relawan Tzu Chi komunitas He Qi Pluit dalam kegiatan ini.
Yanto di usia yang sudah menginjak 81 tahun tetap bersemangat dengan hati yang tulus saat menjalankan ritual Chao Shan.
Begitu pula dengan Yanto yang usianya sudah menginjak 81 tahun. Dengan penuh semangat, ia juga ikut dalam ritual Namaskara ini, “Lega bisa selesai juga. Mendapat lindungan dari Buddha. Pikiran menjadi tenang. Walau ada rasa sakit di kaki, namun bila dijalankan dengan hati yang tenang (tulus), maka kendala tersebut tidak berarti,” tutur Yanto, yang datang bersama anaknya.
Tak hanya orang dewasa yang turut hadir, namun juga terdapat anak-anak, salah satunya Brian (10), anak dari relawan Tzu Chi Jakarta Surya Kheng dan Suriyanti Chen. “Saat ¾ putaran, saya agak merasa capek sedikit, tetap lanjut sampai selesai, tetapi terakhir tidak Namaskara (sujud),” cerita Brian.
Begitu pula dengan Jesyn (13), yang baru pertama kali ikut kegiatan Namaskara di Tzu Chi. Dalam kegiatan ini, Jesyn hadir bersama mamanya. “Walaupun pagi-pagi sudah bangun, ngantuk, masih bertekad untuk datang ke sini, mau ikut Chao Shan. Rasanya capek tetapi senang,” tutur Jesyn.
Editor: Arimami Suryo A.