Jing Si Talk: Kisah Mahaguru Wu Da

Jurnalis : Lo Wahyuni (He Qi Utara), Fotografer : Aping Rianto, Suhendra (He Qi Utara)

fotoKisah Mahaguru Wu Da menjadi tema yang dibawakan oleh Rosvita Shijie dalam acara Jing Si Talk pada hari Senin malam, 10 Oktober 2011 di RS Royal Progress, Sunter, Jakarta Utara.

Dalam era besar diperlukan moral kebenaran dan kesalahan;
Dalam malapetaka besar perlu memupuk maha welas asih;
Dalam ketidaktahuan besar perlu kebijaksanaan agung;
Dalam kekacauan besar perlu pertobatan besar.

 

 

Lagu pertobatan besar bersenandung merdu di lantai sembilan RS Royal Progress tempat acara Jing Si Talk Hu Ai Sunter yang diadakan pada hari Senin malam 10 Oktober 2011. Lagu ini sungguh memberikan semangat  pada 28 orang peserta yang hadir sambil menanti dimulainya acara.

“Selamat malam Shixiong, Shijie, saya akan membawakan kisah tentang Mahaguru Wu Da, seorang penulis syair Pertobatan Besar,” kata Rosvita Widjaja Shijie yang menjadi pembicara pada hari itu. Kami semua terpukau menyaksikan sebuah video yang menceritakan kisah Sang Mahaguru— cuplikan dari rekaman Persamuhan Pertobatan Air Samadhi yang diadakan di Taipei Arena pada tanggal 14 Agustus 2011 yang lalu. “Kisah lengkap ini ada di buku Pertobatan Air Samadhi yang dipublikasikan pada tahun 2010, bertepatan dengan 20 tahun hari pelestarian lingkungan yang juga bertujuan untuk menjaga pelestarian hati umat manusia,” ucap Rosvita Widjaja.

foto  foto

Keterangan :

  • Rosvita Widjaja Shijie sedang menceritakan sejarah Mahaguru Wu Da, seorang penulis syair pertobatan besar.(kiri)
  • Sebanyak 28 orang peserta hadir dalam acara Jing Si Talk ini. (kanan)

Alkisah Zhi Xuan (nama asli Mahaguru ) lahir pada tahun 809 di Zaman Dinasti Tang.  Pada usia 11 tahun beliau sudah meminta izin kepada kakeknya untuk menjadi seorang biksu. Berkat Ketekunan dan kepiawaiannya dalam membabarkan Dharma dengan sangat baik, Biksu Zhi Xuan menjadi sangat terkenal sehingga pada tahun 871 beliau diangkat oleh Raja Tang Yi Zong menjadi Mahaguru kerajaan dan diberikan nama “Wu Da”. Raja kemudian memberikan hadiah kepada Mahaguru Wu Da sebuah Kursi pembabaran Dharma yang terbuat dari kayu cendana. Hal tersebut membangkitkan keangkuhan Wu Da hingga pintu karma terbuka. Saat berjalan ke kursi tanpa sengaja dirinya terbentur kursi cendana dan menimbulkan luka. Anehnya, lambat laun luka kakinya menimbulkan borok berwajah manusia. Beliau sudah berobat ke berbagai tempat,  tetapi lukanya tidak sembuh juga. Akhirnya ia teringat beberapa waktu sebelumnya, beliau pernah menolong seorang biksu yang sakit dan biksu ini berpesan untuk mencarinya apabila menemui masalah.

Lalu beliau mencari biksu tersebut ke gunung Jiu Long dan menemukan kuil dengan tanda 2 pohon pinus. Biksu yang bernama guru Jia Nuo Jia ini sudah tahu maksud kedatangannya dan menjelaskan bahwa luka berwajah manusia adalah akibat dari karma buruknya. Biksu ini menyarankan beliau pergi ke belakang gunung untuk membilas luka tersebut dengan air di sana. Pada saat beliau akan membasuh lukanya, borok berwajah manusia  ini  kemudian dapat berbicara. Borok berwajah manusia berteriak bahwa dirinya ingin mengadu bahwa setelah menunggu 10 kali reinkarnasi kehidupan Mahaguru Wu Da yang selalu memupuk karma baik, namun akibat keangkuhan yang timbul saat itu, pintu karma kemudian terbuka.

Dia mengingatkan di masa Dinasti Han Jin, mereka bersahabat. Mahaguru Wu Da adalah Yuan Ang dan borok  berwajah manusia itu adalah Chao Cuo. Yuan Ang telah membunuh Cao Chuo, akibatnya sang borok datang untuk membalas dendam. Mendengar cerita ini, Mahaguru Wu Da sangat sedih dan bertobat mengakui sungguh-sungguh semua kesalahannya. Akhirnya Chao Cuo mengampuni Mahaguru Wu Da dan  luka ini sembuh. Kejadian ini memberikan inspirasi bagi Mahaguru Wu Da untuk menulis syair pertobatan besar untuk mengakui semua kesalahannya dan agar dapat mengingatkan orang lain  bahwa hukum karma itu ada dan tetap berlaku.

foto  foto

Keterangan :

  • Para peserta dengan serius menyimak sharing mengenai kisah Mahaguru Wu Da.(kiri)
  • Dalam Jing Si Talk ini, para peserta juga dapat mengutarakan pendapatnya maupun bertanya kepada pembicara. (kanan)

“Jika ingin mengetahui karma pada kehidupan lampau, lihatlah apa yang ada di kehidupan sekarang. Jika ingin mengetahui karma dalam kehidupan mendatang, lihat pada apa yang kita perbuat dalam kehidupan sekarang, itulah hukum Karma. Mahaguru Wu Da berharap agar semua orang paham bahwa Karma adalah kebenaran dan tidak dapat dihindari,” demikian Rosvita Shijie menjelaskan.      

Para hadirin terkesima dengan tayangan dan penjelasan tentang kisah mahaguru Wu Da dan mengambil pelajaran yang sangat berharga atas hal ini. Rasa syukur terpancar dari ekspresi wajah mereka karena mendapatkan hikmah kebijaksanaannya.     

Persamuhan Pertobatan Air Samadhi yang menampilkan kisah Mahaguru Wu Da  merupakan hadiah dari Master Cheng Yen dalam rangka ulang tahun Tzu Chi ke-45. Semua peserta persamuhan harus menghayati syair pertobatan Air Samadhi melalui peragaan isyarat tangan (shou yu) yang baik dan bervegetarian selama 108 hari sehingga diharapkan agar pertobatan dapat terlakasana dengan sungguh-sungguh. Pertobatan dengan mengakui semua kesalahan yang pernah dilakukan, tidak  dapat serta merta menghapus semua karma buruk. Karma buruk yang telah dilakukan tetap harus dibayar di masa kehidupan sekarang ataupun di kehidupan mendatang. Benih apa yang ditanam, maka orang itu sendiri yang akan memetik buahnya. Jika menanam benih-benih kebajikan, maka kelak buah karma yang manis akan dipetiknya. Sebaliknya, apabila menanam benih kejahatan maka karma buruk yang kelak akan diperolehnya. Seperti Kata Perenungan Master Cheng Yen ini, “Lahan batin manusia bagaikan sepetak sawah, bila tidak ditanami dengan bibit yang baik , tidak akan bisa menuai hasil yang baik.”

 Master Cheng Yen dengan welas asihnya telah memberikan jalan Bodhisatwa melalui Tzu Chi, sebuah  ladang untuk kita menanam benih-benih kebajikan dengan bersumbangsih tanpa pamrih. “Keserakahan, kebencian dan kebodohan merupakan 3 racun dalam kehidupan manusia. Atasi keserakahan dengan berdana, kebencian dengan hati yang welas asih dan atasi kebodohan dengan kebijaksanaan” (Master Cheng Yen).Marilah kita senantiasa memanfaatkan waktu untuk bekerja di ladang berkah Tzu Chi dengan sebaik-baiknya dan dapat berintrospeksi diri untuk memantapkan jalan di jalan Bodhisatwa ini.

 


Artikel Terkait

Baksos NTT: Cinta Kasih di Tarimbang (Bag.1)

Baksos NTT: Cinta Kasih di Tarimbang (Bag.1)

12 April 2012 Di sinilah kami sekarang berdiri, Desa Tarimbang. Desa dengan pemandangan alam yang menawan ini adalah sasaran pembagian beras cinta kasih oleh Tim I yang dipimpin oleh Suherman Shixiong dan Salim Shixiong. Beras yang dibagi kali ini sebanyak 125 karung dengan masing-masing karung berisi 20 kg beras.
“Harta Boleh Hilang, Semangat Tetap Harus Ada” (Bag. 2)

“Harta Boleh Hilang, Semangat Tetap Harus Ada” (Bag. 2)

05 Maret 2014 Jika sebelumnya Rudi tampak kurang bersemangat, kini ia lebih bergairah menata kembali hidupnya. “Ada relawan yang bilang, ‘harta boleh hilang, tetapi semangat jangan sampai hilang’.
Air Hujan Sebagai Sumber Kehidupan

Air Hujan Sebagai Sumber Kehidupan

26 Februari 2018
Warga Asmat yang tinggal di pedalaman menggunakan air hujan sebagai pemenuh kebutuhan air sehari-hari. Ini menjadikan masyarakat Asmat rentan terkena penyakit karena kurang menjaga kebersihan.
The beauty of humanity lies in honesty. The value of humanity lies in faith.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -