Juara 1 (Artikel): Hidup Adalah Belajar
Jurnalis : Kartini (He Qi Utara), Fotografer : Elysa (He Qi Utara)Berawal dari kakak teman sekolah sang suami yang bercerita tentang Tzu Chi dan Master Cheng Yen di akhir tahun 1997, jalinan jodoh Anie Widjaja Shijie dengan Tzu Chi pun dimulai dengan menjadi donatur. Sebenarnya pada tahun 1994, ia pernah mendengar dari seorang teman asal Pekanbaru tentang seorang biksuni di Taiwan yang akan membangun rumah sakit, namun saat itu temannya tersebut tidak menemukan adanya Tzu Chi di Indonesia. Paska kerusuhan Mei 1998, dirinya dan sang suami ikut bergabung dalam tim pendampingan korban kekerasan seksual yang ditangani oleh Walubi bekerja sama dengan organisasi lain. Dari sanalah cinta kasih universal mereka semakin terbangkitkan. Di bulan September 1998, jejak langkah perjalanan Anie Shijie dalam barisan bodhisatva Tzu Chi dimulai dengan mengikuti baksos kesehatan di Serang.
Menemukan Arah dan Tujuan Hidup di Tzu Chi
Wanita kelahiran Medan 50 tahun lalu ini sebelumnya aktif menjadi pengurus di vihara, baik saat masih menetap di Surabaya maupun setelah bermigrasi ke Jakarta. Kala itu, dalam hatinya sering bertanya, apa tujuannya hidup yang sebenarnya? "Apakah hanya sekedar rutinitas saja, pagi mandi, sarapan, pergi kerja, pulang kerja mandi lagi, makan lagi, besok ulangi lagi, tiap hari begitu, minggu ke vihara," ungkapnya. Pertanyaan itu pun seringkali ditanyakan namun belum ada jawaban yang tepat baginya. Setelah mengikuti baksos kesehatan Tzu Chi di Serang, muncul perasaan bahagia dalam hati Anie Shijie. Akhirnya, ia menemukan jawaban dari pertanyaannya selama ini, yaitu bila hidup hanya untuk menjalani rutinitas saja, rasanya terlalu egois, sehingga hidup harus saling berbagi agar keseimbangan dalam hidup dapat diraih. "Dari situ, saya menemukan bahwa saya harus terus di Tzu Chi," tuturnya. Sempat vakum di tahun 2002 karena melahirkan anak pertama, kemudian di tahun 2003 Shu Hui Shijie memintanya untuk membantu di tim training. Tahun 2004 kembali vakum karena melahirkan anak kedua. Tahun 2009, Anie Shijie dipercaya sebagai wakil ketua dari salah satu Xie Li di Hu Ai Angke dan selanjutnya kembali lagi menjadi koordinator di bagian training. Meskipun tim training tidak bersentuhan langsung dengan penderitaan, namun melihat para relawan dilantik di atas panggung membuat dirinya terharu. Ia membayangkan betapa gembiranya Master karena banyak relawan yang akan membantu menjalankan misi. Setahun kemudian, ia pun memantapkan hatinya untuk ikut mengemban tanggung jawab di jalan Tzu Chi dengan menjadi komite. Ia bersama sang suami pun setuju untuk meminjamkan kantornya di Kapuk Muara sebagai tempat kegiatan bedah buku komunitas Hu Ai Angke yang rutin diadakan setiap hari Senin. Wanita yang saat ini mengemban tanggung jawab menjadi ketua Hu Ai Angke pun semakin aktif ikut serta dalam berbagai kegiatan Tzu Chi seperti kunjungan kasih, pelestarian lingkungan, pengatur barisan dalam berbagai acara besar seperti Waisak, Bulan Tujuh Penuh Berkah dan masih banyak lagi.
Semakin Memahami Hukum Sebab Akibat
Ketika Anie Shijie mengandung anak pertamanya, salah satu teman menginformasikan bahwa ibu hamil di atas usia 35 tahun sebaiknya melakukan pemeriksaan kromosom untuk mendeteksi kemungkinan Down Syndrome pada janin. Ia mengatakan kepada temannya bahwa meskipun anak yang dilahirkan cacat atau tidak sempurna, ia tidak akan membuangnya, jadi tidaklah perlu untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Anak pertama lahir dengan lancar dan sempurna. Berselang dua tahun kemudian, anak kedua pun lahir, namun ternyata merupakan anak Down Syndrome. "Shock," itulah kata yang menggambarkan perasaan Anie Shijie dan sang suami waktu itu. "Tapi saya pernah baca satu buku. Kejadian itu sama seperti kamu beli tiket pesawat yang tadinya kamu mau pergi ke Singapura, kamu sudah siapkan segala macam mulai dari pelajarin bahasanya, peta-nya, tapi ternyata terbangnya malah ke Jepang, yang bahasa dan peta-nya kamu tidak ngerti, kamu harus belajar ulang. Seperti itulah kalau kamu mendapatkan anak yang tidak sesuai dengan yang kamu harapkan. Ya terima aja, kita belajar lagi aja. Memang pasti lebih repot, harus extra care," ujarnya. Dengan adanya anak kedua ini, ia semakin memahami hukum sebab akibat, karena pasti ada jalinan jodoh dalam salah satu kehidupan sehingga bisa berjumpa lagi dengan sang anak, dan juga pasti ada sebabnya mengapa sang anak bisa mengalami kelainan tersebut.
Tidak Membeda-bedakan, Berterima kasih Kepada Semua yang Telah Membantu
Di sela-sela kesibukannya menjadi komite Tzu Chi dan juga mengurus anak, Anie Shijie sebenarnya juga seorang pengusaha. Ia merasa sangat Gan En (bersyukur) kepada para karyawan, baik di pabrik maupun di rumah, karena berkat adanya merekalah, dirinya dapat dengan leluasa mengemban tugas di Tzu Chi. Sebelum masuk ke dunia Tzu Chi, ia memandang karyawan sebagai orang yang digaji sehingga tidak perlu dihargai. Di masa kecilnya, sang ibu sudah memperkerjakan pembantu rumah tangga di rumah. Saat itu, semua peralatan seperti piring, gelas, sendok dan lainnya harus dipisah antara pembantu dan majikan. Namun setelah berumah tangga, Anie Shijie tidak menerapkan sistem seperti itu. Setelah masuk ke dunia Tzu Chi, tumbuh Zun Zhong (menghormati) di hatinya. "Saya makan apa, ya dia juga makan apa, kamu masak enak, ya kita makan sama-sama, kamu masak ga enak, ya kita juga sama-sama makan gak enak," tuturnya sambil tersenyum.
Hidup Adalah Belajar
Permulaan masuk ke Tzu Chi, Anie Shijie merasa Tzu Chi merupakan tempat untuk berbuat kebajikan, berbagi dan menolong sesama. Setelah bergabung di tim training, ia merasa tujuan hidup sebenarnya bukan hanya berbuat baik saja, namun tujuan hidup adalah terus belajar, belajar bagaimana mencintai dan menghargai orang lain, sehingga dapat menjadi orang yang lebih baik dan akhirnya dapat mencapai kesempurnaan. "Hidup ini ibarat tangga, setiap rintangan yang saya lalui berarti saya naik kelas. Apabila ketika menghadapi rintangan, saya menolak dan benci, berarti saya gak naik kelas. Kalau saya bisa minta maaf sama dia berarti saya naik kelas," ungkapnya. Terkadang sebagai relawan, tentunya ada perasaan bosan dengan rutinitas kegiatan Tzu Chi, namun meskipun kegiatannya sama, pasti ada hal baru yang dapat dipelajari. Sebagai contoh kegiatan pelestarian lingkungan Hu Ai Angke di Villa Kapuk Mas, meskipun kegiatannya sama, tapi selalu ada masalah baru yang dihadapi, misalnya orang yang datang sedikit, maka harus mencari cara lain, apa yang harus diubah, itulah proses pembelajaran. Jadi dengan mengubah cara pandang kita bahwa setiap kegiatan merupakan tempat pembelajaran, maka tentunya rasa bosan dapat diatasi.
Tekad Anie Shijie saat ini adalah rutin mengikuti kegiatan Xun Fa xiang (menghirup keharuman Dharma di pagi hari) setiap harinya. Ia merasa melalui kegiatan ini, banyak hal yang dapat dipelajari. "Master ngomong setiap hari, kita ambil 1 point saja," ucapnya. Setelah kegiatan Xun Fa Siang, kita semua bisa membagikan apa yang kita dapat. Pernah dalam suatu episode, Master membahas mengenai ketidakrelaan dalam mengerjakan sesuatu. Jika kita mengerjakan sesuatu tanpa kerelaan maka kita akan berkelakuan kasar, sebaliknya jika kita mengerjakannya dengan rela maka kita akan memperlakukannya dengan lembut. Dulu ketika ibu mertuanya masih hidup dan mengalami stroke, Anie Shijie harus membantu memandikannya. Ada perasaan tidak rela dalam dirinya. Saat Xun Fa Siang tersebut Master menceritakan tentang seorang suster yang memperlakukan pasiennya dengan lembut, seperti sedang melakukan Yi Fo (ritual pemandian rupang Buddha). "Seandainya saya mendengar hal ini lebih awal, saya bisa belajar memperlakukan mertua saya, memandikannya seolah-olah saya sedang Yi Fo. Saya chan hui (bertobat) banget, saya menyesal sekali kok waktu itu saya gak rela," ucapnya penuh sesal. Anie Shijie merasa masih banyak sifat diri sendiri yang perlu diubah, dan Xun Fa Siang merupakan tempat yang tepat untuk mengembangkan jiwa kebijaksanaan.