Juara 3 (Artikel): Kehidupan Lain di Tengah Hingar Bingar Kota
Jurnalis : Joliana (He Qi Barat), Fotografer : Bobby (He Qi Barat)Siang itu cuaca panas terik, namun panasnya sinar mentari tak menyurutkan semangat 26 relawan dari Yayasan Budha Tzu Chi He Qi Barat untuk berangkat menuju ke lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) Rawa Kucing, Kecamatan Negla Sari, Desa Kedaung Baru, Kotamadya Tangerang, pada Minggu (21/9/2014) pada pukul 08.15. Kunjungan kami kali ini berbeda dari biasanya karena kami akan langsung ke rumah-rumah dan berinteraksi dengan warga yang tinggal di TPA. Kunjungan ini bertujuan untuk mengadakan jajak pendapat mengenai seberapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak yang bermukim di sana.
Sejenak Melihat Kehidupan di Tempat Pembuangan Akhir
Bau sampah yang menyengat dari beberapa sudut TPA awalnya membuat kami terganggu. Namun lama kelamaan hal tersebut hilang dan berganti menjadi sesuatu hal yang cukup menggugah dan mengundang simpati bagi kami semua. Betapa tidak, sampah yang biasa dijauhi dan dihindari namun di mata sebagian orang berubah menjadi sumber mata pencaharian bahkan menjadi sebuah lapangan pekerjaan. Beberapa barang yang sudah tidak terpakai dipilah dan dikumpulkan kembali untuk selanjutnya dijual, sehingga memberikan penghasilan bagi para warga di sekitar TPA ini.
TPA Rawa Kucing memiliki luas sekitar 6.000m2, yang saat ini dihuni sekitar 175 kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya dari mengais sampah sebagai sumber mata pencaharian.
Sampah Sumber Kehidupan Kami
Ketika truk pembawa sampah datang warga berbondong-bondong keluar rumah untuk memilah dan mengumpulkan sampah yang mereka cari. Mereka bergerak cepat untuk mencari sampah yang dapat dijual seperti botol minuman, kaleng, kertas, kardus, plastik bahkan barang-barang yang menurut mereka masih dapat digunakan mereka kumpulkan. Rumah yang mereka tempati pun jauh dari layak sebagai tempat tinggal. Lingkungan yang kotor, kumuh dan berbau tak pelak lagi menjadi pemandangan sehari-hari bagi warga di sana. Di sela-sela waktu terlihat mereka bercakap-cakap dan bersenda gurau untuk sekadar melepas lelah di bawah teriknya panas matahari.
Kim Hai (66 tahun) salah satu warga yang tinggal di TPA ini adalah asli penduduk Tanggerang. Kehidupannya bersama istri dan ketiga anaknya hanya mengandalkan dari mengumpulkan sampah. Baru dua bulan yang lalu sang istri telah tiada sehingga sekarang Kim Hai tinggal bersama anak sulung dan ketujuh cucunya. Dia bercerita bahwa pekerjaannya sehari-hari dari mengumpulkan botol, kardus, dan barang-barang bekas. Hasilnya dijual dan digunakan untuk menghidupi keluarganya. Bersyukur dari penghasilannya ini Kim Hai masih sanggup untuk menyekolahkan anak-anaknya. Kakek dengan 14 cucu ini menuturkan dia mendapatkan penghasilan yang tak menentu, antara Rp 200.000 hingga Rp 300.000 sebulan. "Saya sudah terbiasa dengan bau sampah di sini, karena dari dulu memang hidup saya di sini," kata Kim Hai.
Demikian halnya dengan Kusmansyah (31 tahun) salah seorang warga yang tinggal di TPA ini bersama dengan istri dan seorang anaknya yang berusia 6 tahun. Anaknya saat ini sekolah kelas TK besar. Mengais rejeki dari sampah dan barang-barang bekas di TPA ini merupakan sumber penghasilan utama baginya dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Penghasilan yang didapat tergantung dari banyaknya sampah yang bisa dikumpulkan olehnya. Sekitar Rp 500.000 hingga Rp 750.000 bisa didapatkannya dalam sebulan. Bagi pria paruh baya ini, pendidikan sangatlah penting buat masa depan anaknya apalagi di zaman modern sekarang ini. “Saya mendukung sekali terhadap pendidikan karena penting buat masa depan. Dan berharap agar banyak anak yang bisa bersekolah dan juga warga di sini lebih mementingkan pendidikan,” demikian penuturan Kusmansyah.
Kami juga sempat berbincang dengan Sugi (50 tahun), sebagai pembina warga TPA Rawa Kucing ini. Dari rasa prihatinnya kepada warga di sekitar TPA, Sugi pun meluangkan waktunya untuk mengajar bagi anak-anak pemulung ini berupa bimbingan belajar. Sugi sangat peduli terhadap pendidikan anak-anak pemulung. Awalnya sangat sulit bagi warga TPA untuk menerima pengajaran tapi dengan tekad dan semangat yang kuat Sugi dan beberapa temannya memberikan pengarahan kepada warga pentingnya pendidikan dan bersedia mengajar di siang hari. Karena pagi hari semua anggota keluarga harus mengumpulkan sampah dan barang-barang untuk dijual tidak terkecuali anak-anaknya. Dituturkan Sugi, “Saya sangat berterima kasih kepada Yayasan Budha Tzu Chi yang sudah bersedia memberikan perhatian dan bantuan ke warga kurang mampu, khususnya di TPA Rawa Kucing ini.”
Sebanyak 92 paket berupa beras, mi telor dan shampo dibagikan kepada para warga yang berada di TPA Kedaung Baru ini, sebagai ungkapan terima kasih atas kesediaan mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.
Hampir 3 jam, kami berada di lokasi TPA tetapi meninggalkan kesan yang mendalam setelah melihat kehidupan para pemulung yang berada di tengah hingar bingarnya kehidupan kota Tangerang. Tidak disangka walau kehidupan mereka bergantung akan sampah tetapi mereka sangat mementingkan pendidikan bagi anak-anaknya. Dari hasil jajak pendapat dengan warga TPA ternyata hampir semuanya menjawab setuju untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya. Dalam percakapan dengan mereka, kami juga memberi dukungan bahwa betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak karena ini adalah modal dasar bagi masa depan mereka dan berharap suatu saat bisa mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik dan tidak lagi bergantung akan sampah.
Panas terik, debu, dan keringat yang mengucur deras saat kaki ini melangkah terbayar sudah dengan pengalaman yang kami dapat hari ini. Betapa bersyukurnya kami akan berkah kehidupan yang dijalani saat ini.
Dengan menyaksikan sendiri penderitaan orang,
barulah kita tahu menghargai keberkahan diri sendiri
– Kata Perenungan Master Cheng Yen.