Jurnalisme Empati Sebagai Sarana Memberikan Pendidikan
Jurnalis : Philip (He Qi Barat) , Fotografer : Indarto (He Qi Barat)Maria Hartiningsih dalam Festival Budaya Humanis Tzu Chi, di Jing Si Tang Tzu Chi Center, Minggu Desember 2016.
Sering kita mendengar kata jurnalisme. Jurnalisme ini berasal dari kata journal yang berarti catatan harian atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, dapat juga di artikan sebagai surat kabar. Orang yang melakukan kegiatan jurnalisme ini disebut dengan jurnalis, yang biasa memberikan informasi tentang kejadian yang terjadi setiap harinya. Laporan jurnalis ini biasanya disalurkan kepada masyarakat melalui beberapa macam media, misal koran, radio, televisi dan internet.
Namun tidak dapat dipungkiri, dengan kemajuan zaman dan kepentingan dari pihak-pihak tertentu, telah membuat jurnalisme ini menjadi alat yang sesuai dengan keinginan pihak tertentu tersebut. Sehingga banyak berita yang kita lihat dan kita dengar belakangan ini banyak memiliki unsur kepentingan pihak tertentu. Dengan keadaan seperti ini, jurnalisme yang seharusnya memberikan catatan-catatan harian yang sebenarnya, akhirnya disalahgunakan demi kepentingan pihak-pihak tertentu.
Jurnalisme Empati yang merupakan salah satu metode penulisan dengan cara memandang jurnalisme dari sisi lain menjadi topik seminar yang membuka Festival Budaya Humanis Tzu Chi, di Jing Si Tang Tzu Chi Center, Minggu Desember 2016. Jurnalisme Empati yang dibawakan oleh wartawan senior Kompas, Maria Hartiningsih ini memberikan sudut pandang berbeda tentang jurnalisme dan cara mengerjakan jurnalisme dari sisi narasumber.
Metta Wulandari (pegang mic) dari Yayasan Tzu Chi dalam sesi tanya jawab.
Didi Ariyanto dari tamu umum mengakui begitu pentingnya jurnalisme empati digunakan untuk menulis tentang korban.
Kenapa dinamakan dengan jurnalisme empati, karena metode jurnalisme ini mengajarkan kita untuk melihat, mendengar, merasakan dari sisi narasumber. Bukan mencari dan memberikan berita sesuai dengan keinginan dari para pembaca maupun jurnalis sendiri, tapi bagaimana, apa yang narasumber ingin sampaikan dan nara sumber lihatkan tentang hal yang dia rasakan. Tujuan dari jurnalisme empati ini agar para pembaca dapat melihat, mengerti dan merasakan apa yang nara sumber rasakan. Kebanyakan narasumber dari jurnalisme empati ini adalah mereka yang tersingkirkan, seperti para penderita HIV/AIDS, LGBT dan juga para korban dari kejahatan maupun korban bencana alam.
Maria memulai seminarnya dengan menceritakan awal kenapa ia mengerjakan jurnalisme empati. Ia sempat dimarahi oleh orang karena ada yang merasa jurnalis itu hanyalah menceritakan dan mengekploitasi penderitaan orang tanpa memberikan solusi. Dari sinilah Maria merasa bahwa sebagai seorang jurnalis ia harus bisa melihat dari sisi narasumber. Dengan begitu pembaca dapat merasakan apa yang narasumber rasakan.
“Karena apabila dia tidak dapat merasakan apa yang narasumber rasakan, bagaimana mungkin dia dapat menyampaikan parasaan narasumber kepada pembaca. Karena jurnalisme ini adalah memberikan pendidikan, bukan memberikan rasa kasihan semata,” terangnya.
Jurnalisme empati juga banyak digunakan untuk menulis tentang HIV/AIDS dan memberikan pengertian kepada masyarakat luas tentang arti sesungguhnya dari HIV Aids ini.
Ketua Panitia Festival Budaya Humanis, Henry Tando memberikan bingkisan dan kenang-kenangan kepada Maria Hartiningsih.
Maria juga menceritakan pengalamannya tentang bagaimana dia mewawancarai salah satu dari korban kekerasan seksual, yang mana jarang diangkat karena hal ini sangat sensitif, terutama bagi korban. Karena itu jurnalis dituntut untuk menggunakan empati yang baik juga pendekatan yang baik saat menghadapi korban agar dirinya tidak merasa diekploitasi. “Tetapi dengan ceritanya dapat memberikan informasi yang benar dan berguna bagi masyarakat luas,” jelas Maria.
Dalam sesi tanya jawab, ada beberapa pertanyaan dari para peserta yang kemudian menunjukkan isi hati dari Mariah. Bahwa menjadi tenar bukanlah keinginannya, tetapi menjadi jurnalis yang menggunakan jurnalisme empati adalah sebuah panggilan hati. Dengan demikian apa yang ia tulis, bukan hanya menimbulkan rasa kasihan dari para pembaca, tetapi menimbulkan semangat para pembaca. Para pembaca lalu memiliki hati dan rasa kemanusiaan supaya dapat memberikan bantuan yang semampunya.
Sesi tanya jawab pun mengakhiri materi dalam topik ini. Mariah berharap Jurnalisme empati akan selalu digunakan sehingga dapat menjadi wadah untuk memberikan pendidikan yang baik kepada masyarakat.
Artikel Terkait
Memaknai Keindahan Budaya Humanis Tzu Chi
19 September 2016Sekitar 130 relawan abu putih memenuhi Aula Gedung C Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng pagi itu, Minggu, 18 September 2016. Dengan antusias mereka mengikuti training relawan abu putih ke-4 yang bertajuk “Keindahan Budaya Humanis” yang digelar oleh Komunitas relawan Tzu Chi He Qi Barat.
Kamp DAAI TV 2016: Melihat lebih Benar, Merenung lebih Dalam
18 April 2016Embrio, Fase Awal Pertumbuhan
07 Desember 2016Pameran Embrio merupakan pameran dokumentasi kegiatan-kegiatan awal Tzu Chi Indonesia dalam menjalankan kemanusiaannya. Relawan Tzu Chi saat itu hanya beberapa ibu-ibu rumah tangga mampu menyimpan arsip tersebut dengan baik. Hal ini justru yang perlu dicontoh oleh generasi sekarang khususnya para relawan. Pameran embrio dan pameran foto yang diikuti 73 orang ini diadakan pada tanggal 4 Desember 2016 di Jing Si Tang Tzu Chi, Pantai Indah Kapuk.