Vincent Salimputra dengan hangat memandu acara dan menciptakan keakraban antara relawan serta para opa dan oma di Panti Werdha Wisma Mulia.
Pagi itu, di sudut Panti Werdha Wisma Mulia yang berlokasi di Jl. Hadiah, Jelambar, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta Barat suasana berbeda begitu terasa. Sejuknya udara berpadu dengan tawa ceria dan wajah-wajah yang berseri-seri. Hati-hati yang selama ini terhimpit kesepian perlahan menemukan kehangatan, seakan cahaya mentari kembali menyapa mereka.
Semua ini berkat kedatangan 18 relawan Tzu Chi komunitas He Qi Pluit (Hu Ai Pluit Mas) bersama 21 calon Tzu Ching dari Akademi Kebidanan Bina Husada Tangerang dan Akademi Keperawatan Andalusia pada Sabtu, 25 Januari 2025. Mereka datang bukan sekadar membawa bingkisan, tetapi juga cinta kasih yang tulus, seperti embun yang menyegarkan jiwa-jiwa yang merindukan perhatian.
Kebersamaan yang Menghidupkan Jiwa
Kegiatan hari itu diawali dengan sentuhan lembut dan penuh perhatian, yaitu memotong rambut serta merapikan kuku para opa dan oma. Sentuhan lembut ini membawa rasa nyaman yang telah lama dirindukan. Setiap gerakan para relawan memancarkan kehangatan, memberikan rasa nyaman yang telah lama dirindukan. “Rasanya seperti dimanjakan anak sendiri,” bisik salah satu oma pelan, seolah tak ingin kebahagiaan kecil ini cepat berlalu.
Lanni (berseragam Tzu Ching) dan beberapa calon Tzu Ching dengan ceria menyemangati opa dan oma yang tengah asyik berlomba memasukkan bola ke dalam kardus.
Setelah perawatan diri yang penuh kasih, para opa dan oma diajak menikmati sarapan bersama. Aroma bubur yang hangat berpadu dengan kehangatan kebersamaan, menghidupkan kembali aula yang biasanya sunyi. Tawa kecil mulai terdengar di sela-sela suapan, sementara beberapa calon Tzu Ching duduk berdampingan dengan opa dan oma, berbagi cerita tentang masa lalu dan pengalaman hidup. Sekat usia seolah mencair, yang tersisa hanyalah kebersamaan layaknya keluarga yang saling menyayangi.
Namun, puncak kebahagiaan benar-benar terasa ketika permainan dimulai. Tawa riang membahana saat opa dan oma berlomba memasukkan bola ke dalam kardus. Antusiasme mereka tak kalah dengan anak-anak yang sedang bermain, seakan lupa bahwa tubuh mereka telah dimakan usia. Sorakan semangat bergema di seluruh aula, memberi energi baru yang menyegarkan hati. Di antara gelak tawa yang tak henti-hentinya, Oma Sinta dan Opa Acong muncul sebagai salah satu pemenang. Wajah mereka berseri-seri, memancarkan kebanggaan seperti anak kecil yang baru saja memenangkan permainan pertamanya. Oma Sinta, dengan suaranya yang merdu, berbisik sambil tersenyum, "Kapan terakhir kali saya tertawa seperti ini?" Ucapannya terdengar ringan, seolah hanya candaan, tetapi dalam nada suaranya tersimpan kebahagiaan yang tulus.
Oma Sinta (kiri) dan Opa Acong (kanan) tersenyum sumringah saat menerima hadiah sebagai pemenang permainan yang diadakan oleh relawan pada hari itu.
Saat matahari siang bersinar hangat, keakraban semakin terasa di aula tersebut. Para relawan maju ke depan dengan penuh senyum, bersiap mempersembahkan isyarat tangan sebagai ungkapan kasih bagi opa dan oma.
Lagu “Wo Men Dou Zai Ci Ji” mulai mengalun, mengiringi gerakan tangan yang lembut namun penuh makna. Setiap lirih liriknya bagaikan angin sepoi yang membelai hati, membawa pesan ketulusan dan kebersamaan. Para opa dan oma larut dalam keindahan gerakan yang mengisahkan perjalanan penuh makna dalam keluarga besar Tzu Chi.
Suasana semakin menghangat ketika lagu “Satu Keluarga” mulai mengalun. Gerakan tangan yang lembut menyampaikan pesan bahwa di dunia ini, tak ada yang benar-benar sendirian. "Kita satu keluarga, saling bersyukur, saling percaya..." Melodi dan lirik itu menggema di hati, mempererat ikatan yang telah terjalin. Beberapa oma dan opa tersenyum, perlahan ikut menggerakkan tangan dan mengikuti irama yang mereka rasakan begitu dekat dengan hati mereka.
Para relawan Tzu Chi membungkukkan badan dengan penuh hormat saat menyerahkan bingkisan Imlek kepada opa dan oma di Panti Werdha Wisma Mulia.
Sebagai ungkapan kasih yang lebih nyata, bingkisan Imlek diberikan dengan penuh kehangatan. Wajah-wajah opa dan oma pun berseri, bukan hanya karena hadiah yang mereka terima, tetapi karena perasaan bahwa mereka masih diingat, masih dihargai. "Terima kasih, dek," bisik salah satu oma dengan suara lirih namun penuh makna. Bagi mereka, momen ini lebih dari sekadar perayaan, melainkan pengakuan bahwa kasih sayang sejati tidak memudar oleh waktu.
Di akhir acara, foto bersama diabadikan. Hari itu, bukan hanya opa dan oma yang mendapatkan kebahagiaan, tetapi juga setiap relawan yang hadir. Sebab, dalam memberikan perhatian dan kasih yang tulus, kita sesungguhnya sedang menanam kebahagiaan yang jauh lebih abadi di hati kita sendiri.
Makna Kehangatan Keluarga
Di tengah kehangatan Panti Werdha Wisma Mulia, Sri Nurelinda Putri, atau akrab disapa Elin, duduk tenang di samping Oma Syiane. Hari itu, oma tampak lebih ceria dari biasanya. Dengan penuh perhatian, Elin mendengarkan kisah masa muda sang oma tentang impian dan kenangan yang kini hanya tersimpan dalam ingatan.
Elin tak banyak bicara, hanya tersenyum, mengangguk, dan sesekali menimpali dengan lembut. Namun, di mata Oma Syiane, kehadiran Elin lebih dari sekadar teman bicara. Ia adalah pendengar yang sabar, seseorang yang tidak hanya mendengar tetapi juga memahami. "Rasanya seperti berbicara dengan cucu sendiri," ujar Oma Syiane dengan mata berbinar.
Elin (kiri) duduk tenang di samping Oma Syiane, mendengarkan dengan penuh perhatian saat oma bercerita tentang masa mudanya.
Tak jauh dari mereka, Dea Efani (18), seorang calon Tzu Ching dari Akademi Kebidanan Bina Husada Tangerang semester 1, sedang menghadapi tantangan kecilnya sendiri untuk memotong kuku seorang oma yang begitu cerewet tentang panjang kukunya. "Oma bilang harus sependek mungkin, tapi aku sudah potong sampai kulitnya hampir terlihat," cerita Dea sambil tertawa kecil. "Saat itu, aku benar-benar belajar bersabar. Aku bilang pelan-pelan ke oma kalau kukunya sudah cukup pendek, dan puji Tuhan, oma akhirnya nurut."
Di sudut lain, Kezia Olivia Melani (21), mahasiswi semester 5 dari kampus yang sama, mengalami momen yang begitu membekas. "Saat seorang oma menggenggam tanganku dengan penuh kasih dan mulai bercerita tentang hidupnya, aku benar-benar tersentuh," ungkapnya. "Aku ingin berbagi kebahagiaan dan memberi perhatian kepada mereka, karena aku tahu, sekecil apa pun perhatian kita, itu sangat berarti bagi mereka."
Di usianya yang masih 17 tahun, Elin adalah anak asuh Tzu Chi yang aktif mengikuti berbagai kegiatan komunitas Hu Ai Pluit Mas. Hari itu, ia, Kezia, dan Dea turut serta dalam kunjungan kasih bersama para relawan dan calon Tzu Ching, berbagi kebahagiaan dengan para opa dan oma yang menetap di panti werdha. Bagi mereka, kehidupan adalah perjalanan pembelajaran. Bukan hanya dari buku, tetapi juga dari pengalaman nyata.
Tatapan hangat Dea Efani (18) yang tulus saat mendengarkan curhat oma di depan kamarnya membuat oma merasa dihargai, didengar, dan tidak sendiri.
Melihat para opa dan oma yang menjalani hari-hari mereka dengan ketabahan membuat Elin dan teman-temannya merenungi kembali arti keluarga. "Kegiatan ini mengubah cara pandangku untuk selalu bersyukur atas apa yang sudah diberi oleh Tuhan," ucap Elin tulus. "Aku belajar bagaimana bersyukur, memberi semangat kepada orang yang sudah patah semangat, dan menebarkan cinta kasih kepada orang lain,” tambahnya.
Dea pun merasakan hal yang sama. "Dulu aku belum terlalu memahami bagaimana perasaan orang tua atau opa oma lainnya," akunya. "Tapi setelah ikut kegiatan ini, aku sadar betapa pentingnya menghormati, mendukung, dan mencintai mereka. Di usia itu, mereka sangat membutuhkan kehadiran anak-anaknya sebagai tempat bercerita dan mengadu."
Bagi Kezia, pengalaman ini membuka matanya tentang betapa besarnya kebutuhan opa dan oma akan perhatian. "Saya jadi lebih menghargai orang tua dan menyadari bahwa opa oma butuh perhatian lebih," tuturnya. "Saya merasa ada perubahan dalam diri saya setelah kunjungan ini. Sekarang, saya ingin lebih sering berinteraksi dengan opa oma, karena perhatian kecil bisa membuat mereka bahagia."
Dengan senyum tulus, Kezia Olivia Melani (21) menyajikan semangkuk bubur hangat untuk opa. Sorot matanya penuh kepedulian, menjadikan sarapan sederhana itu penuh kehangatan dan kasih yang menyentuh hati.
Sejak kehilangan ayah tercinta pada Desember 2023, Elin semakin memahami arti keluarga dan betapa berharganya setiap detik bersama orang-orang yang kita sayangi. Bagi Dea, yang tinggal jauh dari keluarganya, pengalaman ini mengingatkannya untuk lebih menghargai waktu bersama orang tua, walau hanya lewat video call.
Di akhir perbincangan, Dea menyampaikan harapannya agar kunjungan ke panti werdha lebih sering dilakukan. "Agar opa oma tidak merasa kesepian. Kehadiran kita bisa menghibur mereka, membuat mereka merasa lebih dihargai," ujarnya.
Kezia pun berharap semakin banyak anak muda yang ikut serta. "Semoga kegiatan ini bisa dilakukan lebih sering, dan lebih banyak generasi muda yang peduli terhadap opa oma," katanya. "Jika ada kesempatan untuk mengorganisasi kunjungan seperti ini, saya ingin menambahkan lebih banyak aktivitas seru agar opa oma merasa lebih terhibur." Ia juga menitipkan pesan kepada generasi muda, termasuk untuk dirinya sendiri. "Luangkan waktu untuk mereka, karena perhatian kecil bisa membuat mereka bahagia," pesannya.
Sementara itu, Dea menambahkan, "Kita harus lebih menghargai orang tua kita. Jangan pernah membiarkan mereka kesepian atau sedih karena kita," tegasnya. "Sebisa mungkin, kalau orang tua kita sudah lansia, jangan menitipkan mereka ke panti jompo. Rawatlah mereka sendiri, selama kita masih mampu."
Hari itu, Elin, Dea, dan Kezia tidak hanya memberi, tetapi juga menerima sesuatu yang jauh lebih berharga. Sebuah pelajaran hidup tentang kasih yang tak mengenal batas usia.
Editor: Arimami Suryo A.