Viona Angelia, relawan Tzu Chi di wilayah Serang, Banten berkesempatan menemani Siti Komarian menjalani terapi untuk berjalan. Mereka tertawa bersama mengingat berbagai cerita.
Suara tawa menggema di satu ruangan terapi Orthocare, Pantai Indah Kapuk. Di dalam ruang terapi untuk berjalan itu, ada Siti Komariah, Mukti, dua orang terapis, Viona (relawan Tzu Chi), serta Rina (staf bakti amal Tzu Chi). Mereka banyak berbagi kisah perkembangan Siti yang sedang menjalani terapi berjalan.
Hari itu, raut wajah Siti juga terlihat sangat segar. Senyumnya terus terpancar. Rasanya ia seperti sedang pamer kepada relawan tentang bagaimana kakinya kini sudah terasa kembali genap dan lengkap, kembali menjadi dua walalupun salah satu sisinya adalah kaki prostetik atau kaki palsu.
Dengan sumringah, kaki itu diayunnya bergantian dan perlahan. Kanan, kiri, kanan, kiri. Geraknya tetap mengikuti panduan dari Agus, terapis yang mendampinginya, sementara tangan Siti tetap berpegangan erat pada bar parallel di kanan kirinya sebagai tumpuan.
“Wah.. untuk pasien yang seusia Bu Siti, ini sudah termasuk cepat sekali perkembangannya. Kami baru bertemu empat kali dalam dua minggu ini, tapi Bu Siti terus menunjukkan perkembangan yang bagus karena beliau sangat mendengarkan instruksi. Semangatnya juga nggak kalah sama yang muda,” kata Agus, ikut berbinar.
Usia Siti memang tak lagi muda, 56 tahun saat ini, tapi betul seperti yang dikatakan Agus, semangatnya sama bahkan melebihi mereka yang muda. Karena keseriusannya, kini Siti sudah bisa praktik berjalan perlahan menggunakan kaki prostetik dan praktik menaiki tangga dengan bantuan tongkat. Agus memperkirakan kemungkinan dalam waktu satu atau dua bulan terapi, Siti sudah bisa mandiri untuk berjalan dengan kaki palsu. Mendengar hal itu, hati Siti tentu sangat berbunga-bunga.
Siti Komariah menjalani terapi berjalan usai kaki sebelah kanannya diamputasi satu tahun lalu. Dalam terapi ini, ia berlatih berjalan dan menyeimbangkan tubuh dengan kaki palsu.
Ikhlas Menerima Jalan Hidup
Untuk golongan orang pasca-amputasi, Siti menjalani semua ini seperti tidak punya masalah yang besar. Tapi kebalikannya, keluarga besarnya lah yang merasa berat, juga sempat tak ikhlas.
Satu tahun lalu, peristiwa yang menyesakkan hati seluruh keluarga itu terjadi. Senin, 3 Oktober 2022, Siti menerima jalan hidup dimana ia diharuskan untuk mengamputasi kaki kanannya. Ia tidak berpikir panjang dan langsung mengiyakan semua kata dokter. “Saat itu ibu sudah ngerasa sakiiiiiiiiiittttt banget,” kata Siti seraya mengelus dadanya.
Penyakitnya itu berawal dari penyumbatan pembuluh darah yang akhirnya menyebabkan serangan jantung. Pascaserangan jantung itu, pembuluh darah di kaki kanannya pecah. Tak sampai dua minggu, saraf di kaki rusak dan kakinya menghitam hingga atas lutut. Makanya dokter menyarankan untuk melakukan tindakan amputasi, karena apabila tidak, nyawa Siti yang justru akan terancam.
Amputasi itu sempat tertunda karena keluarga tidak menyetujui tindakan medis ini. Ada yang ingin membawa Siti ke ‘orang pintar’ (paranormal), ada pula yang ingin menyembuhkannya dengan cara tradisional dan pengobatan alternatif. Tapi Siti berkeras, “Sudahlah A (Kak), ikhlasin ya.. Siti teh pengen sehat.” Itulah kata-kata Siti kepada kakaknya yang awalnya tak ingin kaki Siti dipotong. Bukan cuma kakaknya, Mukti suaminya dan semua anaknya pun sangat berat. “Si bapak mah baru keluar ruangan dokter juga langsung nangis,” ingat Siti tertawa. Namun sikap Siti betul-betul lepas dan seperti tak punya beban, ia merelakan satu kakinya demi bisa hidup sehat kembali.
Kewalahan Membeli Popok
Titik terberat setelah amputasinya adalah proses penyembuhan luka, dimana Siti perlu obat (yang sebagian tidak ditanggung BPJS), juga banyak perban balut luka, dan popok dewasa (diapers). Saat itulah keluarganya saling dukung untuk memenuhi kebutuhan itu. Tapi akhirnya anak-anak Siti merasa kewalahan karena dalam sehari, ibu enam anak itu bisa memakai 4 hingga 5 lembar popok dewasa, yang mana satu pack popok (berisi 10 lembar) dihargai sekitar 65 – 70 ribu rupiah. Tanggungan keluarga menjadi lebih berat padahal pendapatan mereka tak pernah lebih tinggi.
Kehadiran Viona memberikan dukungan mental untuk Siti sehingga selama dua jam melakukan terapi, wajahnya selalu cerah dan ceria. Siti pun seakan pamer bahwa dirinya sudah bisa kembali menapak dengan dua kaki.
“Saya dulu waktu masih ada kaki, bantu cuci gosok, bantu masak, kuli ngasuh ngerawat anak orang. Biasanya sehari-hari juga jualan keripik. Lumayan ada pemasukan, jadi apa aja dipegang asal halal, buat bantu-bantu,” kenang Siti. “Sampai umur segini juga tetap aja harus cari uang, masa mau minta uang anak aja? Emang anak kasih, cuma kita kan nggak bisa bergantung terus sama anak. Mereka juga punya kebutuhan karena masing-masing sudah berkeluarga,” lanjutnya.
Kini ketika kakinya hanya tinggal satu, Siti belum bisa lagi mencari tambahan. Sementara sejauh ini Mukti bekerja sebagai buruh bangunan dan serabutan lainnya. Apabila uang gaji Mukti turun, yang diutamakan adalah belanja popok untuk Siti. Beruntung anak-anak Siti pun tidak perhitungan dan sedikit-sedikit bergantian membantu mencukupi kebutuhan orang tuanya. Pernah anak Siti yang tinggal di Bogor mengirimkan sebuah paket besar sekali, yang mana ternyata berisi popok isi 30 lembar. Bukan main Siti sangat senang sekali. “Memang baru inilah, dipaketin popok isi 30 lembar itu senang sekali.. sumpah Neng,” tutur Siti tertawa mengingatnya.
Siti menjelaskan bahwa popok itu bisa habis banyak karena ia meminum obat penguras air kencing. Kata dokter, obat itu berguna untuk menguras zat-zat berbahaya di dalam tubuhnya. “Makanya buang air kecil itu sering sekali. Kewalahanlah akhirnya untuk popok.”
Mimpi Punya Kaki Palsu
Dalam masa kewalahan itu, Rani, anak ketiga Siti yang bekerja menjadi SPG salah satu produk bangunan bertemu dengan Viona, pemilik supermarket bahan bangunan yang juga adalah relawan Tzu Chi di wilayah Serang, Banten. Rani lalu berinisiatif untuk meminta bantuan berupa popok untuk mamanya. Tak butuh waktu lama, relawan di Serang langsung mengunjungi dan melihat keadaan Siti. Bantuan awal bagi Siti adalah berupa 6 pack popok dewasa (kini sudah berkurang menjadi 4 pack). Tak lama, relawan memberikan bantuan lanjutan berupa toilet duduk portable untuk memudahkan Siti buang air besar.
Viona dan para terapis memuji pencapaian Siti yang sudah empat kali melakukan terapi di Orthocare, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Pada satu kesempatan kunjungan kasih lainnya, Viona sempat bertanya, “Bu Siti, Ibu punya impian apa?” Lalu dengan nada malu dan suara yang lirih Siti menjawab, “Pengen punya kaki palsu, Bu.” Viona belum mengiyakan, tapi juga tidak memberikan penolakan. Ia tahu pasti bahwa impian terbesar mereka yang punya keterbatasan di kaki pasca-amputasi adalah punya kaki kembali. Makanya Viona lebih dulu mengusahakan yang terbaik untuk Siti.
Siti bercerita, setiap kesempatan terapi di rumah sakit tempatnya diamputasi, Siti selalu ditawari kaki palsu. “Mau pakai kaki palsu nggak, Bu?”, “Ibu nggak mau coba pakai kaki palsu aja, Bu?”, “Kalau mau pakai kaki palsu, nanti kami bantu pertemukan dengan vendornya, Bu.” Ingin memang, tapi harga yang tinggi membuat Siti bergidik. Ada yang 28 juta, 35 juta, terakhir ia ditawari yang harganya lumayan terjangkau, 6 juta. “Saya ditawarin beli mulu, nggak ada yang tawarin dibeliin gitu,” candanya pada pihak rumah sakit.
Viona yang mendengar cerita itu mengizinkannya mencoba harga yang paling murah sesuai keinginan Siti, siapa tahu cocok. Untuk mengepas, Siti bersama Rani anaknya pergi ke Depok. Lokasi itu sama sekali tidak dekat dari rumah mereka di Serang, tapi dengan semangat untuk bisa kembali berjalan, hari itu mereka pergi.
Setelah melakukan pengepasan, Rina (staf bakti amal Tzu Chi) yang menerima laporan, tidak merekomendasikan kaki palsu jenis selongsong karena mengingat usia Siti. Selain itu Rina juga memikirkan kenyamanan jangka panjang dalam penggunaan kaki palsu tersebut. “Saya carikan yang lebih bagus dan lebih nyaman untuk ibu, ya Bu…,” tutur Siti mengingat ucapan Rina kala itu.
Siti terharu, ucapannya yang awalnya hanya impian semata, ternyata diupayakan dengan sungguh-sungguh oleh relawan dan Yayasan Buddha Tzu Chi.
Menularkan Semangat
Tzu Chi kemudian mempercayakan penanganan pembuatan kaki prostetik dan terapi Siti di Orthocare, PIK, Jakarta Utara. Dan untuk itu semua, sementara waktu Siti pun harus berpisah dengan keluarganya di Serang dan tinggal di Rusun Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat sejak tanggal 13 September 2023. Di Rusun, hidup Siti dan Mukti ditanggung oleh Tzu Chi. Mereka mendapatkan tempat tinggal yang nyaman serta disediakan makan siang dan makan malam. Transport untuk terapi pun ditanggung bersama Tzu Chi. Anak-anak Siti yang sempat menjenguk Siti pada hari libur (28/9/23) pekan lalu juga terkesan dengan berbagai hal yang Siti terima.
“Bantuan ini bisa terlaksana karena memang kami melihat semangatnya Bu Siti. Sejak awal pun saya sudah ngomong bahwa memang kalau orang nggak punya kaki, keinginan terbesarnya ya pasti pengen kaki (kaki palsu). Tapi pas ngejalaninnya prosesnya itu nggak semua orang bisa. Bukan karena masalah uangnya, cuma pas masangnya, terapinya, menjalankannya, konsistensinya, sulit,” tutur Viona. “Kadang-kadang kulit itu sampai melepuh hingga akhirnya menyerah. Banyak yang begitu. Tapi saya lihat Bu Siti ini semangatnya teguh, tekadnya kuat,” lanjutnya.
Tak ingin terbatas dalam keseharian, Siti juga melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga untuk meringankan beban Mukti, suaminya.
Memang betul, pertama kali Siti melakukan terapi penggunaan kaki palsu itu sakitnya luar biasa. Katanya kulit kakinya seperti ditusuk-tusuk. Tapi bukan menyerah, Siti malah makin semangat untuk cepat bisa beradaptasi. Kini setelah empat kali melakukan terapi, rasa sakit itu hilang, kulitnya sudah mulai menyesuaikan dan ia bisa tenang melakukan terapi.
Melihat Siti yang selalu optimis dan semangat, Viona pun tertular semangat. Hari Senin (2/10/23), pagi-pagi dari Serang ia berangkat ke PIK untuk melihat Siti melakukan terapi. “Wah.. Bu Siti yang cuma punya satu kaki aja bisa, nah saya yang masih ada dua kaki pasti juga bisa,” katanya termotivasi.
Selain semangat, Viona juga salut pada kepribadian Siti yang legowo juga periang. Siti sendiri ternyata pernah mengunjungi pasien penerima bantuan Tzu Chi lainnya yang juga mengalami kasus amputasi (karena diabetes). “Bu Siti sama Rani boncengan motor gitu, bawa-bawa tongkat, datang ke rumah pasien berdua. Di sana mereka menyemangati pasien yang sedang drop kondisinya. Katanya, ‘sabar ya Teh, saya juga diamputasi. Awalnya gini-gini….,’ Dia kasih semangat, dia kasih contoh, dia kasih tahu proses ke depannya akan bagaimana. Dia hebat dan saya nggak nyangka. Dia betul-betul samperin rumahnya karena kebetulan beda desa,” terang Viona.
Siti tersipu mendengar pujian dari Viona. Namun niatnya kala itu adalah untuk berbagi semangat bahwa boleh sedih tapi seperlunya saja. Kata Siti, hidup masih panjang dan perlu dijalani, siapa tahu ada rezeki ke depan yang lebih baik.
“Saya sama dia kan sama, senasib. Karena waktu itu dia juga lagi nangis terus, sedih gitu…, saya kasih lihat saja, saya juga kaki tinggal satu, nggak usah sedih.. masih ada satu lagi,” papar Siti. “Ibu mah jangankan sama yang diamputasi, lihat anak depan rumah yang jatoh, patah kaki, ibuk juga semangatin.., ‘Semangat-semangat, ibu aja udah tua semangat. Kamu lagi masih muda. Ayuk semangat, ke depan masih ada rezeki gede’,” lanjut Siti antusias bercerita.
Terima Kasih Kepada Semua yang Sayang
Siti berkata, perjalanan panjang ini memang sungguh di luar perkiraannya karena sudah bisa bertahan dalam setahun perjuangannya, ia juga dipertemukan dengan orang-orang yang baik. Makanya ia tidak mau perjalanan itu juga menjadi sia-sia sehingga di “kehidupan keduanya” ini, ia ingin terus berbagi manfaat dan semangat untuk keluarga dan kerabat.
Siti dan Mukti melakukan video call dengan anaknya di Serang untuk mengabari perkembangan terapinya. Saat ini Siti dan Mukti untuk sementara tinggal di Rusun Cinta Kasih Cengkareng demi menunjang lancarnya pengobatan dan terapi.
“Sebenarnya pengennya cuma sederhana, mau bisa kumpul keluarga lagi, Neng. Bisa arisan keluarga, bisa antar cucu ke warung, bisa nyapu lagi karena susah itu Neng. Selama ini bapak (suami) yang nyapu…., Hahaha..,” kata Siti merasa tak enak hati pada Mukti.
“Buat bapak juga terima kasih sudah setia, baik karena ngurus ibu tuh bener-bener, Neng. Nggak ada suami yang seperti ini. Bapak itu dari ganti popok, ngelap ibu, BAB di situ, semua bapak yang urus. Banyak dosa ibu rasanya ke bapak. Belum lagi kalau bapak salah, ibu marah. Bapaknya diam aja. Ibu suka nggak terima. Ibu suka banyak mintanya. Tapi bapak terima, dia diam aja. Kalau suaminya bukan bapak, mungkin udah ditinggalin kali. Kalau bapak, apa-apa nolongin, betul-betul terima kasih buat bapak,” lanjutnya terisak.
Siti juga tak lupa mengungkapkan semua rasa terima kasihnya pada Tzu Chi, baik relawan, donatur, hingga semua orang yang menjadi jembatan serta penghubung jalinan jodoh ini. Tak ada yang bisa ia berikan kembali sebagai balasan, tapi ia bertekkad bahwa apa yang diberikan oleh Tzu Chi akan ia rawat dan ia gunakan dengan sebaik-baiknya.
“Makasih banyak buat Yayasan Buddha Tzu Chi, relawan Buddha Tzu Chi, berikut semuanya yang terkait di dalamnya. Makasih banyak ya Allah, makasih banyak.., makasih banyak.., tak terhingga,” ungkapnya.
Editor: Hadi Pranoto