Kamar Bertumpuk “Emas”

Jurnalis : Sutar Soemithra , Fotografer : Sutar Soemithra
 
foto

* Kamar Chia Chiang Hui yang berukuran sekitar 2 x 3 meter dipenuhi oleh sampah daur ulang. Sampah tersebut ia sumbangkan pada Tzu Chi untuk menolong orang lain yang membutuhkan.

“Beginilah kamar saya. Kecil,” ucap Chin Chiang Hui (66) kepada kami dengan tawa lepas dan sedikit rasa sungkan karena kamarnya berantakan. Lie Fie Lan, relawan Tzu Chi langsung menyahut, “Kecil tapi isinya ‘emas’ semua.” Bukan karena kamarnya berantakan Chiang Hui merasa sungkan, namun lebih dari itu. Kamarnya yang berukuran sekitar 2 x 3 meter berlantai kayu yang berada di lantai dua tersebut penuh dengan barang daur ulang! Hampir tidak ada space kosong, semuanya tertutup oleh barang daur ulang. Untungnya, barang-barang daur ulang yang terdiri dari kertas, karton, botol air minum kemasan, kaleng minum aluminium, hingga barang pecah belah tersebut kebanyakan telah dikemas rapi dalam kantong plastik ukuran besar atau karton kardus.

Baru sekitar seminggu lalu relawan Tzu Chi mengambil sampah-sampah daur ulang tersebut dari rumahnya, namun kini telah bertumpuk kembali. Bahkan Kamis pagi itu, 14 April 2009, relawan Tzu Chi harus membawa sebuah mobil boks besar untuk mengambil sampah-sampah daur ulang tersebut. Biasanya Fie Lan dan Ayen mengambilnya menggunakan mobil keluarga biasa. Alhasil, tidak semua sampah bisa mereka ambil. Dan hari itu mereka mengambil sampah daur ulang semuanya.

Awali Hari dengan Daur Ulang
Hari masih pagi buta, Chiang Hui biasanya telah meninggalkan rumahnya di Jalan Mangga Besar XIII, Jakarta Barat. “Saya kalo pagi-pagi mau berangkat kerja ataupun nggak kerja, ambil plastik dari gedung-gedung,” tutur Chiang Hui. Pukul 5 pagi atau setelatnya pukul 6, ia harus sudah sampai di tempat “pelanggannya”, jika terlambat ia hanya akan bisa gigit jari karena sampah-sampah tersebut keburu dibuang sang pemilik.

Kalo udah dapet sampah, dibawa ke tempat kerja,“ Chiang Hui melanjutkan ceritanya. Kadang itu membuatnya terlambat datang sampai di tempat kerjanya. Untunglah bosnya bisa memakluminya. Ia kerja harian di daerah Pasar Senen, Jakarta Pusat. Bermacam jenis kerjaan ia lakukan dari menanam pohon, instalasi rumah, listrik, air, hingga bangunan. “Dulu dia bisa kerja di kantor, sekarang udah tua orang nggak mau terima dia lagi,” kata Magdalena (86), ibunya, yang tinggal serumah dengannya. Apalagi sekarang pendengarannya juga sudah tidak baik, begitu juga dengan penglihatannya.

foto  foto

Ket : - Chiang Hui mengumpulkan sampah daur ulang ketika akan berangkat dan pulang kerja. Tanpa rasa gengsi
           ia menanyakan kepada beberapa orang apakah ada sampah daur ulang yang bisa ia ambil. (kiri)
         - Setiap malam Chiang Hui memilah dan merapikan sampah daur ulang yang ia kumpulkan hingga larut
           malam. Esok paginya ketika hari masih buta, ia pun telah kembali mengumpulkannya. (kanan)

Dalam sehari kadang dia beberapa kali bolak-balik mengantar sampah daur ulang ke rumah. Pulang dari tempat kerja, Chiang Hui kembali mencari sampah daur ulang. Sering ia pulang dengan membawa banyak sampah. “Kadang-kadang mak saya marah bawa sampah begitu berat. Soalnya banyak yang sumbang,” tutur Chiang Hui kali ini sambil tertawa. Magdalena juga sering mengomelinya karena kamarnya selalu berantakan oleh sampah daur ulang. “Mak saya ngomel, saya biarin aja,” ujarnya kembali tertawa. Kadang pukul 10 malam ia baru sampai rumah. Sampai di rumah bukannya langsung tidur, Chiang Hui kembali bergelut dengan sampah daur ulangnya. “Dia kalo pulang, karungnya atau botolnya dibersihin sampai jam satu, (bahkan) kadang-kadang nggak tidur. Pagi-pagi jam setengah enam sudah bangun, udah bangun cari botol,” jelas Magdalena. Begitu tiap hari Chiang Hui melewatkan harinya, termasuk pada hari libur. Apakah Chiang Hui capek? Dia menjawab, “Nggak capek. Sehat. Kalo tangan saya tidak bekerja, otak saya pusing.”

Magdalena sendiri di rumah hanya bisa tidur-tiduran atau sekadar membaca buku. Selain karena sudah tua, beberapa waktu lalu ia pernah terjatuh sehingga punggungnya sempat sakit sekian lama. Berkat perkenalan Chiang Hui dengan Fang Fang, Magdalena akhirnya bisa mendapat bantuan pengobatan dari Tzu Chi sekitar setahun lalu. “Dulu saya nggak bisa bangun, itu dokternya yang sembuhin saya,” kata Magdalena tentang dokter RSKB Tzu Chi yang menanganinya.

Sebenarnya Bisa Saja Dijual Sendiri
Sudah setahun lebih Chiang Hui mengumpulkan sampah daur ulang. “Kata Tzu Chi, sampah tuh bagus untuk daur ulang untuk membantu (sesama),” ia menirukan ucapan Fang Fang, relawan Tzu Chi yang mengenalkannya pada daur ulang. Fang Fang adalah temannya satu vihara namun kini telah beda vihara. Fang Fang yang mengetahui Chiang Hui suka membantu orang lain, menyarankannya mengumpulkan sampah daur ulang.

foto  foto

Ket : - Magdalena dulu pernah menderita sakit di punggungnya akibat terjatuh. Perkenalan Chiang Hui dengan
           relawan Tzu Chi membuatnya mendapat pertolongan bantuan pengobatan dari Tzu Chi. (kiri)
         - Chiang Hui mengoperkan sampah daur ulang dari jendela kepada relawan Tzu Chi. Kamarnya yang berada
           di lantai dua dipenuhi oleh sampah daur ulang. (kanan)

“Awalnya ambil sampah kucing-kucingan,” kenang Chiang Hui, “Kalo orang lihat, marah. Lama-lama masa bodolah.” Akhirnya ia memberanikan diri mendatangi langsung ke pemilik toko, dan ternyata respon yang ia dapat bagus. Kini malah bukan ia yang mencari, kadang justru ada yang mendatangi rumahnya untuk memberi sampah. Banyak orang yang sudah tahu bahwa daur ulang tersebut disumbangkan ke Tzu Chi untuk membantu orang-orang yang tidak mampu. Ia menerima semua sampah pemberian orang, walaupun sampahnya sudah sangat rusak. “Rezeki nggak boleh ditolak. Orang memberikan kita jelek, (tapi) dia senang. (Lain kali) dia bisa berikan yang lebih baik,” ucapnya bijak.

Chiang Hui juga tanpa merasa gengsi menanyakan apakah ada sampah daur ulang ke beberapa orang yang ia temui sampai-sampai ia dikira pemulung. Padahal di beberapa tempat pemulung tidak diizinkan masuk. Ia pun harus kembali kucing-kucingan dengan petugas keamanan. Ia memakai kantong warna hitam agar isinya tidak kelihatan.

Jika dijual, sebenarnya sampah daur ulang yang dikumpulkan Chiang Hui bisa untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ia bekerja serabutan dengan penghasilan yang tidak menentu, sedangkan istrinya juga setali tiga uang. Istrinya sering menjadi pembantu rumah tangga paruh waktu. Kedua anaknya yang telah berkeluarga telah berpisah darinya. Belum lagi ia juga masih harus menafkahi Magdalena yang telah sepuh. Banyak orang yang menyarankannya untuk menjual sampah-sampah daur ulang itu. “Tapi buat apa? Kalau kita nggak pakai sampah itu, ya lebih baik rezekinya kasih orang susah,” jawabnya yakin. Chiang Hui dan Magdalena malah merasa tidak patut mendapatkan uang dari hasil menjual sampah daur ulang karena sampah-sampah tersebut diberi oleh orang.

foto  foto

Ket : - Chiang Hui sebenarnya bisa mendapatkan uang yang lumayan apabila mau menjual sampah-sampah daur
           ulang tersebut. Namun ia lebih memilih menyumbangkannya melalui Tzu Chi. (kiri)
         - Tiap seminggu sekali relawan Tzu Chi ke rumah Chiang Hui untuk mengambil sampah daur ulang. Karena
           jumlahnya yang sudah banyak, relawan sampai harus menggunakan mobil boks besar untuk
           mengangkutnya. (kanan)

Chiang Hui tidak memungkiri kadang ia terpaksa menjual beberapa sampah tersebut jika terpepet karena tidak memiliki uang. “Kadang-kadang saya kekurangan, hari ini perlu duit, saya jual dus beberapa ikat,” akunya jujur. Itu pun hanya jika ia benar-benar terpepet. “Dana tuh dengan Tzu Chi lebih baik (untuk) membantu ke masyarakat,” tambahnya.

Relawan Tzu Chi juga pernah menganjurkannya untuk dijual saja. “Coba kamu jual nantinya dananya disumbangin ke Tzu Chi,” saran Ayen suatu ketika. “Kalo saya pegang uang, uangnya bisa kepakai,” jawab Chiang Hui polos. Akhirnya relawan Tzu Chi mengambil ke rumahnya tiap minggu. Bagi Ayen, Fie Lan, dan juga Ming Tjoe, baru kali ini mereka bertemu dengan donatur daur ulang seperti Chiang Hui yang menyumbang sampah daur ulang dalam jumlah besar dan rutin. “Berdana dengan uang kan nggak mungkin, yang bisa dia sumbang dengan daur ulang yang tanpa biaya,” kata Ayen mencoba menganalisa kenapa Chiang Hui mau melakukan itu.

 

Artikel Terkait

Menerapkan Budaya Humanis dalam Memasak

Menerapkan Budaya Humanis dalam Memasak

25 Mei 2012 Xie Guoxiang Shixiong adalah relawan konsumsi di Taiwan yang sudah selama hampir tiga bulan belakangan ini memberikan pelatihan kepada para relawan konsumsi Jakarta mengenai budaya makan Tzu Chi.
Dari Signature Club untuk Padang

Dari Signature Club untuk Padang

06 November 2009
Dari turnamen golf ini, ditambah  lelang lukisan dan membership South Link serta dari Signature Club sendiri, terkumpul sejumlah dana yang kesemuanya diserahkan kepada Tzu Chi untuk membantu para korban gempa di Padang.
Waisak Tzu Chi 2018: Kerja Sama Dalam Kemanusiaan

Waisak Tzu Chi 2018: Kerja Sama Dalam Kemanusiaan

14 Mei 2018
Sebanyak 106 umat Gereja St. Fransiskus Xaverius, Tanjung Priuk, mengikuti perayaan Tiga Hari Besar Tzu Chi: Hari Raya Waisak, Hari Ibu Internasional, dan Hari Tzu Chi Sedunia pada Minggu, 13 Mei 2018.
Kebahagiaan berasal dari kegembiraan yang dirasakan oleh hati, bukan dari kenikmatan yang dirasakan oleh jasmani.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -