Kamp 4 in 1: Terus Menciptakan Jalinan Jodoh Baik
Jurnalis : Yuliati, Metta Wulandari, Fotografer : Anand Yahya, Stephen Ang (He Qi Utara 2), Johnsen (He Qi Utara 2), Yusniaty (He Qi Utara 1),Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia mengadakan
kegiatan Kamp Pelatihan Relawan 4 in 1 pada 18 – 19 Agustus 2018 yang dihadiri
empat Shifu dari Griya Jing Si, Hualien,
Taiwan.
Dalam kehidupan, setiap manusia mengalami berbagai fase, lahir, tua, sakit, dan mati. Namun di luar itu, ada pula jalinan jodoh yang membuat proses hidup bisa berlangsung. De Ni Shifu menjelaskan bahwa proses kehidupan berlangsung melalui 12 jalinan jodoh. Mulai dari ketidaktahuan, bentuk-bentuk perbuatan, kesadaran, batin dan jasmani, enam indra, kesan-kesan, perasaan, keinginan, kemelekatan, proses kelahiran kembali, kelahiran kembali, dan penderitaan.
“Dalam kehidupan segala sesuatu mengalami perubahan, termasuk pikiran. Seringkali kita ikut mengalir tanpa memahami atau mempersiapkan diri kita. Di depan kita ada garis akhir, sebelum menginjak kehidupan berikutnya kita harus mempersiapkannya. Jangan hanya ikut saja, tapi harus mempersiapkan,” ungkap De Ni Shifu di depan peserta Kamp 4 in 1 Tzu Chi Indonesia, 19 Agustus 2018.
Untuk lebih jelas mendalami Sutra Makna Tanpa Batas, De Ni Shifu menceritakan sebuah kisah mengenai seorang Bhiksu bernama Wu Da. Kisah ini pernah diceritakan oleh Master Cheng Yen dalam Bab Pertobatan Air Samadhi.
De Ni Shifu
menjelaskan bahwa proses kehidupan berlangsung melalui 12 Jalinan jodoh.
Alkisah Biksu Zhi Xuan lahir pada tahun 809 di Zaman Dinasti Tang. Pada usia 11 tahun ia sudah meminta izin kepada kakeknya untuk menjadi seorang bhiksu. Satu kali ia menginap di sebuah kuil, di sana ada seorang biksu yang sedang sakit yang susah sekali disembuhkan. Berkat Ketekunan dan kepiawaiannya, Biksu Zhi Xuan berhasil menyembuhkan sang biksu. Berita baik itu tersiar ke mana-mana dan akhirnya membuatnya sangat terkenal sehingga pada tahun 871 Biksu Zhi Xuan diangkat oleh Raja Tang Yi Zong menjadi penasihat dan diberi nama “Wu Da”.
Raja memberikan hadiah kepada Biksu Wu Da sebuah kursi pembabaran Dharma yang terbuat dari kayu gaharu. Hal tersebut membangkitkan keangkuhan Wu Da hingga pintu karma terbuka. Saat berjalan ke kursi tanpa sengaja lututnya terbentur dan menimbulkan luka. Anehnya, lambat laun luka kakinya menimbulkan borok berwajah manusia.
Biksu Wu Da sudah berobat ke berbagai tempat, tetapi lukanya tidak sembuh juga. Akhirnya ia teringat beberapa waktu sebelumnya, beliau pernah menolong seorang biksu yang sakit dan ia berpesan untuk mencarinya apabila menemui masalah.
Setiap relawan dengan sepenuh hati mencatat
materi yang mereka terima dalam Kamp Pelatihan Relawan 4 in 1 ini.
Lalu beliau mencari biksu tersebut ke gunung Jiu Long. Biksu itu menyarankannya pergi ke belakang gunung untuk membilas luka tersebut dengan air di sana. Ternyata wajah dalam borok tersebut adalah wajah seorang teman di masa lalu Biksu Wu Da yang ingin menuntut balas dendam. Pada 10 kelahiran di masa lalu, Yuan Ang (Bhiksu Wu Da pada kehidupan masa lampau) telah membunuh Cao Chuo, akibatnya sang borok datang untuk membalas dendam. Mendengar cerita ini, Biksu Wu Da sangat sedih dan bertobat mengakui sungguh-sungguh semua kesalahannya. Akhirnya Chao Cuo mengampuni Biksu Wu Da dan luka itu sembuh.
Kisah ini menjelaskan bahwa karena sedikit keangkuhan timbul, pintu karma buruk kembali terbuka. “Oleh sebab itu, karena kita tidak tahu karma apa di masa lalu, kita harus menciptakan kondisi yang baik sehingga bisa mengurangi akibat dari karma buruk kita. Kehidupan kita terbentuk dari berbagai rantai, untuk bisa mengubah nasib menjadi baik dan perjalanan hidup menjadi lancar, maka kita harus menciptakan karma baik,” jelas De Ni Shifu. Begitulah Bodhisatwa dunia yang harus bisa menciptakan jalinan jodoh baik di manapun berada serta menjadikan Dharma sebagai landasan dalam kehidupan.
Selain Sutra Makna Tanpa Batas, sharing Dharma Sutra Teratai juga disampaikan relawan asal Taiwan, Cheng Hao. Di hadapan 515 relawan Tzu Chi Indonesia, Cheng Hao memaparkan Sutra Teratai hingga bab ke delapan melalui kisah-kisah di dalamnya. Dalam salah satu bab yang dijelaskan, Cheng Hao menguraikan bagaimana menggenggam bibit. Bibit yang ditanam bisa tumbuh menjadi pohon besar begitu pula ada bibit yang tumbuh menjadi bunga-bunga kecil, rumput kecil. “Kita pilih yang mana? Bunga kecil juga akan tumbuh namun jika ada badai tidak ada tempat untuk berlindung, tapi jika pohon besar, lebat bisa melindungi orang yang berlindung di bawahnya,” ujar Cheng Hao dalam sharingnya. Tentu menjadi pohon besar atau rumput kecil semua menjadi pilihan masing-masing setiap orang. “Master ingin kita menjadi pohon besar agar bisa melindungi orang lain,” ucapnya.
Sharing
Dharma Sutra Teratai juga disampaikan relawan asal
Taiwan, Cheng Hao.
Menjadi orang layaknya pohon besar yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain, tentu setiap insan perlu meningkatkan kualitas diri, salah satunya dengan mendalami Dharma. Cheng Hao pun mengajak relawan Tzu Chi Indonesia yang hadir dalam kamp 4 in 1 untuk bersama-sama mendalaminya, mendengarkan Dharma dengan sepenuh hati, menggenggam setiap kesempatan. “Hari ini bibit yang kita tanam berisi dan padat, setiap bibit padat yang keluar akan sehat, kalau bibitnya kurang padat yang keluar akan lemah. Setiap orang yang mewariskan Dharma mesti mendalami Dharma barulah bibit kuat dan berisi,” ungkap Cheng Hao.
Perbedaan bahasa memang menjadi kendala dalam memahami Dharma Master Cheng Yen terutama bagi relawan lokal, Cheng Hao pun menyadari hal ini. Ia berharap relawan Tzu Chi yang mengerti dua bahasa agar bisa menjadi jembatan bagi relawan yang hanya memahami bahasa Indonesia. “Harus memperkuat jembatan ini agar lebih kokoh, kita harus berirkar untuk dapat benar-benar memahami Dharma Master setelah itu dengan bahasa Indonesia berbagi Dharma Master, mewakili Master membabarkan Dharma di Indonesia, ini sangat penting,” ujar Cheng Hao. Dengan demikian semua insan Tzu Chi di Indonesia bersama-sama menyelami Dharma agar bisa menjadi pohon yang besar nan lebat.
Dharma Telah Mengubah Jalan
Sebanyak 515 relawan Tzu Chi Indonesia mengikuti
kegiatan pelatihan yang digelar di Aula Jing Si, Tzu Chi Center PIK, Jakarta
Utara.
Herinda Wijaya Oeij menjadi satu dari ratusan relawan yang mengikuti kegiatan kamp 4 in 1 tahun 2018 ini. Ia pun membawa semangat pendalaman Dharma Master Cheng Yen. “Di kamp 4 in 1 ini saya belajar banyak hal dari Shifu dan pembicara lainnya,” ujarnya. Pendalaman Dharma yang dilakukan Herinda tidak hanya ketika Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia mengadakan kegiatan semacam ini, namun dirinya juga menyelami Dharma bersama relawan di komunitas dengan mengikuti Xun Fa Xiang dan bedah buku.
“Di Xun Fa Xiang juga sering membahas Sutra Teratai bersama relawan lain seperti Puspawati Shijie, Atiam Shixiong. Kalau di bedah buku juga ada bahas tentang Sutra Makna Tanpa Batas,” ucap Herinda. Baginya Sutra Makna Tanpa Batas merupakan Dharma yang mendalam dan luas. “Dari satu menjadi banyak, banyak kembali dari satu artinya kita tidak boleh memandang rendah diri kita, satu bisa menjadi banyak, jadi nggak boleh dianggap sepele,” lanjutnya.
Seringnya mendengarkan Dharma Master Cheng Yen dan pedalaman Dharma bersama relawan Tzu Chi lainnya ternyata telah mengubah jalan Herinda. “Saya merasa ada banyak perubahan drastis dalam diri saya,” akunya. Kehidupan sosialitasnya pun berubah menjadi lebih sederhana. “Dulu saya hanya bisa bersenang-senang dengan teman-teman. Makan di restauran lalu dipotret untuk diupload, ada restoran buka baru pasti didatengin. Sering beli baju-baju baru karena selalu setiap kumpul bersama teman difoto untuk upload di media sosial,” kenang Herinda. “Tapi sekarang sudah saya tinggalkan kehidupan seperti itu,” ucapnya mantap.
Tidak hanya bisa mengerem keinginan untuk membeli barang-barang dan bersenang-senang, tapi Herinda juga mulai bisa membuka hati memaafkan orang lain. “Terutama untuk adik ipar saya,” ujar Herinda. Ia pun menceritakan hubungannya dengan adik iparnya yang semula harmonis telah berubah menjadi kebencian.
“Setelah menikah dengan adik saya kehidupan mereka benar-benar dimulai dari nol. Adik saya yang memiliki jiwa bisnis lantas berdagang, suatu hari suaminya terkena penyakit jantung dan harus menjalani operasi. Tentu setelah operasi adik ipar saya hanya beristirahat untuk memulihkan kesehatan. Berbeda dengan adik saya yang harus banting tulang kerja siang malam tanpa mengenal waktu. Tak disangka adik saya terkena penyakit dan akhirnya meninggal. Belum genap satu tahun, adik ipar saya menikah lagi, semua dijual termasuk rumah,” cerita Herinda, “Hasil kerja keras adik dipakai suaminya untuk hidup dengan wanita lain, makanya semua keluarga kesal sama adik ipar.”
Herinda (kanan) juga menyelami Dharma bersama
relawan di komunitas dengan mengikuti Xun
Fa Xiang dan bedah buku.
Selama tiga tahun Herinda dan keluarganya putus hubungan dengan adik iparnya karena diselimuti kebencian. Namun kebenciannya berubah menjadi cinta kasih, ia pun bisa membuang kekesalannya. “Sejak mendengar ceramah Master Cheng Yen yang mengatakan tentang hutang karma, dari situ saya menyadari mungkin adik saya punya hutang karma sama suaminya, saya pun mulai bisa menerimanya,” ujar relawan yang berjodoh dengan Tzu Chi sejak 2014 ini. “Demi adik, saya panggil adik ipar saya lagi, hubungan pun nyambung kembali. Saya sudah bisa maafkan adik ipar, walaupun saya sempat dibilang sebagai penghianat sama keluarga,” sambungnya tersenyum.
Pelan-pelan Herinda berusaha menyadarkan orang tuanya yang belum bisa memaafkan adik iparnya sembari terus mendalami Dharma Master Cheng Yen bersama Tzu Chi. Melihat banyak perubahan positif yang dialami relawan calon komite ini pun mendapatkan dukungan dari keluarga. “Suami saya, anak-anak saya semua mendukung. Bahkan anak saya yang ketiga juga turut masuk ke dalam barisan Tzu Chi menjadi relawan Abu Putih, tapi memang karena kerjaan ia tidak terlalu aktif dalam kegiatan,” tutur Herinda.
Herinda juga aktif di misi amal seperti melakukan kunjungan kasih, survei kasus, dan kegiatan amal lainnya. Tahun 2018 ini Herinda akan dilantik menjadi relawan Komite Tzu Chi. “Memang saya mengejar menjadi relawan komite, tapi saya tidak kejar kedudukan. Saya hanya mengejar (langkah) Master Cheng Yen karena saya ingin benar-benar menjadi murid master seutuhnya,” ungkapnya.
Ia pun sudah mulai bervegetaris lebih dari setengah tahun. Niat untuk bervegetaris muncul ketika mendengar sharing yang dibawakan oleh relawan Tzu Chi, Shelly. “Ia bilang kalau suara Master Cheng Yen itu seperti semut di Gunung Semeru. Sedih rasanya dengar begitu, saya bertekad biar pun “semut kecil” saya mau dengar,” jelas Herinda.
Artikel Terkait
Kamp 4 in 1 2018: Membekali Diri dengan Dharma
20 Agustus 2018Kamp 4 in 1: Inspirasi dari Taiwan dan Malaysia yang Membuka Kebijaksanaan
30 September 2024Kamp 4 in 1 kali ini menghadirkan pembicara dari Taiwan dan Malaysia. Yang Guan Xin dan Chen Su Xiang, relawan dari Taichung membawakan topik "4 in 1” dan awal terbentuknya sistem 4 in 1.