Banyak sejarah yang telah diukir Tzu Chi Indonesia, sumbangsih dan kontribusi insan Tzu Chi bagi insan Tzu Chi Indonesia sendiri dan masyarakat. Demikian juga, misi amal yang telah dijalankan Tzu Chi Indonesia.
Usia 30 tahun Tzu Chi Indonesia adalah suatu perjalanan waktu yang sangat panjang. Tentunya banyak sejarah yang telah diukir Tzu Chi Indonesia, melalui sumbangsih dan kontribusi insan Tzu Chi Indonesia dan masyarakat. Demikian juga, misi amal yang telah dijalankan Tzu Chi Indonesia.
Misi amal merupakan akar dari Tzu Chi. Langkah pertama Tzu Chi di Indonesia diawali melalui misi amal. Misi amal Tzu Chi Indonesia bermula dari istri pengusaha Taiwan yang bernama Liang Cheung mengajak beberapa temannya, di antaranya terdapat Liu Su Mei, yang awalnya menjadi donator Tzu Chi Indonesia, hingga akhirnya menjadi relawan dan menjadi Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia sampai hari ini.
Selain itu, juga terdapat Chia Wen Yu, yang juga merupakan komite angkatan pertama Indonesia yang menjalankan misi amal. Mereka semua inilah telah menjadi The Founding Fathers berdirinya Tzu Chi di Indonesia. Sejak itu, misi pertama dimulai, yaitu misi amal dengan Ketua Fungsional Misi Amal pertama di Tzu Chi Indonesia adalah Alm.Virginia Kusuma (Suang Ing), yang mana beliau juga merupakan salah satu pelopor berdirinya TIMA Indonesia.
Jong Pit Lu (belakang, tengah) sangat bersyukur, sejak 1998 bergabung di Tzu Chi telah berjodoh dengan insan Tzu Chi senior dan mengajaknya untuk menangani kasus.
Dalam Pelatihan 4 in 1 yang diadakan di Aula Jing Si, PIK, Jakarta Utara pada 16-17 September 2023, materi pertama yang dipaparkan adalah perjalanan misi amal Tzu Chi Indonesia melalui tema Mewariskan Keteladanan dan Membina Insan Berbaakat yang ditampilkan dalam bentuk talkshow. Salah satu narasumber yang hadir adalah Jong Pit Lu. Jong Pit Lu sangat bersyukur dapat menjadi bagian dari misi amal Tzu Chi. Dalam sesi sharing ini, Lulu, panggilan akrabnya, menjelaskan misi amal harus diwariskan agar semua insan Tzu Chi dapat merasakan suatu kebahagiaan dan bersyukur atas kehidupannya saat ini.
“Apa yang kita pelajari tentang misi amal adalah kita dapatkan dari para senior sebelumnya. Mereka adalah suri teladan bagi kita semua. Semangat mereka menjadi suatu panutan bagi saya. Bagaimana kita mewariskan semangat mereka kepada insan Tzu Chi lainnya,” kata Jong Pit Lu yang bersyukur pada para senior yang telah mendampinginya di awal mengemban tugas misi amal.
Dengan hati Bodhisattva yang terus mendengar suara hati atau penderitaan. Di mana ada penderitaan, di sanalah muncul Boddhisattva. “Insan Tzu Chi dapat meringankan penderitaan orang lain dan memberikan kebahagiaan. Dalam pendampingan Tzu Chi, mereka (penerima bantuan Tzu Chi) dapat menjadi penyemangat untuk membantu orang lain,” pungkas Jong Pit Lu, bahwa Tzu Chi adalah tempat belajar, tempat pelatihan diri, apa yang kita pelajari maka kita dapat mempraktikkannya.
“Kita melihat penderitaan, kita melihat ketidak kekalan sehingga kita dapat menggenggam waktu kita ke kehidupan kita yang lebih baik,” jelas Lulu. Ia sangat bersyukur, sejak 1998 bergabung di Tzu Chi, telah berjodoh dengan insan Tzu Chi senior dan mengajaknya untuk menangani kasus. “Dengan menumbuhnya rasa syukur maka hidup kita akan menjadi bahagia. Dalam menangani kasus ini, kita masuk ke kehidupan orang lain. Begitu sebaliknya, mereka juga masuk ke kehidupan kita. Mereka menjadi bagian dari hidup kita. Kita juga menjadi bagian dari kehidupan mereka,” pungkasnya.
Dengan menjadi bagian dari misi amal, layaknya seperti melihat harapan. “Dapat merubah nasib orang lain. Mereka dapat hidup bahagia, dan menjadi kebahagiaan kita. Apa yang kita jalankan di misi amal adalah pembelajaran bagi kita. Kita belajar bagaimana membantu mereka dengan tuntas. Kita berusaha mewujudkan impian mereka,” sambung Lulu yang berkeinginan menjadi silent mentor bila Tzu Chi University Indonesia berdiri.
Semangat Menjalankan Misi Amal Tzu Chi
Perjalanan 16 tahun di misi amal, Lie San Ing memperoleh banyak hal baru, bukan berupa materi, tetapi suatu kebahagiaan yang sulit dilukiskan dalam kata-kata.
Dengan memegang prinsip “Ada tekad ada kekuatan” Lie San Ing (71) telah menjadi bagian dari barisan Tzu Chi selama 19 tahun. “Tanggung jawab kepada para penerima bantuan (gan en hu) kalau tidak cepat ditangani, saya kasian melihat mereka. Selain itu, tanggung jawab sebagai koordinator bidang amal di komunitas, kita harus bisa memberikan contoh yang baik dalam menangani misi amal, agar bisa diwariskan kepada generasi muda. Walau rintangan terbentang di depan mata, saya akan tetap menjalani misi amal,” cerita Lie San Ing. Sejak tahun 2007 ia sudah ditunjuk sebagai koordinator misi amal di komunitas Jakarta (He Qi Selatan).
Setiap kasus adalah saatnya bagi Lie San Ing untuk bersyukur. “Saya mulai berpikir, sejak kecil saya berasal dari keluarga tidak berada. Saya jadi lebih bersyukur, walaupun dulu keuangan tidak begitu bagus, tetapi kita tidak ada yang sakit. Kalau misal lihat gan en hu, bagaimana caranya, kenapa bisa begitu ?” kata Lie San Ing, menjelaskan setiap kasus adalah motivasi baginya untuk terus berada di misi amal.
Perjalanan 16 tahun di misi amal, Lie San Ing memperoleh banyak hal baru. “Karena saya di misi amal, banyak yang saya dapat, banyak pula yang saya pelajari. Tetap semangat, pasti banyak hal baru yang di dapat. Dapatnya bukan dapat materi, tetapi suatu perasaan yang susah dilukiskan dalam kata-kata, ada suatu kegembiraan tersendiri. Lebih banyak bersyukur.” Imbuhnya.
“Jangan ada kata mundur. Walau tidak sepaham, tetap bersemangat dalam menjalankan misi amal. Saya sangat berharap lebih banyak relawan baru ikut serta dalam misi amal agar bisa terus membimbing mereka menjalankan misi amal,” tukasnya.
Anna Tukimin sangat bersyukur telah berada di jalan Tzu Chi, bersumbangsih dan menjalin jodoh dengan banyak orang, menyebarkan cinta kasih dan menggalang hati gan en hu hingga menjadi relawan Tzu Chi.
Tidak hanya Lie San Ing yang terus melakukan pendampingan bagi para penerima bantuan Tzu Chi, juga terdapat Anna Tukimin (72) yang telah 23 tahun bersumbangsih di Tzu Chi. Ketika terjun ke masyarakat, hatinya tersentuh hingga mau mengemban misi amal sampai saat ini.
Awalnya Tzu Chi Indonesia berdiri, masih belum ada pembagian wilayah, setiap insan Tzu Chi Indonesia menjalankan misi amal dengan sukacita, mulai dari survei kasus, “Tahun 2000, kita mengunjungi panti jompo, ikut survei, tetapi belum pegang kasus. Dulu tidak ada bagi wilayah, sering ke Serang, Tangerang dan ke mana saja. Di tahun 2004, mulai terjun dan menjalankan amal,” cerita Anna Tukimin yang kini mengemban tanggung jawab sebagai Wakil Koordinator Bidang Amal di He Qi Utara 2.
Kasus pertama yang dipegang Anna Tukimin adalah orang yang tinggal di kolong jembatan. Kasus inilah yang menyentuh hatinya sehingga mau terus berada di misi amal ini. “Tersentuh melihat kehidupan mereka yang serba kekurangan, susah. Saya harus lebih bersyukur, saya penuh berkah. Saya mulai menyadari berkah dan menghargai berkah yang ada,” tutur Yek Ciau, panggilan akrabnya.
Dengan penuh kesabaran, hati empati dan welas asih dalam mendampingi pasien, Anna Tukimin dapat merasakan kebahagiaan dari setiap gan en hu, yang awalnya wajah mereka yang sedih, namun dengan adanya kunjungan kasih yang dilakukannya ataupun pendampingan kepada mereka, hingga dapat melihat senyuman indah. “Kita senang dapat melihat senyum mereka. Kebahagiaan ini tidak bisa kita nilai dengan materi, tidak dapat dilukiskan dalam kata-kata. Setiap melihat orang menderita, saya bergerak cepat untuk membantu agar kehidupan mereka menjadi lebih baik,” sambungnya. Meski demikian ia juga pernah ditolak dan “diusir” oleh calon gan en hu.
Bagi Anna Tukimin, ketika melakukan survei kasus, ataupun melakukan kunjungan kasih kepada gan en hu ia membawa dirinya sebagai saudara mereka, bukan sebagai pemberi bantuan. Dengan demikian ia pun bisa lebih dekat dengan gan en hu.
Selama kunjungan kasih, kita cerita Tzu Chi sambil mengajak mereka menjadi donatur dan relawan, tidak hanya sekali, namun harus sesering mungkin menceritakan Tzu Chi dan melakukan guan huai (memberi perhatian) agar tersentuh dan mau menjadi relawan,” jelasnya. Ia bersyukur dapat bersumbangsih dan menjalin jodoh dengan banyak orang, menyebarkan cinta kasih dan bahkan menggalang hati gan en hu menjadi relawan komite, dari seorang penerima bantuan menjadi seorang pemberi bantuan Tzu Chi.
Terus Berada Di Kapal Tzu Chi, Terus Menjalankan Misi Amal Tzu Chi
Mulyady Salim bertekad untuk terus menggalang hati dan mengajak insan Tzu Chi melihat kehidupan gan en hu yang sungguh menderita.
Melalui sesi sharing dengan narasumber Lie San Ing, Christine Kusnadi Hioe, Anna Tukimin, Jong Pit Lu, Ruswaty, dan Tini Widjaja ini kepada 750 peserta pada pelatihan, telah memotivasi Mulyady Salim (52) untuk berada di bidang amal Tzu Chi. “Dengan kesabaran, mereka menjalankan tugas misi amal ini dengan yong xin (bersungguh hati). Selama ini, walau kasus Tzu Chi telah ditutup, mereka tetap guan huai. Tindakan mereka membuat saya terharu. Mereka mengganggap gan en hu sebagai keluarga sendiri. Ikatan ini sangat erat. Kita sering bilang Kita adalah Satu Keluarga. Kisah mereka sangat inspiratif,” pungkas Mulyady Salim, relawan dari Kota Pekanbaru.
Sebagai seorang pengusaha, tentunya tidak memiliki banyak waktu dalam menjalankan suatu kegiatan amal. Namun ketika jalinan jodoh tiba, ketika mendapat kesempatan untuk berkunjung di Hualian, Taiwan dalam Kamp Pengusaha tahun 2019, telah menggerakkan hatinya hingga memutuskan untuk bergabung di Tzu Chi. “Setelah mengikuti kamp pengusaha itu, saya yakin jalan ini sudah benar. Saya melihat banyak shixiong shijie mau mengorbankan waktu, pikiran dan materi, mereka sangat bahagia. Arah sudah benar, lakukan saja,” katanya.
Melihat kasus dari para penerima bantuan, membuat Mulyady Salim terus menghargai berkah. “Saya sangat bersyukur, mereka hidupnya begitu. Saya punya keluarga, secara ekonomi ok, kenapa saya tidak bersyukur pada keharmonisan keluarga saya. Dari sini, saya mulai menyadari diri,” kata Mulyady Salim. Ia pun bertekad terus menggalang hati dan mengajak relawan melihat kehidupan gan en hu yang menderita (susah).
Melalui salah satu penerima bantuan yang didampinginya, Bong Imelda Merry belajar dan memetik makna dari suatu kehidupan, bahwa hidup itu penuh perjuangan, tidak ada yang mudah didapatkan tanpa perjuangan.
Peserta lain yang juga terinspirasi adalah Bong Imelda Merry, relawan dari komunitas Jakarta (He Qi Utara 1). Ia sering menonton DAAI TV, hal ini mendorongnya mencari tahu Tzu Chi di Jakarta, hingga pada tahun 2018 ia pun bergabung di Tzu Chi melalui pintu DAAI Mama. “Awal ikut survey kasus, atas ajakan Yessie Christina. Di sana, saya melihat, yang selama ini tidak pernah saya lihat, ternyata benar ada. Mereka hidup dengan keterbatasannya, penderitaan mereka dari penyakit, tetapi tidak ada biaya untuk berobat. Dari sanalah, saya merasakan bahwa saya penuh berkah, dan mempunyai keluarga yang cukup bahagia,” imbuh Bong Imelda Merry. Ia pun mulai tertarik di misi amal pada tahun 2020.
Dari kasus salah satu gan en hu yaitu ibu Suryanah, seorang janda gigih menghidupi dan membesarkan tiga orang anak, Bong Imelda Merry belajar dan memetik makna dari suatu kehidupan, bahwa hidup itu penuh perjuangan, tidak ada yang mudah didapatkan tanpa perjuangan. “Saya melihat tidak ada keputus-asaan. Dari seorang ibu membesarkan tiga anaknya. Sedangkan saya yang memiliki banyak fasilitas, saya selalu berkeluh kesah di dalam hidup ini. Saya seharusnya mengoreksi diri, lebih bersyukur, menghadapi hidup dengan hati penuh berkah,” katanya. Ia pun berjanji akan lebih giat lagi menjalankan misi amal, apalagi melihat sharing dari enam senior tadi yang bersungguh hati mengemban bidang amal Tzu Chi.
Editor: Erli Tan