Kamp Kelas Budi Pekerti: Perjalanan Pengembangan Diri

Jurnalis : Vincent Salimputra (He Qi Pluit), Beti Nurbaeti (He Qi Tangerang), Fotografer : Vionita Gunawan (He Qi Muara Karang), Agus Darmawan (He Qi Barat 2), Vincent Salimputra (He Qi Pluit)

Tjitra Dewi, memberikan kata sambutan dalam pembukaan acara Kamp Kelas Budi Pekerti Qin Zi Ban yang berlangsung di Xi She Ting pada Sabtu, 27 April 2024.

Setiap manusia, khususnya anak-anak, memiliki potensi yang tak terbatas. Sosok-sosok kecil penuh keajaiban tersebut dapat meraih kesuksesan di masa mendatang bila mereka dapat mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Orang tua memiliki peranan dan tanggung jawab yang besar untuk membantu anak dalam menggali potensi belajar mereka. Tak sekadar membanjiri mereka dengan materi atau fasilitas saja, proses ini merupakan perjalanan bermakna yang melibatkan kasih sayang, perhatian, dan dedikasi. Akan tetapi, mengembangkan potensi anak bukan lah perkara mudah. Upaya ini melibatkan proses yang begitu panjang dan kompleks karena membutuhkan kesadaran, tekad, dan konsistensi.

Hal tersebut terungkap dalam sesi pembelajaran Kamp Kelas Budi Pekerti yang digelar di Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara. Rangkaian acara yang berlangsung pada 27 – 28 April 2024 tersebut diikuti oleh 248 murid kelas bimbingan budi pekerti, baik Qin Zi Ban maupun Tzu Shao Ban, yang berasal dari berbagai komunitas He Qi. Bertajuk utama “Be Creative and Fun within Self-development Journeys”, kamp kali ini menyajikan berbagai materi inovatif serta interaktif yang membuat sesi pembelajaran terasa lebih menyenangkan dan bermakna.

Tentunya penyampaian materi tersebut juga disesuaikan dengan kelompok usia anak-anak, di mana panitia telah membagi mereka ke dalam dua kelompok besar, yaitu para xiao pu sa berkumpul di Xi She Ting, lantai 1 Aula Jing Si, sedangkan para Tzu Shao terpusat di ruang meeting Gedung DAAI.

Bila materi yang diperoleh oleh para Tzu Shao seputar perencanaan, pengorganisasian dan pengendalian, maka materi yang diajarkan kepada para xiao pu sa lebih condong pada sejumlah keterampilan hidup yang dapat diaplikasikan dengan mudah, mulai dari menjahit, mengemas pakaian di dalam koper, hingga menggantung pakaian dengan benar.

Materi terkait budaya humanis Tzu Chi dipaparkan oleh Hun Hun secara lebih mendalam agar xiao pu sa dapat memahami pentingnya penerapan budaya humanis.

Dengan berbekal sebidang kain dan kancing berwarna-warni, Juny Leong, selaku pemateri dalam sesi “Little Tailor”, membimbing para xiao pu sa untuk melatih serta meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas mereka. Didampingi oleh Daai Mama, para xiao pu sa dengan hati-hati dan telaten menjahit kancing demi kancing pada kain, hingga akhirnya membentuk sebatang pohon kancing berwarna-warni.

“Adik-adik, dari pohon kancing berwarna-warni yang melambangkan sinar matahari, harapan dan cinta, kita bisa menemukan keindahan. Begitu juga dalam hidup kita, banyak perbedaan yang kita temui di sekeliling kita, tidak perlu dicari siapa yang lebih baik, karena semua diciptakan unik,” simpul Juny sembari menunjukkan hasil kreasinya.

Tidak hanya imajinasi dan kreativitas xiao pu sa saja yang dilatih, Lie Anne Tanjaya bersama tim relawan komunitas He Qi Pusat, yang mengisi sesi “Life Etiquette” juga membimbing para xiao pu sa untuk melatih kemandirian serta mengenalkan konsep penataan dan organisasi kepada mereka. Salah satu di antaranya, mengajarkan mereka cara mengemas pakaian. Lie Anne Tanjaya, yang akrab disapa Anne, juga menjelaskan bahwa mengemas pakaian dapat dilakukan dengan cara dilipat atau digantung. Walaupun sekilas terlihat sepele, hal ini bisa menjadi tolak ukur tingkat keberhasilan dari sebuah pembinaan.

Tentunya sebelum para xiao pu sa mencoba melipat pakaian, Anne mempraktikkan salah satu metode melipat pakaian yang rapi, yaitu dengan menggulung pakaian seperti burrito (makanan khas Meksiko). Hal ini kemudian dapat dipraktikkan langsung oleh para xiao pu sa dengan mudah.

“Baru pertama kali tahu cara burrito ini, lumayan gampang. Lipat sedikit bagian bawah baju, lalu lipat lengan baju kiri dan kanan ke arah tengah. Nanti tinggal gulung baju dari bagian atas hingga ke bawah, keluarkan lipatan bawah buat bungkus,” tutur Fernando Oliver Chang, xiao pu sa dari komunitas He Qi Pluit, saat menjelaskan metode burrito. Dengan menggunakan metode burrito ini, akan mencegah kerutan pada pakaian sekaligus menghemat banyak ruang penyimpanan sehingga tentunya dapat menyimpan lebih banyak pakaian.

Selain itu, saat akan menggantung pakaian, Anne juga berbagi pengalaman dengan para xiao pu sa untuk memasukkan hanger dari bagian bawah baju agar tidak merusak kerah. Ataupun melipat celana panjang sedemikian rupa lebih dulu sebelum menggantungkannya ke hanger agar tidak berkerut dan tidak mudah jatuh. “Tujuan kita belajar hal-hal seperti ini agar melatih tanggung jawab terhadap pakaian milik sendiri dan juga menghasilkan masa pakai yang lebih baik untuk pakaian,” jelas Anne.

Fiorenza (kiri) dan Arvil (kanan), duo MC belia, membawakan acara Kamp Kelas Budi Pekerti Tzu Shao Ban dengan penuh keceriaan, yang berlangsung di ruang meeting Gedung DAAI pada Sabtu, 27 April 2024.

Pada kesempatan hari itu, materi seputar budaya humanis Tzu Chi juga tidak ketinggalan dijelaskan kepada xiao pu sa, yang dibawakan dengan apik oleh kedua DAAI Jiejie yang melakoni MC, Kyara dan Gea. Selain penjelasan materi, mereka juga memberikan contoh terkait sehingga para xiao pu sa juga dapat menerapkannya secara langsung, baik di lingkungan Tzu Chi maupun dalam kehidupan sehari-hari, seperti saat makan, berjalan, duduk dan berbaring. “Berjalan laksana angin, berdiri ibarat pohon cemara, duduk bagaikan sebuah lonceng, dan berbaring seperti busur panah. Ini adalah empat sikap mulia yang harus kita praktikkan saat berada di Tzu Chi,” tutur Kyara sembari memberikan contoh.

Saat Giok Chin dari komunitas He Qi Timur membawakan sesi budaya humanis lanjutan terkait tata cara makan dan berjalan, serta Hun Hun dari komunitas He Qi Pusat yang menjelaskan tata cara tidur, para xiao pu sa tidak hanya memperoleh teori. Mereka juga diajak untuk ikut mempraktikkannya dengan perlengkapan yang telah disiapkan relawan, mulai dari mengambil sejumlah kacang-kacangan dengan menggunakan sumpit untuk ditaruh ke dalam mangkok, meletakkan buku di atas kepala sambil berjalan mengelilingi meja, serta melipat kasur dan selimut di dalam kamar.

“Saat melipat, selimut kita lipat keluar dulu ke arah pintu, lalu bagian selimut lainnya kita lipat ke arah dalam. Hal ini sesuai prinsip Tzu Chi yang harus kita ingat dan amalkan, bersumbangsih tanpa pamrih dan menerima dengan sukacita,” jelas Hun Hun terkait filosofi melipat selimut. “Saat menyimpan selimut di dalam lemari, perhatikan yang banyak lipatan, diposisikan ke dalam. Yang lipatannya sedikit, diposisikan keluar. Tujuannya agar selalu menampilkan keindahan kepada orang lain,” lanjut Hun Hun terkait filosofi menyimpan selimut.

Dengan penuh keceriaan, Fernando Oliver Chang (tengah) mempraktikkan cara melipat pakaian dengan metode burrito, yang dibagikan oleh pemateri.

Film animasi yang inspiratif selalu memiliki magnet tersendiri untuk menyampaikan pesan kehidupan maupun memberikan pengaruh positif kepada anak-anak. Tak terkecuali film animasi berjudul “Encanto” yang ditayangkan dalam sesi “Movie Appreciation pada Qin Zi Ban malam itu.

Bergenre fantasi komedi musikal, film animasi tersebut mengangkat kisah keluarga Madrigal yang tinggal dalam rumah ajaib tersembunyi di pegunungan Kolombia. Setelah selamat dari tragedi, setiap anggota keluarga tersebut mendapatkan kemampuan khusus masing-masing, namun tidak halnya dengan Mirabel Madrigal. Gadis belia ini adalah satu-satunya anggota keluarga yang tidak memiliki kemampuan khusus sama sekali sehingga kerap menjadi bahan ejekan orang di sekitarnya. Hingga pada suatu hari, Mirabel menyadari bahwa sihir yang menaungi kemampuan keluarganya tengah terancam. Ia pun menjadi harapan terakhir untuk menyelamatkan keluarganya dari bencana tersebut. Namun sebelumnya, ia harus memperbaiki ikatan keluarga yang telah hancur akibat keegoisan neneknya.

Melalui film tersebut, selain menekankan pentingnya menjaga keutuhan keluarga, Sukandi sebagai pematerinya, juga mengutip kata perenungan Master yang cocok dengan pesan yang terkandung di dalamnya. “Jangan menganggap remeh diri sendiri karena setiap orang memiliki potensi yang tidak terhingga. Begitupun xiao pu sa men sebenarnya memiliki potensi yang sangat luar biasa,” pungkas Sukandi.

Tzu Shao Belajar Merencanakan dan Mengambil Keputusan
Sementara itu, suasana riang dan ceria juga menyelimuti ruang meeting gedung DAAI, yang dipenuhi oleh 86 peserta Tzu Shao Ban. Dengan penuh semangat, para peserta yang berusia antara 13 – 16 tahun ini mengikuti sejumlah sesi pembelajaran interaktif yang telah disiapkan untuk mereka. Dipandu oleh dua MC belia, Fiorenza Teza dan Arvil, yang membawakan acara tersebut pada hari itu dengan keseruan gaya remaja. Arvil yang lebih dahulu berkecimpung dalam dunia MC pun menyatakan kesiapannya di momen ini.

“Saya sudah empat kali mengemban tugas menjadi pembawa acara. Dan ini merupakan sebuah tantangan apalagi menjadi pembawa acara untuk event sebesar ini,” ujar Arvil. Remaja berusia 18 tahun ini menegaskan dirinya sangat bangga bisa terpilih. “Saya dan Fio banyak mendapat pengalaman baru, bagaimana cara kita menghidupkan suasana agar kelas tetap ceria dan kondusif,” tutur Arvil. “Namun tetap sesuai dengan arahan kakek guru kami, Master Cheng Yen, yaitu berbakti pada orang tua, bersyukur akan berkah yang dimiliki, hidup bermasyarakat dengan harmonis dan mencintai lingkungan,” tambahnya.

Eddy (kanan) dengan segudang pengalamannya, memberikan materi yang berharga di acara Kamp Kelas Budi Pekerti Tzu Shao Ban.

Salah satu sesi materi yang seru pada acara Tzu Shao Ban hari itu adalah materi yang dibawakan oleh Kimsri bersama Yee Con Tong, yang akrab disapa Eddy. Materi yang dibawakan oleh mereka berdua terkait perjalanan mengelilingi dunia. Selain itu, mereka juga memberikan tugas kepada Tzu Shao men membuat presentasi mengenai destinasi wisata yang mereka idamkan, lengkap dengan fasilitas yang diberikan. Namun, tetap harus berbudaya humanis sesuai pesan Master Cheng Yen yaitu Gan En, Zun Zhong, Ai (bersyukur, menghormati, mengasihi).

“Tugas ini memberikan pemahaman baru bagi kita agar dimanapun berada kita harus tetap menghormati budaya setempat. Kita tidak boleh melanggar aturan yang ada di tempat tujuan wisata tersebut,” jelas Eddy.  “Tidak kalah penting adalah pengejawantahan pesan Master, Gan En, Zun Zhong, Ai, yang meliputi semua aspek dari mulai pemilihan tempat destinasi wisata, kendaraan ramah lingkungan, hotel yang menyediakan makanan vegetarian serta perilaku wisatawan yang tetap menghormati budaya di tempat wisata tersebut,” lanjut Eddy.

Tugas membuat presentasi mengenai rencana perjalanan wisata pun dikerjakan dengan penuh  semangat dan keceriaan oleh Tzu Shao men bersama kelompoknya masing-masing. Nantinya, mereka harus mempresentasikan di hadapan para peserta lainnya. Salah satunya, kelompok yang dikomandoi Naramedhaka Citta Abhimanggala, yang akrab disapa Nara. Ia bercerita bahwa kelompoknya memilih Switzerland, sebuah negara kecil namun memiliki keindahan alam yang menakjubkan. “Kami bersepakat memilih Swiss dengan beberapa pertimbangan, di antaranya keindahan alam juga tatanan kota yang begitu rapi dan bersih. Negara empat musim ini juga unggul di bidang teknologi, ekonomi, dan sumber daya manusianya,” urai Nara.

Di tengah penyusunan presentasi, kelompok Nara juga tidak melupakan semua destinasi wisata yang telah mereka rancang disesuaikan dengan budaya humanis yang selalu dipatrikan oleh Master. “Selalu bersyukur, saling menghormati dan mengasihi semua makhluk di bumi ini menjadi landasan kuat kami membuat rencana perjalanan wisata ini. Kita senantiasa bersyukur, saling menghormati adat istiadat negara tersebut juga menyebarkan cinta kasih di manapun kita berada,” pungkas Nara, yang diamini oleh teman-temannya.

Antusiasme Naramedhaka Citta Abhimanggala (kedua dari kanan) bersama teman-teman merumuskan rencana perjalanan wisata dengan tetap mengedepankan budaya humanis.

Kesan dan Pesan Relawan yang Ikut Bersumbangsih
Tjitra Dewi, lebih dikenal sebagai Hui Sien, yang menjadi koordinator Kamp Kelas Budi Pekerti kali ini, menjelaskan bahwa persiapan kamp tidak menemui kendala yang berarti, khususnya ketika mengoordinasikan berbagai ladang berkah yang digarap oleh relawan fungsional pendidikan dari sembilan komunitas He Qi sebelum hari-H. “Persiapan kali ini sudah dimulai sejak tiga bulan lalu. Panitia inti berjumlah sekitar 50 orang, sebagian besar relawan pendidikan dari tiap-tiap He Qi. Relawan yang bertugas pada hari-H lebih banyak, sekitar 240 orang. Yang namanya di Tzu Chi, kita melatih diri. Jadi kalau ketemu masalah, kendala, beda pendapat, kita coba cari solusinya bersama,” ungkap Hui Sien.

“Lebih banyak suka daripada dukanya. Saya dapat belajar banyak ketika mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Semua bagian harus kita ketahui. Dengan terjun langsung, kita bisa berinteraksi dengan sesama relawan sehingga timnya lebih kompak. Walaupun banyak tugas, tapi semuanya dilakukan dengan penuh sukacita,” cerita Hui Sien saat berbagi rasa suka dan duka menjadi koordinator kegiatan kali ini.

Sebagai seorang ibu rumah tangga, Hui Sien yang harus mengurus suami dan mendidik anak di rumah, juga mendapatkan dukungan dari keluarga untuk tetap dapat beraktivitas di Tzu Chi selama ini. Ketiga buah hatinya merupakan alumni kelas bimbingan budi pekerti angkatan pertama yang diadakan di ITC Mangga Dua pada tahun 2006. ”Seperti yang Master katakan, urus masalah internal rumah tangga dulu, baru bisa keluar melakukan kegiatan Tzu Chi dengan sukacita,” tutur Hui Sien yang dilantik menjadi anggota komite Tzu Chi pada tahun 2011. “Kebetulan, ketiga anak saya sudah berada di lingkungan Tzu Chi sejak kecil. Jadi mereka mengerti dan memberikan izin. Mereka juga merasa bangga mamanya yang hanya seorang ibu rumah tangga dapat ikut bersumbangsih melalui kegiatan pendidikan di Tzu Chi,” tambahnya.

Usai berbagi pengalamannya, Hui Sien yang menjadi Koordinator Pendidikan He Xin, juga berpesan kepada xiao pu sa dan Tzu Shao yang telah mengikuti rangkaian acara Kamp Kelas Budi Pekerti yang berlangsung selama dua hari, “Semoga apa yang anak-anak pelajari pada kamp kali ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi xiao pu sa dan Tzu Shao yang lebih mandiri, mencintai orang tua dan berguna bagi masyarakat”.

Membangun kedekatan emosional dengan anak-anak dalam waktu relatif singkat bukanlah hal mudah. Tapi Lestin Trisiati berupaya menjembatani komunikasi dengan hal-hal sederhana seperti mengingat nama mereka satu persatu dan memanggil mereka sambil tersenyum.

Berbagai pengalaman berharga yang diperoleh saat bersumbangsih menjadi seorang duifu untuk pertama kalinya dalam acara Kamp Kelas Budi Pekerti, dibagikan oleh Lestin Trisiati, relawan komunitas He Qi Pluit. Salah satunya, ketika Lestin berusaha membangun kedekatan emosional dengan anak-anak yang dibimbingnya, ia memulainya dengan hal yang sederhana seperti mengingat nama mereka. Dan ternyata anak-anak tersebut mau menuruti perkataannya.

“Ketika membimbing anak-anak, saya merasa bahwa nama adalah hal magis yang dapat membuat seseorang lebih terjalin secara lebih mendalam.  Saya mencoba menjadi teman atau kakak mereka. Ketika menegur mereka, saya memanggil nama mereka sambil tersenyum,” ujar Lestin. “Ternyata mereka juga merespon dengan baik dan menuruti apa yang saya katakan. Contohnya, ketika di depan ada pembicara yang sedang bicara, dan mereka sedang sibuk dengan handphone. Ketika ditegur, mereka mau menyimpan handphone-nya walaupun hanya sebentar. Saya merasa hal itu wajar, karena anak-anak mudah bosan bila hanya mendengarkan saja,” tambah Lestin.

Seiring dengan kedekatan yang telah terjalin, anak-anak pun menjadi lebih terbuka dengan Lestin dan mau bercerita mengenai apapun. “Ada kedekatan seperti itu, membuat mereka jadi lebih terbuka, mulai bercerita tentang hal-hal yang mereka senangi, masa kanak-kanaknya, film Disney yang mereka senangi. Tingkah lucu dan aneh yang mereka tunjukkan kepada saya saat itu membuat saya terhibur,” ujar Lestin.

Perjuangan seorang duifu dalam membimbing anak-anak bukanlah hal yang mudah. Ada upaya yang harus para duifu, termasuk Lestin, lakukan untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak agar selalu merasa bersemangat selama mengikuti serangkaian sesi dalam acara Kamp Kelas Budi Pekerti. “Cukup melelahkan ketika harus mengingatkan anak-anak yang berisik, main handphone, kurang antusias mengikuti kegiatan, tidak berjalan dengan rapi, makan sambil bicara, pilih-pilih makanan, dan masih banyak lagi,” bagi Lestin. “Tapi dari sana, saya menjadi banyak belajar tentang pola perilaku anak-anak yang saya bimbing saat itu. Dan saya merasa bahwa masih banyak yang perlu saya pelajari, agar dapat lebih dekat dengan mereka,” tandasnya.

Tidak lupa, Lestin juga berpesan kepada xiao pu sa dan Tzu Shao yang telah mengikuti kamp kali ini, “Semoga anak-anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang humanis, berbudi pekerti yang baik, memiliki sopan santun kepada siapapun itu dan jiwa yang bertumbuh dewasa sesuai umurnya”.

Editor: Metta Wulandari

Artikel Terkait

Kamp Kelas Budi Pekerti: Perjalanan Pengembangan Diri

Kamp Kelas Budi Pekerti: Perjalanan Pengembangan Diri

07 Mei 2024

Sebanyak 248 murid kelas bimbingan budi pekerti mengikuti Kamp Kelas Budi Pekerti yang digelar di Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara, 27 – 28 April 2024. Bertajuk utama “Be Creative and Fun within Self-development Journeys”.

Menggapai Masa Depan yang Cemerlang

Menggapai Masa Depan yang Cemerlang

29 November 2016
Kelas budi pekerti Tzu Chi kembali menyelenggarakan Kamp Bimbingan Budi Pekerti Tzu Chi yang kali ini diperuntukkan bagi remaja berusia 13-16 tahun atau biasa disebut Tzu Shao. Kegiatan Tzu Shao Ban Angkatan VIII ini merupakan kegiatan penutupan kelas budi pekerti untuk tahun 2016 yang diikuti oleh 150 siswa kelas budi pekerti Tzu Shao.
Kesan Tak Terlupakan di Kamp Kelas Budi Pekerti Tzu Shao

Kesan Tak Terlupakan di Kamp Kelas Budi Pekerti Tzu Shao

17 April 2017

Kedatangan insan Tzu Chi dari tujuh kota membuat para relawan bekerja lebih keras mempersiapkan kamp ini. Ini agar para peserta kamp dapat merasa nyaman dan gembira seperti berada di rumah sendiri. Salah satu relawan yang  berusaha keras  menyelenggarakan kamp ini adalah Yenny Loa.

Hanya orang yang menghargai dirinya sendiri, yang mempunyai keberanian untuk bersikap rendah hati.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -