Dalam kehangatan lobi Gedung Gan En yang dipenuhi cahaya lembut, puluhan relawan berkumpul dan duduk berdiskusi dalam kebersamaan yang penuh makna.
Saat hari pertama pelatihan relawan komite dan APL pada Sabtu 22 Februari 2025 memasuki sesi terakhir, Tzu Chi Center diselimuti suasana berbeda. Setelah makan malam yang hangat dalam kebersamaan, riuh percakapan perlahan mereda. Langkah para relawan beriringan menuju sesi yang lebih mendalam. Keakraban yang tadi memenuhi udara berganti dengan ketenangan, seolah memberi isyarat bahwa malam itu bukan sekadar waktu untuk mendengar, tapi juga untuk merenung dan menyelami makna yang lebih dalam.
Bukan lagi ruang kelas atau panggung besar, melainkan lingkaran-lingkaran kecil yang tersebar di berbagai sudut, mulai dari lobi Gedung Gan En, Aula Jing Si lantai 1 sampai lantai 4, hingga sudut-sudut tenang di Gedung DAAI. Sesi malam itu, yang dimulai pukul 19.20 WIB, bukan sekadar penutupan dari serangkaian materi yang telah disampaikan sepanjang hari, melainkan gerbang menuju perenungan yang lebih dalam. Dalam balutan cahaya yang menenangkan, para relawan duduk dalam keheningan, memasuki ruang refleksi yang mengajak mereka menelusuri makna dari setiap langkah yang telah mereka tapaki di jalan Bodhisatwa.
Di setiap lingkaran kecil itu, dua moderator hadir bukan sebagai pengajar, tapi sahabat dalam pencarian makna. Mereka membimbing diskusi, bukan untuk menggurui, tapi untuk membuka ruang berbagi yang penuh kehangatan. Di hadapan mereka, lima kisah tentang Master Cheng Yen telah menanti. Kisah-kisah yang bukan sekadar cerita, tapi jejak hidup yang menerangi dan menginspirasi.
Makna Besar dalam Sebutir Beras
Salah satu kisah yang dibahas malam itu adalah "Butiran Beras", kisah sederhana namun sarat makna yang mengajarkan ketulusan dan keadilan dalam setiap tindakan. Di sebuah lingkaran diskusi yang hangat di lobi Gedung Gan En, Hoklay, salah satu moderator diskusi, membacakan kisah ini. Suara tenangnya mengalun, membawa para relawan kembali ke suatu momen di Griya Jing Si ketika para relawan bersiap membagikan bantuan bulanan. Saat proses pengemasan, beberapa butir beras tanpa sengaja tercecer di lantai. Seorang relawan, dengan penuh rasa sayang, mengumpulkan butiran beras itu dan hendak mengembalikannya ke dalam wadah penyimpanan. Namun, Master Cheng Yen yang kebetulan melihat hal tersebut dengan lembut mengingatkan, “Menghargai berkah memang baik, tapi kita juga harus memahami bahwa beras ini seharusnya adalah hak penerima bantuan. Sebagai insan Tzu Chi, kita harus menjunjung ketulusan dan keadilan, bahkan dalam hal sekecil ini.”

Hoklay memandu sesi refleksi dan membagikan kisah-kisah Master Cheng Yen yang inspiratif.
Sejenak, ruangan kembali sunyi. Beberapa relawan membayangkan kembali berbagai pengalaman mereka dalam menjalankan misi kemanusiaan. Setiawan, relawan dari komunitas He Qi Barat 2 mengangkat tangan dan membagikan pemikirannya. Jelang Imlek, komunitasnya menyalurkan bantuan bagi para penerima bantuan yang merayakan. Di antara bantuan itu, ada beberapa kue keranjang yang harusnya diberikan kepada penerima bantuan. Namun, mereka berhalangan hadir. Waktu berlalu, dan kue itu tetap tersimpan di lemari, terbungkus rapi dalam kantong plastik.
Setiawan awalnya mengira dengan menyimpan kue itu, ia telah menjaga berkah agar tak terbuang sia-sia. Namun beberapa hari kemudian, saat ia membuka lemari, kue-kue tersebut dikerubungi semut. Ia terdiam sejenak, merasakan sesak yang samar. Kue yang harusnya jadi bagian dari kebahagiaan seseorang telah rusak, tak lagi layak diberikan.
Dengan niat agar tidak mubazir, ia pun membagi kue itu pada para relawan. Saat itu ia merasa keputusannya benar, lebih baik kue dimakan relawan daripada dibuang. Namun, ketika kisah "Butiran Beras" diceritakan, ia menyadari sesuatu yang sebelumnya terlewat.
“Saya baru tersadar,” ujarnya dengan suara sedikit bergetar, “Sekecil apapun sesuatu, jika itu adalah hak Gan En Hu, maka harus benar-benar dijaga dan disalurkan dengan penuh kesadaran. Saya kira saya sudah bertindak benar, tapi ternyata saya lalai memastikan berkah itu tetap utuh sampai pada yang berhak menerimanya.”
Setiawan turut berbagi pengalamannya setelah mendengarkan kisah "Butiran Beras."
Malam itu, ia belajar bahwa welas asih bukan sekadar tentang memberi, tapi juga bagaimana memastikan bahwa setiap titipan sampai kepada mereka yang seharusnya menerima. Keikhlasan dalam berbagi harus diiringi dengan kebijaksanaan dalam menjaga amanah. Jika dalam kisah "Butiran Beras", setiap butir yang tercecer pun tetap memiliki haknya, maka kue keranjang ini pun harusnya dijaga dengan cara yang sama.
Diskusi terus mengalir, membentuk benang merah yang menghubungkan pengalaman pribadi dengan kebijaksanaan yang terkandung dalam kisah ini. Dari butiran beras yang tampak kecil, para relawan menyadari bahwa prinsip ketulusan dan keadilan bukanlah sesuatu yang hanya diterapkan dalam hal-hal besar, tapi justru harus dimulai dari yang paling sederhana. Dalam lingkaran-lingkaran refleksi itu, mereka makin memahami bahwa menjadi insan Tzu Chi bukan hanya tentang membantu, tapi juga bagaimana membantu dengan cara yang benar, adil, dan penuh kesadaran.
Ketika Perkataan dan Perbuatan Menjadi Satu
Kisah lainnya adalah tentang “Lakukan yang Dikatakan.” Sebuah cerita sederhana, tapi sarat makna yang mengajarkan tentang keteladanan sejati. Master Cheng Yen, di masa mudanya pernah tinggal di Vihara Ci Shan, Hualien. Suatu pagi, di tepi sebuah sumur tua dekat rel kereta, beliau melihat seorang siswi kecil berjalan menuju sekolah. Gadis kecil itu tiba-tiba berhenti, menunjuk ke arah rel, lalu berseru lantang, “Coba lihat! Guru bilang kita tidak boleh berjalan di atas rel kereta, tapi sekarang malah dia sendiri yang berjalan di atasnya.” Kata-kata polos itu menancap dalam benak Master, menyadarkan beliau bahwa sebagai seorang pembimbing, keteladanan adalah kunci. Tak cukup hanya kata-kata, tapi harus mampu mewujudkan dalam tindakan.
Pricilia menyadari bahwa keteladanan adalah kunci dalam menebarkan kebajikan.
Para relawan kemudian membiarkan kisah ini mengalir ke dalam hati mereka, mengajak mereka merenung tentang perjalanan yang telah mereka tempuh dalam menapaki jalan kebajikan. Hingga akhirnya, Pricilia Fernanda Saujana, relawan muda dari Tzu Chi Pekanbaru mengangkat tangan dan berbagi pengalamannya di lobi Ci Bei, Aula Jing Si lantai 1.
“Saya ingat ketika bergabung menjadi relawan. Saya begitu bersemangat mengajak orang lain untuk berbuat baik, berdonasi, atau menjadi vegetarian. Namun saya menyadari bahwa saya belum sepenuhnya menjalankan apa yang saya ucapkan,” ungkapnya lirih.
Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Sering kali saya mencari alasan. Saya berkata bahwa ini sulit, bahwa saya masih dalam proses. Tapi kisah ini menyadarkan saya bagaimana saya bisa menginspirasi orang lain jika saya sendiri belum sepenuhnya berusaha?”
Suasana diskusi makindalam. Kata-kata Pricilia menggugah kesadaran, bahwa sering kali kita ingin membawa perubahan bagi orang lain, tapi lupa bahwa perubahan sejati harus bermula dari dalam diri sendiri.
“Dari kisah Master Cheng Yen, saya belajar bahwa keteladanan adalah kunci. Orang lain mungkin lupa apa yang kita katakan, tetapi mereka akan selalu mengingat apa yang kita lakukan. Jika saya ingin menebarkan kebajikan, saya harus lebih dulu mewujudkannya dalam hidup saya sendiri, tanpa mencari alasan dan tanpa menunda,” lanjutnya mantap.
Yi Ying menekankan bahwa seorang murid akan selalu melihat dan menilai gurunya bukan dari apa yang dikatakan, tetapi dari apa yang dilakukan.
Di sudut lain ruang meeting Gedung DAAI, relawan dari Tzu Chi School, Yi Ying, berbagi pemikirannya, “Tzu Chi makin berkembang, makin banyak komunitas yang bermunculan. Prinsip ‘Lakukan yang Dikatakan’ menjadi semakin penting. Jika di sekolah, kita mengajarkan kedisipinan, tetapi kita sendiri tidak menerapkannya, apa yang akan terjadi?”
Ia menatap para relawan, lalu melanjutkan, “Pernahkah kalian melihat Master duduk dengan postur yang tidak tegap? Ia tersenyum, lalu menjelaskan, “Sama seperti ketika kita meminta murid-murid untuk duduk dengan baik dan fokus, Master pun selalu memberi contoh nyata dalam kesehariannya. Setiap kali mendengar seseorang berbicara, Master duduk tegap, penuh perhatian, tanpa pernah menunjukkan kelelahan atau kehilangan fokus.”
Keteladanan adalah cerminan yang tak butuh kata-kata. Jika seorang murid melihat gurunya tak disiplin, mereka akan kehilangan rasa hormat. Tapi jika seorang guru mampu jadi contoh, tanpa diminta pun murid-murid akan mengikuti.
Kata-kata bukan sekadar untaian indah yang menggugah, tapi harus jadi pedoman yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Seperti yang diajarkan Master Cheng Yen, insan Tzu Chi bukan hanya berbicara tentang welas asih dan kebajikan, tapi juga harus menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan sehingga setiap langkah yang diambil selaras dengan nilai-nilai kebaikan yang diyakini.
Kesungguhan Hati dalam Setiap Tindakan
Dalam salah satu lingkaran diskusi malam itu, kisah tentang “Kesungguhan Hati” mengalir perlahan, membawa para relawan pada pemahaman yang lebih dalam tentang makna welas asih dalam tindakan nyata. Dalam keheningan yang syahdu, mereka mendengar bagaimana Master Cheng Yen selalu memberi keteladanan, bukan hanya dalam kata-kata, tapi dalam perbuatan. Salah satu murid monastiknya, Shifu De Ci, pernah berbagi bagaimana Master mengemas bantuan musim dingin dengan penuh perhatian. Bagi Master, tiap paket bantuan bukan sekadar kumpulan barang, tapi wujud kasih yang harus disampaikan dengan rasa hormat.
Master memahami bahwa para penerima bantuan yang hidup dalam keterbatasan, sering menyimpan perasaan rendah diri. Jika bantuan diberikan seadanya, tanpa ketulusan dalam penyajiannya, itu bisa melukai hati mereka. Karena itu, Master selalu memastikan tiap barang dikemas penuh kehati-hatian, makanan dan barang kebutuhan lainnya dipisahkan agar tidak tercampur dengan benda yang bisa merusaknya, seperti sabun bubuk. Tiap detail diperhatikan, bukan sekadar memastikan manfaatnya, tapi untuk menunjukkan kepedulian yang sesungguhnya.
Kisah ini menggugah hati seorang relawan senior, Ibu Liana yang telah lama berkecimpung dalam kegiatan sosial. Dengan suara bergetar ia berbagi pengalaman pribadinya. “Dulu, saya pikir yang paling penting dalam membantu adalah apa yang kita berikan. Namun setelah sekian lama di Tzu Chi saya menyadari bahwa bukan hanya bantuan fisik yang berarti, tapi juga bagaimana kita memberikannya. Saya ingat saat pertama kali membagikan bantuan, saya hanya fokus memastikan jumlahnya cukup. Namun melihat bagaimana Master mencontohkan perhatian pada hal-hal kecil, saya belajar bahwa ketulusan bisa hadir dalam setiap lipatan pakaian yang kita susun, dalam cara kita menyusun paket, dalam senyum yang kita berikan.”
Di sisi lain lingkaran, relawan muda bernama Adrian ikut berbagi. Baginya, kisah ini membuka sudut pandang baru tentang bagaimana membantu orang lain. “Saya baru beberapa kali ikut kegiatan sosial, jujur saya belum pernah berpikir sedetail ini. Saya kira yang penting adalah niat baik dan bantuan itu sampai ke tangan penerima. Tapi dengar kisah ini, saya sadar bahwa perhatian pada hal-hal kecil justru menunjukkan seberapa besar rasa hormat kita kepada mereka. Ini bukan sekadar memberi, tapi benar-benar memahami perasaan mereka.”
Diskusi di setiap kelompok mengalir penuh makna. Para relawan tak hanya mendengar, tapi juga melihat kembali bagaimana mereka selama ini berbuat kebaikan. Apakah sudah sepenuh hati? Apakah setiap tindakan sudah mencerminkan welas asih yang sesungguhnya? Kisah Kesungguhan Hati mengajarkan bahwa membantu bukan sekadar tentang memberi, tapi bagaimana kita memberi dengan rasa hormat, kehangatan, dan ketulusan yang menyentuh hati. Dalam refleksi malam itu, para relawan menyadari bahwa welas asih bukan hanya kata, tetapi hadir dalam setiap tindakan kecil yang dilakukan dengan sepenuh hati.
Meneladani Setiap Langkah dengan Penuh Kesadaran
Di tengah lingkaran-lingkaran kecil yang tersebar di berbagai sudut Tzu Chi Center, kisah demi kisah tentang Master Cheng Yen mulai mengalir, membawa para relawan dalam perjalanan refleksi yang mendalam. Salah satu kisah yang juga diceritakan malam itu adalah tentang tata krama dan perhatian yang benar. Sebuah ajaran yang begitu sederhana namun sarat makna bagi kehidupan seorang Bodhisatwa di dunia.
Dalam suasana hening dan penuh khidmat, para relawan mendengarkan bagaimana Master Cheng Yen memberi teladan dalam menghargai setiap benda. Selembar kertas yang bagi kebanyakan orang mungkin hanya memiliki satu fungsi, dapat digunakan Master hingga empat kali dengan pensil, pulpen, pensil merah, dan terakhir dengan kuas. Setiap goresan pada kertas itu bukan sekadar tulisan, tapi juga pesan tentang kesadaran dan penghormatan terhadap setiap sumber daya yang dimiliki.
“Saat mengambil sesuatu, perhatian harus tertuju pada tangan. Saat berjalan, pikiran harus tertuju pada kaki,” demikian pesan Master mengajarkan bahwa sikap hormat bukan hanya kepada manusia, tapi juga pada alam dan segala yang ada di sekeliling.
Kisah ini menggugah hati Phoebe Chen, relawan dari Tzu Chi School. Ia berbagi bahwa selama ini ia sering terburu-buru dalam bertindak, kurang memperhatikan sekeliling bahkan dalam hal-hal kecil seperti cara berjalan atau memperlakukan barang yang dimilikinya. “Dulu saya berpikir, yang penting niat baik sudah ada, tapi saya lupa bahwa tiap tindakan harus dilakukan penuh kesadaran. Malam ini saya belajar bahwa welas asih tak hanya tentang membantu sesama, tapi juga bagaimana kita menghargai segala sesuatu, sekecil apa pun itu,” ujarnya.
Menyelami Hati Penerima Bantuan
Saat Supandi, salah satu moderator diskusi membuka lembaran kisah kelima, suasana di lobi Gedung Gan En hening. Para relawan yang duduk berkelompok menyimak penuh perhatian, membiarkan hati terbuka pada kisah pilu yang terbungkus dalam tiga butir sayur kol.
Supandi mulai membacakan kisah Lu Dan-gui, ibu muda yang hidup dalam keterbatasan, yang harus menerima kenyataan bahwa operasi matanya tak berhasil, dan bantuan yang selama ini ia terima dari Tzu Chi harus dihentikan sementara. Namun siapa sangka bahwa keputusan kecil dalam keseharian, memasak tiga butir kol untuk keluarganya justru jadi titik terakhir dalam kehidupannya. Kata-kata kasar dari sang suami yang tengah berjuang mencari nafkah, kelelahan yang menumpuk, dan kesedihan yang tak terungkap semuanya menjadi pusaran yang menyeretnya dalam keputusasaan. Hingga akhirnya, ia memilih mengakhiri hidupnya.
Charlie turut berbagi pengalaman berharga yang ia dapatkan dalam kunjungan kasih, terinspirasi dari kisah pilu yang terbungkus dalam tiga butir sayur kol.
Setelah kisah itu selesai dibacakan, hening menyelimuti ruangan. Beberapa relawan merenungi betapa rapuhnya batas antara harapan dan keputusasaan. Dalam suasana itu, relawan dari komunitas He Qi PIK, Charlie, perlahan membuka suara.
“Di tempat kami, ada seorang pria yang mengalami kecelakaan hingga kakinya patah. Ia menerima bantuan biaya hidup sebesar Rp1,5 juta setiap bulan, dan yang membuat saya terharu, dari jumlah itu, ia sisihkan Rp100 ribu ke dalam celengan bambu. Dalam keterbatasannya, ia masih ingin berbagi.”
Para relawan tersenyum kecil, terharu dengan ketulusan pria tersebut. Namun cerita Charlie belum selesai. “Setelah enam bulan berjalan, kami nilai kondisinya membaik dan memutuskan untuk menghentikan bantuan. Kami berharap berkah ini bisa diberikan pada yang lebih membutuhkan. Tapi tak lama setelah keputusan itu dibuat, kami dapat kabar bahwa kakinya kembali patah. Sebelumnya yang patah adalah kaki kiri, kali ini kaki kanan. Akhirnya bantuan kembali diperpanjang, dan selama hampir satu tahun lebih kami dampingi proses pemulihan.”
Charlie menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, “Saat kami menyampaikan keputusan untuk menghentikan bantuan, penerima merasa berat hati. ‘Saya ingin terus dibantu,’ katanya waktu itu. Saya bisa merasakan kecemasan dan ketidakpastian dalam suaranya.”
Namun sebagai insan Tzu Chi, relawan diajarkan bahwa tujuan utama bukan hanya memberi bantuan, tapi juga membimbing penerima agar mandiri. Master Cheng Yen selalu mengingatkan bahwa Tzu Chi bukan sekadar "memberi makan", tapi juga harus mampu "memberikan kail". Dengan melihat bahwa kondisinya lebih baik, relawan pun berharap ia bisa mulai melangkah dengan kemampuannya sendiri.
Perlahan pria itu mulai memahami maksud baik para relawan. Kesadaran tumbuh dalam dirinya hingga akhirnya ia mengambil keputusan yang menggetarkan hati bahwa ia ingin menjadi relawan. Setelah Charlie selesai berbicara, Anand, relawan dari Tzu Chi Jambi melanjutkan berbagi kisah lainnya yang menggugah hati.
“Saya ingin berbagi tentang dua penerima bantuan yang masih muda,” Anand memulai cerita. “Keduanya sama-sama pernah merasa hidup mereka tak lagi berarti. Yang pertama seorang pemuda yang kehilangan penglihatan akibat kecelakaan. Yang kedu pemuda sia 20 tahun yang mengalami kelumpuhan. Ia jatuh dari ketinggian saat membantu memasang kanopi dan tersengat listrik. Kehidupannya berubah total dalam sekejap. Dari seorang pemuda yang sehat dan penuh semangat tiba-tiba tak bisa bergerak dan merasa hidupnya sudah tidak ada artinya lagi,” lanjut Anand.
Anand menceritakan bahwa bantuan sejati bukan hanya tentang memberi materi, tetapi juga tentang hadir, mendengar, dan memastikan bahwa mereka yang dibantu tidak merasa sendirian.
Sejenak Anand berhenti, membiarkan para relawan yang mendengarkan ikut merasakan kesedihan yang dialami pemuda itu.“Pada awalnya, kami mengira bantuan finansial saja sudah cukup. Tapi semakin kami dampingi, makin kami sadar bahwa yang ia butuhkan bukan hanya uang, melainkan keberadaan seseorang yang bisa mendengarkan, memahami, dan menemaninya melewati masa-masa sulit.”
“Para relawan tak hanya memberi bantuan, tapi juga mendampinginya dengan telaten. Mereka mendukungnya untuk belajar keterampilan baru hingga akhirnya bisa jadi tukang pijat tuna netra. Perlahan ia mulai bisa mencari nafkah sendiri, bahkan kini ia bisa memberikan uang pada orang tuanya.”
“Bukan hanya itu, yang membuat saya paling tersentuh adalah bagaimana ia sering bercerita kepada relawan, menjadikan kami tempat curhatnya. Mungkin bagi kita, itu terdengar sederhana. Tapi bagi mereka memiliki seseorang yang mau mendengar dan peduli adalah sesuatu yang sangat berharga.”
Beberapa relawan yang mendengarkan kisah Anand menundukkan kepala, meresapi makna dari pendampingan yang sejati. “Cerita ini mengajarkan saya sesuatu,” lanjut Anand. “Bahwa bantuan sejati bukan hanya tentang memberi materi, tapi juga tentang hadir, mendengar, dan memastikan mereka tak merasa sendirian.”
Hoklay tersenyum lembut, lalu berkata, “Itulah alasan mengapa Master Cheng Yen begitu menyesali kejadian ini. Dari satu peristiwa yang menyayat hati, lahirlah kebijaksanaan yang kini kita jalankan, kunjungan evaluasi setiap tiga bulan. Agar kita tak hanya menjadi tangan yang memberi, tapi juga hati yang mendengar dan memahami.”
Malam itu, kisah Lu Dan-gui bukan hanya sebuah cerita masa lalu, tapi cermin yang memantulkan kesadaran bagi setiap relawan. Di jalan Bodhisatwa, membantu bukan sekadar memberi, tapi juga memastikan bahwa setiap jiwa yang kita temui tetap memiliki secercah harapan untuk melangkah ke depan.
Meniti Jalan Bodhisatwa dengan Ketulusan dan Kebijaksanaan
Ketika sesi refleksi ini berakhir, para relawan belajar bahwa welas asih bukan hanya tentang memberi, tetapi juga bagaimana memberi dengan penuh kebijaksanaan. Bahwa dalam setiap tindakan sekecil apa pun, ada nilai yang lebih besar yang harus dijaga.
Mereka tak hanya membawa pulang cerita, tetapi juga pemahaman baru yang semakin memperkokoh langkah mereka di jalan kebajikan. Seperti butiran beras yang tampak kecil namun begitu berharga, demikian pula setiap langkah yang mereka ambil. Sekecil apa pun jika dilakukan dengan ketulusan dan keadilan, akan membawa manfaat yang besar bagi banyak orang.
Malam itu, mereka melangkah pulang dengan hati yang lebih lapang, dengan tekad yang semakin kuat. Dan gema yel-yel pun terus terngiang dalam benak mereka."Ikut langkah Master dengan mantap, dengan langkah yang mantap."
Editor: Khusnul Khotimah