Sebanyak 295 relawan dilantik menjadi relawan Abu Putih Logo pada Kamp Pelatihan dan Pelantikan APL dan Komite 2025 yang berlangsung 22-23 Februari 2025 di Aula Jing Si, Tzu Chi Center Jakarta.
Di balik setiap langkah seorang relawan, terdapat ikrar yang teguh dan keyakinan yang mendalam. Kamp Pelatihan dan Pelantikan APL dan Komite 2025 menjadi ajang bagi para relawan untuk meneguhkan kembali komitmen mereka dalam menjalani misi cinta kasih. Tahun ini terasa istimewa, dengan 295 relawan yang dilantik menjadi relawan Abu Putih Logo, jumlah terbanyak setelah pandemi. Kamp ini seluruhnya dihadiri oleh 682 relawan dari Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Batam, Bandung, Pekanbaru, Biak, Palembang, Lampung, Singkawang, Pontianak, Surabaya, Jambi, Makassar, Jakarta, dan Sinar Mas.
Like Hermansyah, Ketua He Xin Indonesia 2, Tzu Chi Indonesia, dalam sambutannya mengungkapkan rasa sukacitanya atas pertumbuhan ini. "Sebagai calon komite, kita harus belajar dengan sungguh-sungguh, bukan hanya memenuhi persyaratan, tetapi juga memantapkan niat. Semua ini bukan beban, melainkan bagian dari perjalanan untuk menjadi relawan yang berbobot, berbudaya humanis, dan memiliki pemahaman mendalam tentang Visi dan Misi Tzu Chi," ujarnya.
Like Hermansyah, Ketua He Xin Indonesia 2, Tzu Chi Indonesia, dalam sambutannya mengungkapkan rasa sukacitanya atas pertumbuhan relawan yang semakin panjang ini.
Like menjelaskan tema kamp tahun ini adalah "Mengikuti Ikrar Welas Asih Master dengan Langkah yang Mantap," yang menjadi pengingat bahwa setiap relawan yang memilih jalan ini bukan hanya berjanji kepada diri sendiri, tetapi juga berkomitmen untuk memikul tanggung jawab dengan hati yang teguh.
"Harapannya, selama proses memenuhi persyaratan pencalonan komite, kita dapat memantapkan diri dan membuktikan bahwa ini adalah pilihan yang tepat. Semua ini demi diri sendiri, untuk meningkatkan kepribadian dan membangun hubungan baik. Dengan menjadi komite, kita akan menjadi pribadi yang lebih humanis, bisa bersyukur, saling menghargai, dan saling memaafkan. Tujuan akhirnya adalah mencapai keharmonisan," jelasnya.
Para relawan yang datang dari berbagai kota di Indonesia, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Batam, Bandung, Pekanbaru, Biak, Palembang, Lampung, Singkawang, Pontianak, Surabaya, Jambi, Makassar, Jakarta, dan Sinar Mas bersama mengikuti rangkaian kegiatan dalam kamp.
Bagi Like Hermansyah, perjalanan ini bukan sekadar tentang menjalani tugas, tetapi juga tentang pertumbuhan diri dan pembelajaran yang berkelanjutan. Ia menekankan bahwa menjadi relawan Tzu Chi bukan hanya tentang membantu orang lain, tetapi juga tentang transformasi diri menjadi pribadi yang lebih baik.
"Dalam proses ini, kita belajar sambil berpraktik. Kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah yang kita lakukan sudah bermanfaat? Apakah ada perubahan positif dalam diri kita? Jika kita menyadari adanya perkembangan, maka kita semakin yakin bahwa kita telah memilih jalan yang benar," tuturnya.
Menghidupkan Misi Cinta Kasih di Aceh
Di antara banyak kisah relawan yang menginspirasi, perjalanan Supandi (relawan Tzu Chi Aceh) dan Su Tjheng (relawan Tzu Chi Medan) menjadi salah satu bukti nyata bagaimana ikrar welas asih dijalankan dengan penuh keteguhan hati. Mereka adalah relawan yang terjun langsung dalam misi kemanusiaan pasca-tsunami Aceh 2004.
Supandi (relawan Tzu Chi Aceh) dan Su Tjheng (relawan Tzu Chi Medan) berbagi tentang perjalanan Tzu Chi Aceh dalam bersumbangsih sejak bencana tsunami hingga 20 tahun setelahnya.
Ketika bencana melanda, mereka tidak hanya berfokus pada evakuasi dan bantuan darurat, tetapi juga mulai merancang strategi untuk membangun kembali komunitas yang hancur. Ada tiga tahap bantuan yang dilaksanakan yakni bantuan jangka pendek, menengah, dan panjang dengan prinsip menenteramkan raga, menenteramkan jiwa, dan memulihkan kehidupan. Sampai saat ini Tzu Chi mempunyai tiga perumahan di Aceh: Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Panteriek, Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Neuheun, dan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Meulaboh.
Cinta kasih yang kini sudah berusia 20 tahun itu pun tak berhenti dan terus terjalin. “Setelah 20 tahun, kini Tzu Chi ada di 9 titik di Aceh. Ini bukanlah hal yang mudah,” ucap Su Tjheng.
Dalam dua hari pelatihan, total sebanyak 682 relawan mengikuti berbagai materi dengan seksama sebagai bekal dalam berkegiatan Tzu Chi.
Dengan ketekunan, sedikit demi sedikit mereka mulai mengajak lebih banyak orang untuk turut serta. “Hingga kini 20 tahun pascatsunami, ada 200 hingga 300 orang akhirnya mengikuti pelatihan yang Tzu Chi Aceh adakan, meskipun proses ini tidak mudah. Banyak masyarakat yang awalnya menolak, ragu, atau bahkan tidak memahami tujuan dari Tzu Chi ini,” jelas Supandi. "Kami menghadapi banyak penolakan, tetapi kami tidak menyerah. Kami terus berbicara dari hati ke hati, meyakinkan mereka bahwa ini bukan sekadar bantuan, tetapi sebuah kesempatan untuk bersama-sama membangun kembali kehidupan," imbuhnya.
Perjuangan mereka membuahkan hasil. Kini tidak hanya di perumahan tapi di kota lain pun sudah mempunyai relawan yang aktif. Tidak hanya itu, mereka juga berhasil mengadakan kegiatan Bazar Pekan Amal dan Bakti Sosial Kesehatan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan perawatan medis.
Mengikuti Ikrar dengan Hati yang Mantap
Perjalanan ikrar cinta kasih juga dibagikan oleh Juskitar, seorang dokter yang juga menjadi relawan Tzu Chi di Medan. Dalam perjalanan menjadi relawan, banyak tantangan yang harus dihadapi. Sebagai seorang dokter, Juskitar tidak banyak menghadapi tantangan dalam menggalang dana untuk kegiatan sosial, namun kesibukannya lah yang mungkin perlu dipertimbangkan. “Tapi karena dia sudah terjun, ya harus terjun dengan sepenuhnya. Maka ketika sudah dilantik menjadi relawan komite, komitmen itu harus ada,” ungkapnya.
Juskitar, relawan Tzu Chi di Medan berbagi tentang kisahnya menjalin jodoh dengan Tzu Chi.
Mengikuti ikrar Master Cheng Yen bukanlah keputusan yang diambil dengan mudah. Ia merasa bahwa tekad dan niat baik saja tidak cukup. Namun, setelah lebih dalam mendalami ajaran Dharma, ia menyadari bahwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Juskitar meyakini bahwa perjalanannya di Tzu Chi adalah bagian dari jodohnya dengan ajaran Master Cheng Yen, di mana setiap tantangan menjadi proses pembelajaran yang harus dijalani dengan penuh tanggung jawab. Sebagai relawan, ia selalu berpegang pada prinsip untuk tidak menolak tugas yang diberikan, karena setiap kesempatan baginya adalah pelajaran berharga yang dapat membentuk dirinya.
"Menjadi komite bukanlah akhir perjalanan, tetapi awal dari pengabdian yang lebih besar. Setelah dilantik, kita memiliki tanggung jawab untuk benar-benar memahami misi dan memberikan kontribusi yang nyata," tegasnya.
Melihat relawan dari Aceh hingga Papua, hadir selama dua hari (22 – 23 Februari 2025) dan giat ikut dalam kamp di Aula Jing Si Pantai Indah Kapuk ini, ia pun turut bersukacita. Kepada para relawan yang hari itu dilantik ke jenjang kerelawanan Abu Putih Logo, ia berpesan agar menjadikan perjalanan ini sebagai panggilan hati, bukan sekadar tren atau pencapaian pribadi.
Para relawan senior membimbing seluruh peserta kamp dalam peragaan isyarat tangan lagu Tzu Bei De Bu Fa (Jejak Langkah Welas Asih).
"Jika kita tidak memiliki tekad dan komitmen yang kuat, perjalanan kita di Tzu Chi akan mudah terhenti. Namun, jika kita mengikuti jejak Master Cheng Yen dengan keyakinan yang teguh, setiap rintangan justru akan memperkuat tekad kita," ujarnya.
Seperti seorang dokter yang harus bertemu dengan pasien untuk benar-benar mengamalkan ilmunya, seorang relawan juga harus terjun langsung dalam misi kemanusiaan agar bisa memahami esensi dari pengabdian. "Saat kita merasa lelah atau ragu, ingatlah kembali tekad awal kita. Setiap langkah yang kita ambil di jalan ini bukan hanya tentang bekerja keras, tetapi juga tentang memberikan kontribusi tulus untuk kebaikan masyarakat," tutupnya.
Editor: Arimami Suryo A