Hendry Chayadi memaparkan Sepuluh Pedoman Hati. Sebuah pedoman yang dapat menuntun relawan dalam menjalankan tanggung jawab.
Pembahasan tentang Sepuluh Pedoman Hati yang disampaikan Hendry Chayadi membuka Pelatihan Relawan Komite dan Abu Putih Logo di Tzu Chi Center, PIK, pada 9-10 Maret 2024. Penyampaian Hendry yang runut disertai contoh-contoh membuat 539 peserta, yang sebagian adalah para calon relawan komite mendapat bekal dalam mengarungi perjalanan mereka selanjutnya sebagai relawan komite.
“Calon anggota komite ini akan menjadi anggota komite Tzu Chi yang mengemban misi-misi Tzu Chi dengan lebih teguh lagi. Karena itu kita perlu membekali dengan hal-hal yang membuat mereka semakin yakin bahwa jalan di Tzu Chi ini adalah jalan yang benar, jalan yang tidak akan membawa penyesalan,” terang Hendry.
Sepuluh Pedoman hati tersebut adalah; (1) Di tengah penderitaan, kembangkanlah welas asih. (2) Di tengah ketidakpastian, ujilah kebijaksanaan. (3) Di tengah kesulitan, bangkitkanlah keteguhan. (4) Di tengah keribetan, latihlah kesabaran. (5) Di tengah kerumitan, kagumilah setiap sisi positif. (6) Di dalam menggapai cita-cita, kejarlah kemajuan. (7) Di dalam hubungan antarmanusia, hendaklah saling bersyukur (8) Di tengah masyarakat, binalah keharmonisan tanpa pertikaian. (9) Di tengah alam ini, biarkan alam memulihkan diri. (10) Di tengah dunia ini, mari lenyapkan bencana.
Sebanyak 594 relawan hadir dalam pelatihan ini.
Sepuluh Pedoman Hati merupakan refleksi batin Master Cheng Yen yang beliau tulis tatkala Topan Morakot menerjang Taiwan pada 6-10 Agustus 2009. Topan Morakot membawa curah hujan tinggi yang menghancurkan Chiayi, Tainan, Kaohsiung, Pingtung, Taitung, dan wilayah sekitar. Banyak wilayah dilanda banjir dan longsor. Desa Xiaolin di Jiaxian, Kaohsiung bahkan tertimbun longsor setinggi lima lantai akibat meluapnya air danau penghalang yang merenggut nyawa hingga 500 orang.
Tak tega melihat ribuan warga kehilangan tempat tinggal, Master Cheng Yen berniat membangunkan warga rumah permanen. Namun niat untuk merelokasi warga suku asli yang sudah turun temurun tinggal di pegunungan ke dataran rendah menimbulkan keraguan berbagai pihak.
Upaya Master Cheng Yen dan para relawan membangun rumah permanen tersebut melalui proses yang kompleks dan berbagai rintangan. Master terus melakukan perjalanan ke selatan Taiwan hingga akhirnya tiba di Pingtung. Lalu kembali lagi ke Kaohsiung dan Tainan. Demikianlah Master Cheng Yen mengunjungi setiap tempat.
Setelah mendengar apa yang dikatakan orang-orang, Master Cheng Yen menuliskan kondisi batin beliau. Bahwa kita harus mengembangkan welas asih di tengah penderitaan. Karena saat menghadapi begitu banyak kesulitan, tanpa adanya welas asih, kita akan menyerah. Singkat cerita, tekad Master Cheng Yen untuk menyediakan rumah permanen yang bisa ditempati turun temurun, serta tahan gempa dan badai itu pun terwujud.
Master Cheng Yen menggunakan Sepuluh Pedoman Hati tersebut untuk mendorong insan Tzu Chi senantiasa mengingat dalam setiap perjalanan mereka di Tzu Chi, yang meliputi perjalanan batin dan spiritual. Para relawan mesti mengingat 10 pedoman tersebut agar lebih teguh menghadapi berbagai tantangan.
“Karena di Tzu Chi tentu walaupun kita banyak berbuat keluar membantu yang membutuhkan, yang tidak kalah penting adalah perkembangan batin kita. Karena itu untuk kita tetap bisa mengembangkan dan menjaga kemurnian batin kita, tidak terpengaruh kondisi di luar, kita perlu pedoman-pedoman yang senantiasa kita ingat dan kita kembangkan dalam batin,” pungkas Hendry.
Mendukung Para Relawan Muda
Bagi Haryo Suparmun, slogan faith, vows, action harus terus digaungkan. Tiga kata tersebut mencerminkan spirit kerelawanan Tzu Chi.
Kamp pelatihan relawan kali ini merupakan kamp pertama usai Tzu Chi Indonesia melewati usia 30 tahunnya. Ada yang sedikit berbeda dari suasana pelatihan kali ini yang mana para pembicaranya banyak yang masih terbilang muda. Termasuk Henry Chayadi. Lalu di sesi talkshow ada juga Yusni dan Surya.
“Kali ini kami memberi kesempatan yang muda-muda. Ada kombinasi juga dengan yang senior. Tapi melihat ke depan ya kita tidak bisa terlalu seniority lagi. Kita harus majukan yang muda-muda supaya kedepannya dia bisa meneruskan estafet,” kata Haryo Suparmun, ketua tim pelatihan.
Pada pelatihan kali ini, tim pelatihan tidak banyak memberikan materi yang banyak filosofinya, kecuali dari De Chen Shifu dari Taiwan tentang Keyakinan, Ikrar, dan Praktik di Jalan Bodhisatwa, dan materi tentang 10 Sila yang lebih teoritis. Materi lainnya lebih banyak tentang pengalaman di lapangan.
Tema pelatihan kali ini adalah faith, vows, action, tiga kata yang sebenarnya sudah sering didengar oleh para relawan, namun harus terus digaungkan. Tiga kata tersebut mencerminkan kerelawanan Tzu Chi.
“Kita harus yakin dulu bahwa apa yang kita pelajari dalam hal ini Dharma Master Cheng Yen, dan apa yang kita lakukan adalah bermanfaat bagi diri kita. Seperti yang disampaikan Henry Shixiong bahwa kalau di Tzu Chi kita sampai secara spiritual nggak ada kemajuan, artinya kita yang rugi. Kita yakin dulu itu. Dari keyakinan itu baru kita berikrar. Bahwa saya mau loh begitu. Saya mau karena berdasarkan keyakinan itu saya mau melakukannya. Tapi kalau cuma mau kan tidak ada action ya. Maka kita wujudkan dalam action sehari-hari,” terang Haryo Suparmun.
Menyadari Keberkahan Melalui Kegiatan Amal
Wei Sioeng mengisahkan perjalanannya menekuni kegiatan Misi Amal Tzu Chi.
Materi lainnya disampaikan Wie Sioeng, Fungsionaris Misi Amal Tzu Chi Indonesia, tentunya tentang Misi Amal. Awalnya, Badan Amal “Ke Nan” Tzu Chi didirikan oleh Master Cheng Yen pada tahun 1966, yang mana pada masa tersebut kondisi kehidupan masyarakat masih sulit. Master Cheng Yen mengajak para insan Tzu Chi untuk terjun langsung ke masyarakat sehingga dapat melihat penderitaan agar dapat memahami arti bersyukur dan berkah yang dimiliki.
Wie Sioeng yakin sebagian besar peserta pelatihan sudah pernah terjun langsung ke masyarakat dalam berbagai aktivitas serta aksi nyata. Dengan terjun langsung, relawan pun lebih memahami karena dapat melihat, mendengar, dan merasakan secara langsung apa yang dihadapi masyarakat. Master Cheng Yen pernah berkata ‘dengan melihat penderitaan, maka akan menyadari keberkahan’.
“Sebelum mengenal Tzu Chi, saya selalu merasa ada yang kurang dalam kehidupan dan tidak cukup puas dengan apa yang dimiliki pada saat itu”, tutur Wie Sioeng; “tapi melalui Tzu Chi saya merasakan suatu berkah yang luar biasa dan sangat bersyukur karena di luar sana masih banyak orang yang lebih menderita.”
Wie Sioeng menyampaikan bahwa kita belajar dengan berbuat dan memperoleh kesadaran dari pembelajaran, selanjutnya dapat berbuat dengan penuh kesadaran. Ia pun menekankan bahwa pada dasarnya ketika mempraktikkan ajaran Tzu Chi, maka harus dilakukan dengan berkesadaran.
“Saat membantu orang lain kita pun bertumbuh, mengembangkan kekuatan hati dan kesadaran diri. Dalam Tzu Chi kita dapat belajar tentang membuka pikiran, mengembangkan ladang kebijaksanaan. Dengan kita memiliki landasan keyakinan yang kuat, baru dapat menciptakan suatu ikrar yang kokoh. Bila memiliki keyakinan dan ikrar tanpa melakukan praktik nyata maka tidak akan menghasilkan sesuatu. Sebagai penutup, ia mengingatkan kepada seluruh peserta pelatihan bahwa keyakinan, ikrar, dan praktek nyata merupakan tiga unsur yang saling berkaitan.
Indahnya Bervegetaris
Caroline membagikan perjalanannya menjadi seorang vegetaris.
Materi seru lainnya disampaikan Caroline Widjanarko, yang merupakan kepala sekolah di tingkat secondary dari Tzu Chi School. Ia membagikan perjalanan nya menjadi seorang vegetaris. Ia mulai mengenal tentang pola makan vegetarian saat kedua orang tuanya mulai bervegetaris pada tahun 1993. Melihat hal itu tidak serta merta membuatnya memutuskan untuk bervegetaris. Namun tujuh tahun kemudian barulah Caroline merasa bahwa menjadi vegetarian adalah hal yang baik.
“Menjadi vegetarian itu sehat, bukan hanya secara lahiriah tapi juga secara batiniah,” papar Caroline. Hal ini karena tidak merugikan makhluk lain untuk bisa menjadi sehat.
Kunci utama dalam menjalankan pola makan vegetarian adalah dengan happy, rela, dan dengan niatan baik maka hasilnya juga akan baik. “Ketika kita menjalani dengan rela, dengan gembira, dan kita menunjukkan manfaatnya, maka itu akan lebih membuat orang terinspirasi untuk mau bervegetarian juga,” tambahnya.
Menjadi vegetari tentu tidaklah mudah, salah satunya dalam menghadapi pandangan masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa vegetarian menyebabkan kurang gizi bahkan sulit mendapatkan pasangan hidup. Namun Caroline yang sudah menjalankan vegetarian sejak usia 20 tahun mematahkan pandangan masyarakat tersebut, bahkan saat ini suami dan anaknya juga sudah bervegetaris.
“Kedua anak saya sangat aktif, dan di sekolah juga ikut kegiatan olah raga, mereka sangat sehat. Breaking news juga bahwa sampai saat ini saya belum pernah terpapar Covid-19,” tambahnya yang diikuti dengan riuh tepuk tangan peserta kamp pelatihan.
Menjadi vegetaris juga merupakan hal yang selalu digaungkan oleh Master Cheng Yen. Dengan menerapkan pola makan nabati dan bersama-sama berbuat kebajikan demi melindungi bumi yang juga sesuai dengan sila pertama Tzu Chi ‘Jangan Membunuh’ yang mana ini juga diartikan bahwa kita harus bisa berwelasasih kepada semua makhluk.
Tekad Ingin Berjumpa dengan Master Cheng Yen
Susanna (sweater hitam) sangat senang bisa mengikuti pelatihan selama dua hari ini.
Pada pelatihan kali ini ada sebanyak 205 relawan Tzu Chi yang dilantik menjadi relawan calon Komite. Salah satunya Susanna (78) yang merupakan relawan Tzu Chi Aceh. Jalinan jodohnya dengan Tzu Chi bermula ketika ia menyaksikan para relawan Tzu Chi membantu korban tsunami pada tahun 2004. Kala itu ia bertemu dengan relawan dari Jakarta, Supandi, yang akhirnya menetap di Bandar Aceh dan menjadi salah satu pionir mengembangan Tzu Chi di sana.
“Akhirnya saya mengikuti beberapa kegiatan baksos bersama Supandi Shixiong dan saya senang. Pada saat kunjungan ke Jakarta 2012 bertemu dengan Like Shijie dan juga memberikan arahan. ‘Nanti pulang ke Banda Aceh jangan lupa ajak kawan dan cerita tentang Tzu Chi.’
Di usianya yang sudah tidak muda lagi Susanna tetap semangat melakukan kegiatan Tzu Chi. Setiap kegiatan ia selalu membawa kendaraan sendiri walaupun ke daerah pelosok-pelosok. “Saya tetap di jalan ini karena Tzu Chi merupakan yayasan yang bagus, suka menolong, di mana ada orang susah atau bencana pasti suka pergi membantu dan hal ini itu merupakan berkat, jika saya tidak ada uang saya bantu pakai tenaga.” Ungkapnya.
Susanna merupakan relawan pertama yang akan menjadi relawan komite di Banda Aceh. Sempat ia merasa takut tidak mampu menjalankan tanggung jawab menjadi relawan komite. Namun dukungan keluarganya membuatnya yakin. “Jika saya diizinkan jumpa Master Cheng Yen saya sangat senang sekali,” ungkapnya penuh haru.
Janty (masker putih), selalu mengenggam kesempatan untuk mengikuti kegiatan Tzu Chi.
Sementara itu Janty (51) merupakan relawan Tzu Chi Pekanbaru. Ia sering sekali bolak balik Pekanbaru – Medan karena ibunya sedang sakit. Karena hal ini ia pun sering tinggal di Medan hingga 1-2 bulan, dan sering mengikuti kegiatan di Tzu Chi Medan. “Setiap ada kesempatan saya selalu genggam, kalau saya berbuat baik anak saya pun bisa berbuat baik karena orang tua adalah cermin anaknya. Saat ini kedua anak saya menjadi relawan Tzu Ching Taiwan, dan belum lama ini anak saya bertemu Master Cheng Yen. Ia berkata ‘Mami saya bertemu Master dan saya mewakili mami untuk melihat Master,” ungkapnya menirukan ucapan sang anak.
Awalnya Janty belum berniat berganti seragam alias menjadi relawan calon komite, namun karena ungkapan dari anaknya tersebut, ia pun mantap. “Dan juga saya mendengar Master sempat tidak keluar Senin-Selasa pada saat Xun Fa Xiang, karena kondisi Master tidak baik, hal ini membuat saya termotivasi untuk cepat bertemu Master,” pungkasnya.
Editor: Hadi Pranoto