Kamp Pelatihan Relawan Komite dan Abu Putih Logo 2024 ini juga diisi dengan talk show Ketulusan dan Kasih Sayang Diwariskan dari Generasi ke Generasi dengan narasumber Surya Kheng, Haryo Suparmun, Yusniaty, Lynda Suprapto, dan Livia Tjhin yang dipandu oleh Hok Lay sebagai moderator.
Mengusung tema Ketulusan dan Kasih Sayang Diwariskan dari Generasi ke Generasi, talk show yang dipandu Hok Lay mengundang lima narasumber. Kelimanya merupakan relawan yang telah mengemban berbagai tanggung jawab dalam kerelawanan. Surya Kheng adalah satu di antaranya.
Pada akhir 2005, ketika Surya baru menyelesaikan kuliah, ia yang berusia 22 tahun saat itu memulai perjalanan batinnya di Tzu Chi. Ia berkenalan dengan Tzu Chi pada awal tahun yang sama melalui Buletin Tzu Chi. Saat membaca salah satu tulisan di buletin tersebut, terbersit niat untuk bergabung menjadi relawan yang terjun ke lokasi bencana suatu saat nanti. “Saya membaca berita mengenai tsunami Aceh. Dan pada saat itu timbul sebuah niat suatu hari pengen seperti mereka, terjun ke tempat bencana,” papar Surya. Selama kuliah, ia juga terus menggali informasi lebih dalam dan akhirnya memutuskan bergabung dengan Tzu Chi setelah lulus.
Tak seorang pun luput dari badai kehidupan. Termasuk Surya, yang sudah membina keluarga dengan Suriyanti Bakri yang dikenalnya di Tzu Chi. Saat itu, pasangan suami istri tersebut sedang berbahagia setelah dikaruniai anak pertama. Bayi laki-laki menggemaskan yang belum genap sebulan. Namun, di saat yang sama, Suriyanti yang akrab dipanggil Suri, yang jarang sakit tiba-tiba divonis mengidap penyakit Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP), kelainan trombosit autoimun yang mempengaruhi proses pembekuan darah sehingga kondisi tubuhnya dari hari ke hari semakin lemah. Bila dibiarkan, akan membuatnya lumpuh seumur hidup. Peristiwa yang terjadi pada tahun 2014 tersebut menandai titik balik dalam hidup Surya.
Surya menceritakan kisahnya yang sejak muda sudah memutuskan menjadi relawan Tzu Chi.
Di saat itu, kerisauan mulai menggelayuti hati Surya, apalagi dia baru meniti karirnya. Beruntung, sekelompok relawan Tzu Chi rutin memberikan perhatian dan motivasi kepada keluarganya agar tidak terpuruk. Berkat benih karma masa lalu dan jalinan jodoh baik dengan Tzu Chi jugalah, Suri akhirnya bisa menjalani pengobatan di Rumah Sakit Tzu Chi Hualien, Taiwan, dari 2014 hingga 2016. Total ada tiga kali operasi yang dijalani Suri.
Selama Suri pulang pergi menjalani perawatan, Surya berusaha ekstra serta berperan ganda menjadi ayah dan ibu sekaligus. Walau sudah mendapatkan jaminan pengobatan di Taiwan, batin Surya masih diliputi kerisauan. Ada seorang shifu yang datang menghampiri Surya saat mereka berkesempatan bertemu Master Cheng Yen dan juga memberikan nasihat kepadanya.
Perjalanan hidup Surya juga tak selalu mulus, cobaan berat dirasakan ketika sang istri yang juga relawan Tzu Chi mengalami sakit berat. Beruntung, sang istri kembali pulih dan keduanya tetap bersama-sama berbuat kebajikan di Tzu Chi.
“Shifu tersebut bilang, ’Shijie Anda adalah seorang Bodhisatwa Agung yang datang untuk menyempurnakan pelatihan diri Anda.’ Setelah mendengar kata tersebut, hati saya langsung menjadi plong, soalnya saya menjadi sadar apa yang saya alami merupakan bagian dari pelatihan diri saya,” tutur Surya, yang kini mengemban tanggung jawab sebagai Wakil He Xin Korbid Isyarat Tangan.
Dengan segala perjuangannya bersama sang istri dan mitra bajik yang mendukungnya termasuk para relawan Tzu Chi, Suri kini sembuh total. Surya dan sang istri pun kembali aktif berkegiatan di Tzu Chi.
Yusniaty: Membagi Waktu dengan Baik
Narasumber kedua adalah Yusniaty yang telah menjalin jodoh dengan Tzu Chi sejak tahun 2012. Perkenalannya dengan Tzu Chi sebenarnya sudah dimulai sejak Tzu Chi School berdiri di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Saat itu, ia tertarik menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut karena mendengar adanya pendidikan budi pekerti dalam kurikulumnya. Tak pernah terpikirkan olehnya untuk bergabung menjadi relawan saat itu, walau sudah beberapa kali mengikuti kegiatan donor darah yang diadakan Tzu Chi di sana. Dari anaknya, ia pun semakin akrab dan mengenal Tzu Chi lebih dalam.
Yusniaty mengenal Tzu Chi sejak tahun 2012 tatkala menyekolahkan putranya di Tzu Chi School. Ia baru mulai bergabung menjadi relawan saat tahun 2013, ketika Tzu Chi membantu para korban banjir di Jakarta.
Saat banjir besar melanda Jakarta tahun 2013, Yusniaty beserta para orang tua murid kelas anaknya berinisiatif membantu sebagai relawan pembungkus nasi bagi para korban banjir. Ibu beranak dua ini merasa terpanggil untuk ikut bersumbangsih. “Akhirnya saya datang ke Tzu Chi PIK. Walaupun saat itu cuma bantu packing kardus, namun saya sangat senang, bisa sedikit membantu,” tutur Yusniaty.
Jalan Bodhisatwa yang mulai ditapaki Yusniaty saat itu tidak berjalan mulus. Kesibukan Yusniaty dalam mengurus rumah tangga, ditambah harus merawat dan mendidik kedua anaknya yang masih kecil, menjadi alasan suami Yusniaty tak menyetujui keinginannya. Apalagi anak pertamanya berkebutuhan khusus, belum bisa berkomunikasi.
Asa bersumbangsih tetap menyala. Yusniaty berusaha menyakinkan suaminya melalui tekad dan tindakannya. “Yang penting saya tetap berkomunikasi dengan dia. Urusan keluarga tetap diutamakan. Jadi, sebelum saya ke Tzu Chi, urusan rumah harus saya selesaikan dulu. Saya harus curi waktu, cari waktu, atur waktu,” ungkapnya. Lambat laun, suaminya pun paham dan mendukung.
Hal yang kemudian dipelajari Yusniaty saat berkegiatan bersama para relawan di Tzu Chi adalah bersabar dan berlapang dada, yang diterapkannya pada diri sendiri. “Saya sendiri merasa kalau saya bisa berkegiatan di Tzu Chi, saya bisa banyak belajar dan memetik ilmu kehidupan yang saya peroleh. Di samping bersumbangsih, saya juga bisa menjalin jodoh dengan banyak orang,” jelas Yusniaty yang kini mengemban tanggung jawab sebagai Wakil Koordinator He Xin ZSM.
Meski awalnya sang suami keberatan, Yusni akhirnya bisa meyakinkan bahwa sebagai relawan Tzu Chi, ia pun tetap dapat menjalankan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga dengan baik.
Dulu, Yusniaty sempat hampir putus asa karena banyaknya perkataan yang diterimanya mengenai betapa sulitnya mendidik anak berkebutuhan khusus. Ini yang membuatnya tertekan dan tidak mengetahui langkah yang harus dijalani. Beruntung, sebagai relawan, Yusniaty bertemu banyak orang yang menginspirasi dan belajar berlapang dada. Bahkan terkadang dirinya melihat kondisi orang lain yang lebih sulit saat merawat anak mereka. Ia pun bisa lebih menerima kondisinya. Dengan kehadiran anaknya tersebut di tengah keluarganya, Yusniaty menjadi lebih sabar, pengertian, dan lebih bisa memberi daripada hanya sekadar menuntut.
“Shixiong Shijie, jika kita ingin membuat orang lain lebih respek dan mengapresiasi kegiatan yang kita lakukan, kita harus mampu membuat orang itu percaya bahwa kita sudah berubah. Yang tadinya suka emosian berubah menjadi lebih sabar, tiap hari pakai krim Tzu Chi agar bisa senyum terus,” simpul Hok Lay.
Haryo Suparmun: Pengetahuan dan Pengalaman Harus Dipraktikkan
Yang ketiga, ada Haryo Shixiong, seorang intelektual yang memiliki gelar berentet, antre di belakang namanya,” kelakar Hok Lay ketika memperkenalkan narasumber berikutnya, Haryo Suparmun. Di samping panggilan jiwanya sebagai seorang dosen di salah satu universitas di Jakarta, Haryo juga berprofesi sebagai konsultan keuangan. Tak berhenti di sana, ia juga sempat menulis beberapa buku di sela-sela kesibukannya. Begitu banyak aktivitas yang menyita waktunya, namun Haryo tetap bertekad untuk bersumbangsih di Tzu Chi.
“Prinsipnya adalah kita ingin berbuat dengan terjun ke masyarakat. Saya teringat perkataan dari guru besar ilmu filsafat pada saat saya kuliah S-3, ‘Pengetahuan dan pengalaman yang positif, kalau kita tidak amalkan, nanti akan tinggal kenangan.’ Untuk itu, saya mencoba mengamalkan pengetahuan dan pengalaman di Tzu Chi,” papar Haryo.
Lahir dari keluarga sederhana, Haryo ingin membuktikan bahwa pendidikan adalah jembatan sekaligus harapan bagi setiap orang untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Pengalaman hidupnya juga yang menempa mental dan tekad Haryo sekokoh baja. Sementara kegigihan, kejujuran, dan sikap rendah hati yang diperolehnya dari didikan orang tua serta keluarga. Kombinasi antara pengalaman dan hasil didikan inilah yang terus menuntunnya dalam menjalani kehidupan.
Haryo Shixiong, seorang intelektual yang memiliki gelar panjang. Di samping panggilan jiwanya sebagai seorang dosen, Haryo juga berprofesi sebagai konsultan keuangan dan juga menulis buku. Begitu banyak aktivitas yang menyita waktunya, namun Haryo tetap bertekad untuk bersumbangsih di Tzu Chi.
Haryo, yang mengemban tanggung jawab sebagai Koordinator He Xin Pelatihan, sudah menjadi donatur Tzu Chi sejak 1998, sempat terhenti dan baru lanjut kembali pada 2010. Perkenalannya dengan Tzu Chi semakin dalam tatkala perusahaannya ditawari dan kemudian dinyatakan terpilih saat mengikuti proses seleksi auditor bagi Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Seiring itu juga, keinginan untuk menjadi relawan tumbuh dengan sendirinya. Sekitar tahun 2011, ia pun bergabung dalam barisan cinta kasih Tzu Chi.
Tugas sebagai auditor pun diserahkan ke partnernya dan Haryo memilih untuk “mengaudit hatinya” dan menekuni jalan Bodhisatwa. Kegiatan bedah buku dipilihnya sebagai kegiatan pertama, hingga berlanjut dengan berbagai kegiatan Tzu Chi lainnya. Perjalanan batin terus dilanjutkan Haryo dengan berkegiatan di Tzu Chi sembari membina kebijaksanaan dan menguatkan pelatihan dirinya. Namun, kerisauan mulai menggelayutinya seiring tetes demi tetes Dharma yang mengaliri relung batinnya. Hal ini lantaran pekerjaannya yang kerap berbenturan dengan hati nuraninya.
“Dari saya, membina kebijaksanaan adalah seperti ini, ada beberapa ajaran Master yang saya renungkan sejak lama. Sebagai konsultan, saya seringkali konflik antara peraturan dan kemauan dari wajib pajak. Peraturan berkata seperti ini, pihak wajib pajak mengatakan seperti itu. Jadi, seiring kita merenungkan ajaran Master, ada baiknya kita juga mendidik wajib pajak, agar lebih terlihat (sesuai dengan ajarannya),” ungkap Haryo.
Sebagai dosen dan konsultan keuangan, Haryo mencoba menerapkan apa yang disampaikan Master Cheng Yen dalam menjalankan roda organisasi. Meski awalnya tidak mudah serta berdampak terhadap jumlah klien dan pendapatannya, Haryo telah mengambil keputusan bulat terkait hal tersebut. Ia pun memperbaiki cara kerjanya, dengan hanya menerima klien-klien yang memang secara data dan pencatatan keuangan perusahaannya tergolong Clean (bersih dan taat hukum).
“Memang di awal-awal kami kehilangan banyak klien. Tapi, belakangan yang datang klien-klien yang bagus. Ini mungkin juga karena ada zhu fu dari Master juga,” terang Haryo tersenyum bangga. Namun, ada konsekuensi yang harus diterima Haryo selain kehilangan klien, mereka juga merasa Haryo arogan dan terlalu idealis. “Waktu itu banyak klien yang pergi karena menganggap saya arogan dan sok benar. Konsultan besar saja nggak berani ngomong gitu sama saya karena saya bayar kamu. Kemudian, saya bilang kepada mereka, ‘Saya terima bonus dari Anda, bukan berarti saya bekerja untuk Anda. Saya adalah seorang konsultan, bukan pegawai Anda.’,” jelas Haryo.
“Prinsipnya adalah kita ingin berbuat dengan terjun ke masyarakat. Saya teringat perkataan dari guru besar ilmu filsafat pada saat saya kuliah S-3, ‘Pengetahuan dan pengalaman yang positif, kalau kita tidak amalkan, nanti akan tinggal kenangan.’ Untuk itu, saya mencoba mengamalkan pengetahuan dan pengalaman di Tzu Chi,” papar Haryo.
Setiap narasumber yang hadir mengalami perubahan dalam dirinya setelah mendalami prinsip kebenaran yang diajarkan Master Cheng Yen, tak terkecuali Haryo. Kegemaran lamanya berinvestasi options sempat dituangkannya dalam buku berjudul Options Strategies, berisi panduan praktis berinvestasi di pasar modal. “Buku saya sebenarnya bukan mengajak main options, tapi mengajari berinvestasi positif. Dulu saya suka main options di Amerika, biasa mantengin monitor dari jam 9 sampai jam 11 malam, setelah itu stop, saya batasi waktunya hingga jam segitu,” tutur Haryo. Pada kesempatan yang sama, ia juga mengingatkan kepada relawan bahwa “kegemaran” seperti ini sangat rentan dan penuh risiko.
Setelah membatasi kegemarannya ini, Haryo mengaku hidupnya lebih tenang. Ada perbedaan signifikan mengenai saham dan options, yang mana jumlah uang yang dikeluarkan untuk saham lebih besar, tetapi bersifat jangka panjang dan relatif aman. Sementara, options berkebalikan seratus persen. “Kalau saham jatuh, sahamnya masih milik kita, suatu saat harganya bisa pulih lagi. Kalau options itu, seperti pasang lotere, kalau nggak dapat duitnya habis,” terang Haryo.
Hidup adalah rangkaian keputusan-keputusan penting yang kita pilih setiap hari. Setiap orang pasti mengalami berbagai pilihan dalam hidup, baik ataupun buruk. Pertanyaannya, beranikah kita untuk mengubah dan memperbaikinya? Jawabannya ada dalam diri masing-masing. “Perubahan ini belum bersifat final, karena saya akan terus mengamalkan pengetahuan dan pengalaman saya. Makanya, sekarang saya juga stop mengarang buku yang spekulatif, sesuai dengan sila Tzu Chi yang ketujuh,” tegas Haryo.
Lynda Suparto: Bahagia Bersama Keluarga di Tzu Chi
“Saya salut dengan ibu muda satu ini, Lynda Shijie. Di usia yang ke-30 waktu itu, sebagai seorang pengusaha dan seorang istri, masuk ke dalam Tzu Chi. Keempat anaknya juga diboyong ikut Tzu Chi. Sungguh jalinan jodoh yang luar biasa,” ungkap Hok Lay memperkenalkan narasumber keempat, Lynda Suparto.
Seperti relawan Tzu Chi pada umumnya, awalnya Lynda hanya menjadi donatur tetap. Setiap bulan ia menyumbang untuk kemanusiaan melalui Tzu Chi. Namun, karena kerap kali mendengarkan cerita dari Awaluddin, suaminya, yang lebih dulu bergabung menjadi relawan serta didorong rasa penasaran, Lynda ikut ke Serang saat Tzu Chi mengadakan baksos kesehatan.
Sejak usia 30 tahun, Lynda Suparto sudah bergabung di Tzu Chi. Selain bersama suami berkegiatan Tzu Chi, Lynda juga mengajak keempat anaknya ikut kegiatan Tzu Chi.
Awaluddin memang selalu menceritakan pengalamannya usai berkegiatan Tzu Chi. Ceritanya kala itu seputar para relawan yang terlibat dalam pembagian bantuan malah mengucapkan Gan En (bersyukur) kepada para penerima bantuan, yang alasannya tak lain karena ungkapan syukur para relawan yang telah diberikan kesempatan untuk berbuat kebajikan.
“Dalam hati saya sebenarnya nggak percaya, apa benar ada yayasan seperti itu, sudah menyumbang tapi berterima kasih kepada yang diberi bantuan,” kata Lynda yang bergabung dengan Tzu Chi sejak 1997.
Sejak saat itulah, hati dan pikiran Lynda terbuka. “Ternyata memang benar-benar nyata. Saya baru pertama kali lihat langsung tersentuh dan tergugah,” kenangnya.
Setelah itu, Lynda memutuskan untuk mengikuti jejak sang suami. Keraguan sempat menghinggapi dirinya kala itu tatkala mengingat buah hatinya yang masih kecil. “Banyak yang bilang anak masih kecil, tunggulah anak sudah besar baru ikut Tzu Chi. Lalu, apakah Lynda harus stop kerja Tzu Chi? Kan tidak harus. Shixiong Awaluddin waktu itu juga bilang, ’Ayo kita ajak, kita bawa semua anak ikut kegiatan Tzu Chi. Jangan khawatir banyak yang bisa dipelajari dan kita juga bisa belajar dari Shijie lain.’,” papar Lynda.
Sejak itu, buah hatinya selalu dilibatkan dalam berbagai kegiatan Tzu Chi, walau hanya mengerjakan aktivitas sederhana. “Seperti di baksos pengobatan, anak-anak kami libatkan di bagian pendaftaran. Mereka bisa menghibur pasien dengan shouyu atau menyanyikan lagu ceria. Mereka juga bisa isi acara dengan menghibur shigu shibo yang seharian berkegiatan,” kata Lynda. “Pas Tzu Chi bangun Rusun Cinta Kasih Cengkareng, setiap He Qi diminta guan huai seniman bangunan. Lynda juga ajak anak-anak, ngajari mereka menyendoki makanan dan memberikan air minum kepada seniman bangunan. Dengan begitu, mereka bisa belajar arti bersyukur,” lanjutnya.
Tak dipungkiri Lynda, membagi waktu antara keluarga, pekerjaan dan Tzu Chi (Koordinator He Xin Bidang Konsumsi), merupakan tantangan tersendiri. Akan tetapi, dengan kesadaran dan rasa bersyukur, Lynda merasakan hal ini sebagai jalinan jodoh dan berkah baginya untuk bisa berbuat kebajikan.
Pasangan Lynda dan Awaluddin dikaruniai 4 anak, 2 putri dan 2 putra bernama Stella, Sharon, Andrew, dan Alvin. Keluarga mereka sekilas tampak bahagia. Namun, tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan kehidupan manusia yang diliputi ketidaksempurnaan. Cobaan berat dialami Lynda ketika putra bungsunya divonis mengidap autis. Meski begitu, kekhawatiran Lynda dan Awaluddin tidak berlebihan karena mereka mendapat banyak pelajaran kehidupan di Tzu Chi.
“Saya sering mengikuti survei pasien penanganan khusus dan kunjungan kasih pasien, dari situ saya bisa tahu dan merasa bersyukur kita tidak kurang suatu apa. Orang lain mengalami cobaan lebih berat dari keluarga kami,” terang Lynda.
Tak dipungkiri Lynda, membagi waktu antara keluarga, pekerjaan kantor dan Tzu Chi, apalagi dengan tanggung jawab yang diembannya sekarang sebagai Koordinator He Xin Bidang Konsumsi, merupakan tantangan tersendiri. Akan tetapi, dengan kesadaran dan rasa bersyukur penuh, Lynda merasakan hal ini sebagai jalinan jodoh dan berkah baginya untuk bisa berbuat kebajikan. Dengan tantangan-tantangan ini pula, Lynda melihatnya sebagai pengalaman bagi dirinya untuk berkembang. “Saya jadi mampu membagi waktu, setiap detik akan saya pergunakan sebaik-baiknya,” ucapnya mantap. Bahkan cucunya yang baru lahir beberapa bulan lalu, juga ikut bergabung dalam barisan komite kehormatan.
Livia Tjin: Mendalami Ajaran Jing Si
“Ada yang nggak tahu nama beliau satu ini? Beliau adalah Livia Shijie, yang bergabung di Tzu Chi sejak tahun 2004. Livia Shijie merupakan pembimbing saya dan mementori kita ” kata Hok Lay.
Mengawali kiprahnya di Tzu Chi, Livia Tjin menjadi salah satu orang yang turut membidani kelahiran Jing Si Books and Cafe di Indonesia. Bermula dari Pluit, berlanjut ke Kelapa Gading, dan Blok M, toko buku Jing Si Books & Cafe memberi insan Tzu Chi tempat untuk berkumpul, sekaligus mendalami ajaran Master Cheng Yen dan filosofi Tzu Chi.
Livia Tjin, bergabung dengan Tzu Chi sejak tahun 2004, dan menjadi salah satu orang yang turut membidani kelahiran Jing Si Books and Cafe di Indonesia.
Bermula dari ajakan sang teman di awal tahun 2000, Livia mulai mengenal Tzu Chi. Wanita kelahiran Medan tahun 1956 ini memang cukup aktif di wihara. Saat itu Tzu Chi akan mengadakan kegiatan pemberkahan akhir tahun. “Waktu itu ada pembacaan sutra, sharing gan en hu (penerima bantuan Tzu Chi) dan lihat kilas balik. Saya sangat tersentuh,” kenangnya. Berkesan di hati, Livia langsung mengajukan diri sebagai donatur. Satu hal yang menyentuh hatinya karena ia melihat Tzu Chi merupakan organisasi Buddhis yang begitu bagus dalam aktivitas sosial. Selama ini ia merasa umat Buddha lebih banyak berjalan sendiri-sendiri dalam aktivitas sosial.
Sebagai donatur, Livia kerap diberitahu kegiatan-kegiatan yang dilakukan Tzu Chi. Namun karena saat itu ia sibuk merintis usaha maka ia belum dapat berpartisipasi. Empat tahun kemudian datang tawaran untuk mengelola toko buku Tzu Chi (Jing Si Books & Cafe). Kebetulan syarat yang diminta sangat lekat pada dirinya: diutamakan tinggal di sekitar Pluit, bisa berbahasa Mandarin, Buddhis, dan mengerti Tzu Chi. Livia yang saat itu tengah membuka usaha baju-baju anak sempat merasa sungkan karena bahasa Mandarinnya terbilang minim. Namun ia mencoba membuat surat lamaran dalam bahasa Mandarin. Upayanya tak sia-sia, ia dipanggil menghadap Liu Su Mei, Ketua Tzu Chi Indonesia untuk wawancara. Setelah syarat lainnya terpenuhi, Livia pun mulai bekerja di Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.
Memikul tanggung jawab sebagai penanggung jawab di Jing Si Books & Cafe membutuhkan kesiapan mental, pengetahuan serta keinginan kuat untuk mendalami ajaran Jing Si. Training sebulan di Taiwan pun dijalaninya. Dibimbing sebulan lebih, di akhir acara Livia dipertemukan secara khusus dengan pendiri Tzu Chi, Master Cheng Yen. Satu pesan singkat Master Cheng Yen kala itu, “Kamu sudah diajari semua kungfunya (pengetahuan-red)?” Saya jawab, “Sudah.” “Kalau begitu kamu kerja baik-baik ya,” pesan Master Cheng Yen.Sejujurnya, masih banyak hal yang dikhawatirkan Livia saat itu. “Saya khawatir, bagaimana cara kerja dan mengelolanya. Apalagi Bu Su Mei juga berpesan kalau toko buku Jing Si bukan cuma jual buku saja, tetapi juga menjadi pintu untuk menggalang hati, relawan, dan donatur. Istilahnya pintu penjemputan Bodhisatwa,” terang Livia.
Setelah diserahi tanggung jawab mengelola Jing Si Books & Cafe, Livia juga selalu menyempatkan mengikuti kegiatan Tzu Chi di sela kesibukannya. “Saya berpikir, kalau saya nggak ikut kegiatan, cuma sharing bacaan, tentu kurang, tapi kalau benar-benar jadi relawan tentu akan lebih mengharukan,” ungkapnya.
Di tengah kegelisahannya, usai bertemu dengan Master Cheng Yen, Livia mendapatkan sebuah Kata Perenungan Master Cheng Yen, bunyinya: “Ada niat ada kekuatan”. Kata-kata ini seolah memompa semangat dan keberaniannya untuk memegang tanggung jawab menjadikan Jing Si Books & Cafe di Indonesia sesuai harapan Master Cheng Yen.
Dukungan juga diperolehnya dari relawan Tzu Chi Taiwan yang mengelola Jing Si Books & Cafe di sana. “Kamu enggak usah takut, saya sendiri setelah saya pakai seragam Tzu Chi banyak yang menanyakan dan menjadi donatur. Shijie nggak usah takut, Master sudah menjalin jodoh baik dengan banyak orang,” kata relawan tersebut. “Kata-kata itu menambah motivasi saya,” tegas Livia.
Tahun 2004, setelah diserahi tanggung jawab untuk mengelola Jing Si Books & Cafe Pluit, Jakarta Utara, Livia pun tak lagi hanya berada di luar lingkaran, tapi ia selalu menyempatkan mengikuti kegiatan Tzu Chi di sela kesibukannya. “Saya berpikir, (kalau) saya sendiri nggak ikut kegiatan, cuma sharing bacaan (tentu agak kurang), kalau benar-benar jadi relawan tentu akan lebih mengharukan,” ungkapnya.
Editor: Khusnul Khotimah, Hadi Pranoto