Kamp yang Membuka Hati

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto, Widarsono
 
foto

Hasan (tengah lingkaran) sedang memandu sebuah games yang bertema "koin jiwa". Terkesan dan banyak mendapat pelajaran tentang kemanusiaan dan budaya humanis, Hasan kini aktif di Tzu Ching dan menjadi panitia Tzu Ching Camp tahun 2009.

Matahari belum tampak di langit ketika puluhan anak muda berkaus biru muda dan bercelana putih berkumpul di halaman Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng, Jakarta Barat. Sabtu, 15 Agustus 2009 itu adalah hari pertama diselenggarakannya Tzu Ching Camp IV. Acara ini dilangsungkan sejak 15–17 Agustus 2009. Beberapa orang menyiapkan meja dan tempat duduk. Di atas meja, daftar hadir dan kartu tanda peserta Tzu Ching Camp telah tertata rapi. Hanya 6 orang saja yang berjaga, selebihnya berpencar sesuai dengan tugasnya masing-masing. Selain menyiapkan berbagai kelengkapan pelaksanaan Tzu Ching Camp IV di Aula RSKB Cinta Kasih, para panitia yang mayoritas merupakan peserta Tzu Ching Camp tahun lalu, menyebar untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Ada yang bertugas di bagian sound system, mengurus kamar untuk menginap peserta, dan bahkan ruangan dapur untuk menyiapkan konsumsi para peserta.

Nyaman di Tzu Ching
Sosok Hasan terlihat begitu berbeda dari teman-temannya. Mahasiswa semester 3 di Universitas Indonesia Esa Unggul ini tak terlihat canggung berbaur dengan teman-temannya yang mayoritas berkulit kuning. Menggenggam handy talkie (HT) di tangan, sebentar-sebentar Hasan yang juga penyiar radio di kampusnya ini berbicara dengan sesama panitia lainnya. Tak jarang wajahnya tersenyum-senyum sendirian saat menjawab suara panggilan HT di tangannya.

Hasan adalah peserta Tzu Ching Camp tahun lalu. Hasan yang juga warga Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi ini merasa bahwa Tzu Ching adalah wadah yang tepat baginya. Selain merasa nyaman di Tzu Ching, Hasan juga merasa tidak ada diskriminasi terhadap dirinya. “Kehangatan dan kekeluargaannya itu yang bikin nyaman, dan itu nggak ada diskriminasi sama sekali. Aku kulit hitam dan kebanyakan kulit putih dan di situ tuh nggak ada diskriminasi, ‘Ah elu mah nggak boleh ikut ini-itu, jadi enak’. Di pergaulan sehari-hari juga gitu, nggak ada jarak, bisa full,” terang Hasan. Selain itu Hasan mengaku bahwa teman-teman dan juga kegiatan-kegiatan yang dilakukan Tzu Ching itu yang membuatnya merasa enak dan nyaman. “Kalo di suatu kegiatan itu nggak memberikan kenyamanan dan nggak bikin betah, orang itu pasti nggak akan lama aktif,” tambah Hasan.

Seperti orang-orang yang bergabung di Tzu Chi, Hasan pun yakin bahwa setiap orang yang bergabung di Tzu Chi ataupun Tzu Ching tidak ada satu pun yang masuk karena paksaan, dan hal itulah yang membuatnya ”rela” memanfaatkan masa liburannya selama 3 hari ini untuk menjadi panitia tahun ini. ”Setiap orang yang masuk Tzu Chi itu kan nggak ada paksaan, itu kan dah kayak dari hati nurani, jadi aku nggak bisa bilang kenapa nggak pake liburan buat senang-senang. Nggak tahu kenapa hati aku itu lebih milih jadi panitia. Teman-temanku juga tersentuh untuk jadi panitia juga untuk dapat (mengisi) kegiatan yang bermanfaat, sedangkan kalau liburan, hura-hura segala macam itu kan nggak ada manfaatnya untuk diri kita sendiri,” jelas Hasan.

Sebenarnya sudah sejak lama Hasan memendam keinginannya untuk turut bergabung dalam barisan Tzu Ching Indonesia. Setidaknya keinginannya itu sudah muncul sejak ia masih menjadi siswa SMP Cinta Kasih Tzu Chi. Keinginan itu terus membuncah tatkala ia menginjak SMA. Meski tidak lagi bersekolah di Sekolah Cinta Kasih –saat itu belum ada SMK Cinta Kasih– tapi Hasan tetap aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Tzu Chi. Jika ada baksos pembagian beras, Hasan dan teman-temannya turut berpartisipasi. ”Tapi syarat untuk jadi anggota Tzu Ching kan harus sudah mahasiswa, jadi begitu lulus SMA saya langsung ikut Tzu Ching Camp,” terang Hasan yang kebetulan juga memperoleh beasiswa pendidikan dari Tzu Chi. Sebagai salah seorang panitia, setidaknya Hasan bisa turut merasakan sibuk dan lelahnya pekerjaan di balik layar tersebut. Selain sibuk meeting-meeting persiapan acara, mereka pun harus sudah menyiapkan segala sesuatunya 3 hari sebelumnya. ”Kegiatan yang nggak kelihatan, tapi hasilnya oke, senang ngeliatnya,” ungkapnya jujur.

foto  foto

Ket : - Salah satu budaya humanis Tzu Chi adalah isyarat tangan. Hasan (kiri) bersama anggota Tzu Ching lainnya
           yang juga panitia memperagakan isyarat tangan kepada para peserta Tzu Ching Camp IV ini. (kiri)
       - Pertunjukan drama juga digunakan untuk menyampaikan materi tentang budaya humanis Tzu Chi,            dimana salah satunya adalah bersikap sopan, rendah hati, penuh welas asih, dan berpakaian rapih. (kanan)
           

Banyak hal baru yang diperolehnya setelah menjadi anggota Tzu Ching, salah satunya Hasan mulai mengenal kegiatan-kegiatan sosial, seperti mengunjungi panti jompo dan baksos kesehatan. Dan itu semua tidak membebani dirinya, tapi justru memberinya motivasi, ”Kegiatan-kegiatan sosial ini tidak menuntut apa-apa, dan kita saling berbagi kasih sayang. Saling berbagi rasa sama antar sesama. Kegiatan ini bagus sekali untuk melatih disiplin dan sifat welas asih kita.”

Aktif di kampus dan di Tzu Ching, nyatanya tidak membuat nilai-nilai akademis Hasan merosot, tapi justru makin meningkat. Semester ini saja, putra pasangan Uya dan Rohaenah ini IPK-nya mencapai 3,5. ”Setiap Sabtu-Minggu, kalo nggak ada kegiatan pasti ikut (kegiatan Tzu Ching atau relawan),” terang Hasan. Dan hal ini muncul dari keinginannya sendiri. ”Nggak ada anjuran atau himbauan dari pihak Tzu Chi karena menerima beasiswa, terus harus aktif, nggak. Ini keinginan aku sendiri,” tegas Hasan.

Penyiar Radio Kampus
Hasan yang anak ketiga dari 5 bersaudara ini cukup beruntung dibanding kedua kakaknya yang hanya tamatan SMA. Seperti warga Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi lainnya, Hasan pun dulu merupakan warga bantaran Kali Angke dan terkena normalisasi. Tak heran jika Hasan memiliki harapan besar untuk mengangkat derajat keluarga besarnya, sekaligus bisa berbagi dengan sesama yang membutuhkan. “Harapannya besar banget, bisa lebih baik lagi, bisa membantu dan membahagiakan orangtua, dan bisa membahagiakan adik-adik dan keluargaku,” ucap Hasan lancar.

Memilih fakultas ilmu komunikasi, Hasan tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berkiprah di dunia radio kampus. Bermodalkan tekad dan keinginan untuk berkembang, Hasan memberanikan diri untuk bersaing dengan puluhan mahasiswa lain di kampusnya. Akhirnya Hasan pun lolos setelah menyisihkan kandidat-kandidat lainnya. Sebagai penyiar, Hasan kerap menggunakan kata-kata perenungan Master Cheng Yen dalam siarannya. ”Semua perkataan Master Cheng Yen dan kata-kata perenungan yang aku dapat selalu aku ceritakan sama teman-teman,” jelas Hasan.    

foto  foto

Ket : - Seperti Tzu Chi, Tzu Ching juga adalah sebuah wadah yang lintas agama, suku, ras, dan golongan.
           Semua materi dan permainan yang digunakan pun semua bersifat universal. (kiri)
         - Ji Shou, relawan Tzu Chi saat memberikan materi tentang "Welas Asih dalam Tindakan Nyata" dan
           "Global Warming". Ji Shou menekankan pentingnya bertindak dalam kebajikan tanpa menunda-nunda atau
           "Just Do It". (kanan)

Membuka Mata Hati
Acara Tzu Ching Camp IV yang diadakan dari tanggal 15–17 Agustus 2009 ini dibuka oleh Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei. Di hadapan 144 peserta yang terdiri dari para mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai kampus di Jakarta dan juga kota-kota lainnya, seperti Bandung, Tangerang, Pati, dan Palembang, Liu Su Mei mengatakan, “Hari ini Anda bisa datang ke sini adalah sebuah berkah dan tentu pula ada cinta kasih baru bisa hadir di sini. Kenapa bisa berkah? Karena sebelum Anda datang kemari banyak sekali pekerjaan persiapannya yang tidak terlihat. Dan itu susah payah mereka (panitia –red) lakukan dan itulah suatu rezeki.” Liu Su Mei pun berpesan agar apa yang selama 3 hari ini didapatkan bisa dibawa pulang ke rumah dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. “Di Tzu Chi, kita belajar menghargai dan memberikan cinta kasih (bersyukur). Dan yang terpenting adalah (dapat) membuat karakter kita menjadi lebih baik. Yang kurang baik kita ubah jadi baik,” pesannya, sekaligus mengajak para muda-mudi ini untuk bergabung dalam barisan relawan Tzu Chi.

Selain belajar di dalam kelas, para peserta Tzu Ching Camp ini juga melakukan praktik daur ulang di hari pertamanya. Tumpukan sampah yang menggunung di Depo Daur Ulang Tzu Chi tidak menyurutkan langkah para peserta untuk turun memilah sampah. Salah satunya adalah Joko Hermanto. Mahasiswa STIE Trisakti ini dengan bersemangat naik ke atas gundukan sampah plastik dan kertas sambil memegang karung di tangannya. Joko yang duduk di semestar 8 ini kemudian memberikan sampah-sampah yang telah dipilahnya dan dimasukkan ke dalam karung kepada peserta lain di bawahnya. Peluh keringat membasahi kausnya. “Senang bisa memilah sampah-sampah dan bersosialisasi dengan teman-teman yang ada. Di hari pertama ini, (saya) dapat banyak pengalaman dengan melihat teman-teman baru di sekitar kita, berkomunikasi dengan baik dan disiplin waktu serta pengembangan diri kita dalam berbicara, berperilaku, dan lain-lain,” ujar Joko.

foto  foto

Ket : - Joko Hermanto, mahasiswa Trisakti Fakultas Ekonomi ini dengan bersemangat naik ke atas gundukan
           sampah. Melalui kegiatan ini, Joko terinspirasi untuk menerapkan memilah sampah di rumah dan
           lingkungan kampusnya. (kiri)
         - Para peserta Tzu Ching Camp yang umumnya tidak pernah bersentuhan langsung dengan sampah kini
           menjadi tahu bahwa sampah jika dikelola dengan baik dan benar dapat membawa berkah serta digunakan
           untuk menolong sesama. (kanan)

Selain mengenal Tzu Chi lewat media elektronik (DAAI TV), Joko juga tahu Tzu Chi dari teman-temannya yang lebih dulu menjadi anggota Tzu Ching. Joko memilih menghabiskan libur 3 harinya ini dengan mengikuti kegiatan Tzu Ching Camp. “Saya lihat Tzu Ching Camp ini sangat bagus untuk membina pengembangan diri setiap orang dan juga secara pribadi merasa tertantang, orang bisa kenapa saya tidak. (Di Tzu Ching Camp) bisa bersosialisasi dan peduli terhadap sesama dengan tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan,” tegas Joko.

Joko pun mengaku tergugah setelah melihat kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan Tzu Chi di Indonesia, ”Dulu belum tahu kalo banyak orang yang menderita, setelah lihat presentasi bisa lihat begitu banyak orang yang butuh bantuan.” Hal yang paling mengena baginya adalah kebersamaan bersama teman-teman barunya, bisa mengenal dari berbagi latar belakang yang berbeda-beda. ”Manfaat yang paling saya dapat, saya belajar banyak sekali contoh-contoh kegiatan sosial dan kemanusiaan bagi pengembangan diri saya, dan juga membantu saya untuk merasakan bahwa di luar itu masih banyak sekali yang membutuhkan bantuan kita,” ungkap Joko

 

Artikel Terkait

Kunjungan Walikota Manado: Mempererat Jalinan Jodoh Dengan Tzu Chi

Kunjungan Walikota Manado: Mempererat Jalinan Jodoh Dengan Tzu Chi

28 Februari 2014 Kunjungannya ke Tzu Chi Center merupakan wujud silaturahmi dan juga wujud ungkapan terima kasih karena Tzu Chi merupakan organisasi kemanusiaan pertama yang turun membantu Manado di masa tanggap darurat bencana.
Kue Bulan Cinta Kasih yang Memikat

Kue Bulan Cinta Kasih yang Memikat

21 September 2016

Untuk memperingati Festival Kue Bulan, Yayasan Buddha Tzu Chi Tanjung Balai Karimun menggelar Bazar Mooncake Cinta Kasih. Bazar yang digelar pada 10 September 2016 ini tak hanya memikat warga Tanjung Balai Karimun saja, tapi juga para turis.

Bedah Buku Xie Li Sunter; Menyirami Batin dengan Air Dhamma

Bedah Buku Xie Li Sunter; Menyirami Batin dengan Air Dhamma

29 April 2021

Sabtu, 24 April 2021 menjadi hari bersejarah bagi insan Tzu Chi di Xie Li Sunter. Kelas pendalaman Dhamma (Bedah Buku) memasuki usia ke-7 tahun. Para peserta pun berbagi kesan selama mengikuti bedah buku komunitas Sunter.

Jangan menganggap remeh diri sendiri, karena setiap orang memiliki potensi yang tidak terhingga.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -