Kamp Zhen Shan Mei: Menjadikan Kelemahan Sebagai Tantangan
Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari, Erli TanAnggie A.T. Onibala, relawan Tzu Chi asal Manado, Sulawesi Utara (kanan) dan Fellyati Gozali, relawan Tzu Chi asal Makassar, Sulawesi Selatan (kiri) bekerja sama dalam mengerjakan tugas usai praktik liputan dalam Kamp Budaya Humanis Zhen Shan Mei 2015.
Tidak ada batasan apapun untuk bisa menjadi mata dan telinga Master Cheng Yen melalui tim Zhen Shan Mei (relawan dokumentasi Tzu Chi). Siapapun relawannya, asalkan mempunyai tekad dan niat pasti bisa bersumbangsih menjadi tim dokumentasi Tzu Chi. Hal itulah yang dirasakan oleh Anggie A.T. Onibala, relawan Tzu Chi asal Manado, Sulawesi Utara.
Anggie bersama Ronald datang ke Jakarta sejak hari Jumat (4/12/15) untuk mengikuti Kamp Budaya Humanis Zhen Shan Mei 2015 yang baru dimulai pada Sabtu dan Minggu, 5 dan 6 Desember 2015 di gedung DAAI, Tzu Chi Center.
Anggie, satu dari 80 peserta kamp awalnya merasa malu karena di setiap kegiatan kamp, ia selalu mewakili Tzu Chi Manado untuk ikut serta, namun ia seakan mempunyai tanggung jawab untuk ikut serta. “Karena kami merasa telah diberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri, maka dari itu saya mengajak Ronald Shixiong untuk memanfaatkan kesempatan ini,” ucap wanita 51 tahun ini. “Dan kalau saya tidak ambil kesempatan ini, saya menyesal memang karena dari kamp ini saya banyak mendapatkan hal baru,” tambahnya.
Ibu tiga anak tersebut mengaku mempunyai minat dalam penulisan. Tapi dengan jujur ia berkata bahwa dirinya bukanlah termasuk orang yang melek teknologi. “Handphone (hp) aja ini masih kuno sekali,” katanya seraya menyodorkan ponsel lamanya, “kalau bukan anak saya yang minta saya ganti hp, saya mana mau beli yang baru,” imbuhnya tertawa.
Relawan Zhen Shan Mei dari berbagai kota ikut dalam kamp tahunan yang diadakan untuk meningkatkan semangat bodhisatwa pencatat sejarah Tzu Chi.
Dalam kesehariannya, Anggie yang bekerja di bidang properti ini selalu meminta bantuan anak, suami, atau jasa pengetikan untuk mempermudah pekerjaannya. “Tapi selesai kamp ini, saya seakan punya tantangan sendiri. Saya akan membeli laptop dan belajar mengetik,” tegasnya.
Tekadnya melawan kelemahannya tersebut datang karena menganggap relawan Zhen Shan Mei merupakan satu bagian yang amat penting dalam pengembangan Tzu Chi. “Orang bisa kenal Tzu Chi dari siapa kalau bukan dari media-media yang mendukungnya? Termasuk dokumentasi kegiatan-kegiatannya,” ucap Anggie. Ia bersyukur, melalui kamp ini ia mendapatkan banyak pengetahuan baru yang bisa ia bagikan kepada relawan Tzu Chi Manado. “Semoga dua hari menimba ilmu ini ada hasilnya,” harapnya.
Anggie juga menganggap relawan Zhen Shan Mei bagaikan mata rantai dengan satu kesatuan dan satu tujuan yaitu untuk mengukir sejarah Tzu Chi bagi Master Cheng Yen. “Pasti tidak mudah, tapi semangat seluruh relawan membuat saya juga terpacu untuk menjadi salah satu bagian dari Zhen Shan Mei,” pungkas Anggie.
Belajar Dengan Bekal Keprihatinan
Tekad untuk mengembangkan Zhen Shan Mei di Kantor Penghubung Tzu Chi juga bergelora di hati salah satu relawan. Fellyati Gozali, relawan Tzu Chi asal Makassar, Sulawesi Selatan.
Ia bergabung menjadi relawan Tzu Chi sejak tahun 2008, namun baru saja melirik misi budaya humanis khususnya menjadi relawan Zhen Shan Mei sejak satu bulan ke belakang. Saat saya bertanya alasannya, ia menjawab dengan senyum dan berkata, “Saya prihatin.”
Sejak awal bergabung di Tzu Chi, Felly sama sekali tidak berpikir akan bertekad menjadi relawan dokumentasi. Ia lebih banyak memegang tanggung jawab di misi amal, melakukan kunjungan kasih ke pasien atau penerima bantuan, mengkoordinir anak asuh Tzu Chi, dan bebenah rumah. “Sama sekali enggak terpikir di Zhen Shan Mei,” jelasnya.
Walau usia tidak lagi muda, Fellyati Gozali (65) bertekad untuk mengembangkan Zhen Shan Mei dengan menjadi salah satu relawan dokumentasi di Tzu Chi Makassar.
Wanita berusia 65 tahun ini menganggap Zhen Shan Mei adalah bagian yang rumit. “Apalagi bagian menulis. Saya tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik,” tuturnya tertawa. Ia memang lebih fasih menggunakan bahasa Mandarin dalam kehidupan sehari-hari.
Namun keprihatinannya akan relawan Zhen Shan Mei di Tzu Chi Makassar membuatnya nekad untuk bertekad menjadi salah satu relawan Zhen Shan Mei. “Jumlah relawan Zhen Shan Mei di Makassar belum banyak, tapi kegiatan Tzu Chi Makassar banyak. Maka dari itu, banyak kegiatan yang lalai untuk kami dokumentasikan. Saya rasa tersentuh hati saya, prihatin,” ungkapnya.
Walaupun tidak lagi muda, ia ingin menjadi contoh dan belajar dari para relawan muda. “Memang ada keraguan tentang apakah saya akan sanggup, tapi saya lihat shixiong shijie sangat antusias membantu kita, mereka memberikan semangat besar sekali. Itu membuat saya tidak takut lagi,” ujarnya. Felly bahkan tidak merasa ragu akan kemampuannya setelah mendengar sharing dari Agus Rijanto, Pembina relawan Zhen Shan Mei yang bercerita mengenai bahasa ibu Master Cheng Yen.
Agus mengungkapkan bahwa bahasa ibu Master Cheng Yen adalah bahasa Mandarin, jadi ia mengimbau relawan yang bisa berbahasa mandarin untuk lebih bersyukur dan memanfaatkan kemampuannya dengan baik. “Maka dari itu saya akan memanfaatkan kemampuan saya dalam berbahasa mandarin untuk memajukan Zhen Shan Mei,” pungkasnya.
Artikel Terkait
Kamp Zhen Shan Mei: Menjadikan Kelemahan Sebagai Tantangan
08 Desember 2015Kamp Budaya Humanis Zhen Shan Mei 2015 dimulai pada Sabtu dan Minggu, 5 dan 6 Desember 2015 di gedung DAAI, Tzu Chi Center. Sebanyak 80 peserta yang berasal dari seluruh Indonesia ini : Batam, Jambi, Makassar, Manado, Palembang, Pekanbaru, dan Tangerang, datang untuk menjadi mata dan telinga Master Cheng Yen.