Kasih Ibu Tak Terbalaskan

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 

fotoLie Fie Lan merasa selama bergabung di Tzu Chi mendapatkan kekuatan batin dan harapan bagi putranya yang mengalami retardasi mental.

Lie Fie Lan yang telah berseragam biru putih datang menghampiri seorang relawan pria yang tengah sibuk merapikan kamera videonya di atas sebuah meja bermotif warna-warni. “Shixiong,” katanya, “tanggal 8 Januari 2010 kalau bisa datang meliput ke Sekolah Dian Grahita ya. Tzu Chi mengisi acara di sana.”

“Ya, kalau ditugaskan saya akan datang,” jawab relawan itu.

“Anak saya juga ikut tampil di sana. Dia memerankan salah satu tokoh dalam sandiwara pertunjukan,” jelas Fie Lan. Sudah tujuh tahun lamanya Fie Lan menjadi relawan Yayasan Buddha Tzu Chi. Dan selama itu pula, sebuah getaran yang penuh energi memberikan ketegaran bagi jiwanya, kebahagiaan, dan harapan bagi putranya.

Awal Derita
Tanggal 9 Mei 1987 adalah hari yang terindah bagi Lie Fie Lan dan suaminya. Buah dari pernikahannya, mereka dikarunia seorang anak. Lengkap sudah kebahagiaan pasangan muda ini. Lie Fie Lan melahirkan seorang bayi laki-laki berwajah lembut dan manis dengan tubuh yang seluruhnya terlihat sehat. Fie Lan sangat mengasihi dan mencintainya, demikian pula dengan suaminya. Bayi itu menjadi satu-satunya harta yang paling berharga dalam hidup mereka, karena itu mereka menamainya Budi Mandalaputra.

Semula Budi tumbuh normal seperti bayi-bayi lainnya. Sampai pada bulan ketiga setelah kelahiran, sebuah kejanggalan muncul pada tubuh Budi tanpa diketahui penyebabnya. Kedua telapak tangan Budi tampak berwarna biru keunguan dan wajahnya pun terlihat pucat. Fie Lan dan suami menanggapinya dengan penuh rasa cemas. Di saat kondisinya semakin kritis, Fie Lan dan suaminya memutuskan untuk segera membawanya ke rumah sakit. Setelah menjalani pemeriksaan, dokter memberitahukan kepada mereka bahwa Budi mengalami kebocoran jantung yang dibawa sejak dalam kandungan. Kebocoran jantung sejak lahir menjadi penyakit yang cukup banyak diderita oleh anak-anak seusia Budi. Penderita penyakit ini dikhawatirkan memiliki taraf hidup yang singkat kecuali dilakukan sebuah operasi jantung.

Mendengar keterangan dokter, mendadak napas Fie Lan terasa terhenti. Perlahan-lahan perasaannya mulai diliputi kesedihan yang mendalam. Maka demi keselamatan putranya, Fie Lan bertekad mencari berbagai alternatif pengobatan untuk Budi. Namun, tak satu pun pengobatan yang ia jalani memberikan hasil yang memuaskan.

foto  foto

Ket : - ini Junita merasa sangat bahagia atas antusias warga dan relawan Tzu Chi dalam kegiatan donor darah itu.            Selama ini menurutnya Sekolah Bakti Utama telah menjalin kerja sama yang baik dengan Tzu Chi, salah            satunya yang rutin adalah celengan bambu. (kiri)
       - Kasih ibu sepanjang masa, karenanya Christine Kusnadi menganggap jasa seorang ibu tak akan pernah            terbalaskan. Tzu Chi menekankan bakti pada orangtua, demikian juga dengan Sekolah Bakti Utama. (kanan)

Saat Budi berusia 8 bulan, Fie Lan membawanya ke rumah sakit khusus jantung di Jakarta. Di rumah sakit ini ia berharap putranya mendapatkan pengobatan yang tepat dari seorang ahli di bidangnya. Namun kenyataannya berbeda. Di rumah sakit ini Fie Lan harus kembali menelan kekecewaan. Salah satu dokter yang memeriksa Budi dengan kasar mengatakan, “Kamu tahu tidak? Anak kamu ini bodoh, dia tidak akan bisa sekolah.” Mendengar pernyataan dokter itu, pikiran Fie Lan langsung kacau. Di dalam benaknya bermunculan emosi yang saling bercampur aduk antara sedih akan kenyataan putranya yang mengalami retardasi mental (gangguan perkembangan inteligensi) dengan amarah terhadap dokter yang merendahkan putranya. “Perasaan saya sangat hancur. Sangat sedih sekali kalau anak saya tidak bisa sekolah. Semestinya sebagai dokter ia tidak berkata demikian,” kenang Fie Lan.

Akhirnya Fie Lan memutuskan untuk mencari dokter lain. Setelah lelah mencari, jodoh mempertemukan Fie Lan dengan seorang dokter yang bisa meredakan kegusaran hatinya. Menurut sang dokter, bocor jantung yang diderita oleh Budi adalah suatu kebocoran biasa dan akan pulih seiring bertambahnya usia Budi. Namun sampai di usia 14 tahun, lubang di bilik jantung Budi masih belum juga merapat. Kondisi Budi masih terlihat sangat lemah untuk anak seusianya. Bila anak-anak remaja bisa bebas berolahraga, Budi hanya bisa bermain di rumah dengan aktivitas yang tidak boleh terlalu melelahkan. Untuk menaiki tangga pun Budi melakukannya dengan penuh usaha. Berbeda dengan anak-anak pada umumnya, untuk menaiki satu lantai saja nafas Budi sudah terengah-engah dengan tubuh yang terlihat lemas. Tidak hanya itu, Fie Lan juga sering mendapati Budi jatuh pingsan bila ia terlalu sedih ataupun gembira yang berlebihan.

Pernah pada suatu hari, Fie Lan membawa Budi berekreasi ke Mal Golden Trully, sebuah pusat perbelanjaan yang cukup lengkap di jalan Gunung Sahari. Berbagai jenis barang tersedia di sana, dari pakaian sampai alat-alat olah raga, dari makanan sampai permainan anak-anak. Begitu mendekati mal, Budi menyambutnya dengan penuh suka cita, “Golden-golden, Mah. Horee,” teriak Budi dengan riang. Namun begitu tiba di pelataran lobi, Budi langsung terjatuh lemas. Dengan tenang Fie Lan memapahnya, memeluknya dan membisikkan doa-doa di telinganya sambil meniupkan udara yang lembut. Perlahan setelah aliran darahnya kembali normal, Budi kembali siuman. Keadaan seperti ini selalu dialami oleh Budi bila ia terlalu bersemangat atau terlalu sedih.

Karenanya Fie Lan kembali membawa Budi ke dokter spesialis jantung. Begitu diperiksa, dokter ini langsung menyarankan kepada Fie Lan untuk segera menjalani operasi.
“Wah anak kamu ini harus segera dioperasi,” terang dokter.
“Kira-kira biayanya berapa ya, Dok?” tanya Fie Lan.
“Kurang lebih biayanya Rp 50 juta,” jawab dokter.
“Kalau saya belum punya biaya bagaimana ya, Dok? Fie Lan kembali bertanya.
“Ya begitulah. Anak kamu tidak bisa tertolong,” tegas dokter.

Hati Fie Lan kembali hancur menerima jawaban dokter yang sangat terus terang itu. Akhirnya sejak saat itu Fie Lan tak lagi membawa Budi untuk berobat. Satu-satunya cara yang dilakukan Fie Lan hanyalah membahagiakan Budi, memenuhi semua kebutuhannya, dan menjaganya dengan sepenuh hati. Untuk membuatnya mandiri dan tumbuh seperti anak lainnya, Fie Lan memasukkan Budi ke sekolah yang pas untuknya di Dian Grahita, sebuah sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak tuna grahita. Fie Lan juga mengaktifkan dirinya pada kegiatan-kegiatan amal dan sosial. Hingga pada 2002, Fie Lan menemukan Tzu Chi sebagai tempat yang pas untuk mencurahkan sepenuh tenaga dan hatinya dalam membantu orang yang membutuhkan.

Hari-hari pun berlalu dengan cepat, tanpa terasa sudah 7 tahun Fie Lan bersumbangsih di Tzu Chi, dan selama itu pula Budi tidak lagi mengalami tanda-tanda yang buruk. Kini Budi sudah berusia 20 tahun, bulan Mei 2010 mendatang ia memasuki usia ke-21. Ada satu permintaan dari Budi kepada Fie Lan, untuk ulang tahunnya nanti, ia ingin menyaksikan pertunjukan barongsai tepat di hari ulang tahunnya. Sebuah permintaan yang tak rumit namun memiliki makna yang dalam bagi Budi dan Fie Lan. “Hati saya luluh mendengarnya, tetapi saya berusaha untuk selalu membahagiakannya,” ungkap Fie Lan.

foto  foto

Ket::  - Sahriyadi setelah dua kali mengikuti donor darah merasa tubuhnya semakin segar. Ia pun menjadi semakin             yakin untuk terus mendonorkan daranhya secara rutin (3 bulan sekali). (kiri).
         - Hermansyah yang sehari-hari bekerja sebagai sopir di salah satu perusahaan memiliki kegemaran dalam            melakukan kegiatan sosial. Selain memberi kebahagiaan bagi orang lain, kegiatan sosial juga bermanfaat            bagi dirinya. (kanan)

Kasih yang Tak Terbalaskan
Kasih ibu memang sepanjang masa dan tak pernah lekang oleh waktu. Apa yang diperjuangkan oleh Fie Lan sebagai orangtua merupakan bukti kasih sayang ibu yang penuh pengorbanan terhadap anaknya. Oleh karena itu Christine Kusnadi, salah satu relawan Tzu Chi mengatakan bahwa jasa seorang ibu tak akan pernah terbalaskan. “Ibu adalah sosok makhluk yang penuh kasih sayang, seorang perawat, dan sahabat bagi anak-anaknya di kala mereka membutuhkan,” kata Christine. Lebih lanjut Christine menjelaskan, selayaknya seorang anak harus memerhatikan ibunya, memberinya kasih sayang, dan tidak melakukan perbuatan yang tercela.

Begitu pentingnya bakti terhadap orangtua hingga Tzu Chi terus memberikan pengertian dan pendidikan budi pekerti kepada anak-anak. Demikian pula dengan Sekolah Bakti Utama, sejak sekolah ini didirikan, para pendirinya memiliki misi memberikan pendidikan yang terbaik kepada anak-anak sejak dini, terutama dalam hal berbakti kepada orangtua.

Pada tanggal 22 Desember 2009, sekolah yang terletak di Jalan Krendang Selatan No 18, Jakarta Utara ini bersama Tzu Chi mengadakan berbagai kegiatan yang bertemakan sikap berbakti dan menyayangi ibu. Mulai dari lomba foto bersama ibu hingga permainan yang mendekatkan antara ibu dengan anaknya. Sebagai penutup dalam rangkaian kegiatan Hari Ibu ini, Sekolah Bakti Utama mengadakan kegiatan donor darah pada Minggu 27 Desember 2009.

Dalam acara ini sedikitnya terjaring 89 pendonor dari berbagai kalangan. Hermansyah, salah seorang karyawan di Perusahaan Gas Negara yang saat itu ikut menjadi pendonor mengatakan rasa senangnya bisa berbagi terhadap sesama melalui donor darah. Bagi Hermansyah, mendonorkan darah memberikan manfaat kesehatan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Karena itu di mana ada kegiatan donor darah ia akan selalu ikut. “Saya selalu siap untuk mengikuti kegiatan sosial kalau dibutuhkan,” ungkapnya.  

Tidak hanya Hermansyah, Rini Junita, Ketua Panitia kegiatan donor darah di Sekolah Bakti Utama ini juga merasakan kegembiraan yang sama. Ia merasa bahagia melihat banyaknya masyarakat dan relawan Tzu Chi yang begitu antusias dalam mengikuti donor darah. Menurutnya kerjasama Tzu Chi dengan Sekolah Bakti Utama sudah dimulai sejak tahun 2002 ketika Jakarta dilanda banjir besar. Ketika itu para guru mengalami kesulitan untuk menyerahkan bantuan kepada korban bencana dan satu-satunya yang ia kenal adalah Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Sejak itulah kerja sama Tzu Chi dengan Sekolah Bakti Utama terbina di samping juga memiliki misi yang sama, yaitu misi sosial, budaya, dan bakti terhadap orangtua. “Banyak sekali kesamaan Tzu Chi dengan sekolah ini, salah satunya adalah amal sosial dan bakti (terhadap orangtua). Di Tzu Chi mengutamakan “bakti”, demikian pula dengan sekolah ini yang mengutamakan bakti terhadap orangtua,” jelas Rini.

 
 

Artikel Terkait

Semangat Pelestarian Lingkungan di Clean-Up Day Waduk Pluit

Semangat Pelestarian Lingkungan di Clean-Up Day Waduk Pluit

08 April 2019
Para relawan Tzu Chi Sinar Mas Xie Li Thamrin mengajak karyawan beserta keluarganya bahu-membahu membersihkan Taman Wisata Waduk Pluit di daerah Penjaringan, Jakarta Utara.
Baksos Kesehatan Tzu Chi Ke-105 : Memerhatikan Warga Setempat

Baksos Kesehatan Tzu Chi Ke-105 : Memerhatikan Warga Setempat

23 Maret 2015 Baksos kesehatan ini merupakan baksos ke-105 yang memberikan bantuan berupa pengobatan katarak dan Pterygium. Baksos yang dilaksanakan pada Jumat, 20 Maret 2015 hingga 22 Maret 2015 di Aula Kesdam II Sriwijaya, Gedung Hesti Wira Sakti,  Benteng Kuto Besak ini merupakan baksos kesehatan  ke-2 setelah sebelumnya dilakukan pada 3 tahun lalu di Palembang
Memaknai Cinta dan Bakti Pada Ibu

Memaknai Cinta dan Bakti Pada Ibu

25 Desember 2015

Minggu, 6 Desember 2015, sebanyak 75 relawan Tzu Chi komunitas He Qi Pusat memulai hari yang cerah dengan kegiatan yang mencerahkan. Hari itu, relawan Tzu Chi mengadakan kegiatan perayaan Hari Ibu dalam kegiatan rutin gathering anak asuh dan penerima bantuan Tzu Chi) di Fortuna Palais Function Hall, ITC Mangga Dua. Sebanyak 86 anak asuh beserta orang tuanya dan 125 Gan En Hu mengikuti kegiatan ini.

Menghadapi kata-kata buruk yang ditujukan pada diri kita, juga merupakan pelatihan diri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -