Kebahagiaan yang Menular Saat Menyalurkan Bantuan Bagi Warga Korban Tsunami

Jurnalis : Khusnul Khotimah, Fotografer : Khusnul Khotimah


Majong (kiri) bersama keponakannya Ubad berdiri di samping perahu mereka yang juga menjadi saksi bisu dahsyatnya gelombang tsunami Selat Sunda.

Saat tsunami menerjang wilayah pesisir Pandeglang, Banten, Sabtu malam 22 Desember 2018, Majong (36) sedang berada di atas perahu.  Ia bersama Saptu, saudaranya, dan keponakannya Ubad tengah memasang jaring. Sempat terombang-ambing oleh ombak besar, para nelayan ini masih belum menyadari bahwa sedang terjadi tsunami.

“Kalau ombaknya lurus ke pesisir pantai, kita mungkin tidak selamat, tapi ombaknya itu menyimpang sebelah-sebelah. Jadi ombak sudah lewat baru kita ikuti. Tapi goncangan kencang,” tutur Majong, warga Kampung Ketapang, di Desa Cigorondong, Kecamatan Sumur, Pandeglang ini.

“Awalnya melihat ombak, kami bertiga kira itu bukan ombak, kami kira itu gunung. Saya seperti di dalam mimpi. Kami sampai cuci muka bertiga, benar tidak itu ombak. Pas kita lihat ke pulau-pulau, ternyata benar, ngeruntuhin semua pepohonan, baru kita sadar itu ombak,” sahut Ubad. 

Majong bersyukur, keluarganya di rumah sempat menyelamatkan diri. Marni, istrinya yang saat itu mendengar suara menderu seperti suara pesawat segera lari ke gunung. Air dengan cepat masuk ke dalam rumah. Tak lama, rumahnya pun tersapu oleh gelombang tsunami yang lebih besar lagi.

“Lihat rumah yang sudah hancur itu ya menangis saya. Jarak rumah saya dengan bibir pantai kurang lebih 50 meter,” kata Majong.


Di area terpal biru itulah, rumah Majong hancur tersapu tsunami.


Athiam (dua dari kiri) menyerahkan paket bantuan kepada Ubad, dan tetangga Ubad.

Begitu juga dengan rumah Ubad. Rumah yang baru rampung dibangunnya itu bahkan belum sempat ia dan istrinya tinggali, karena menunggu waktu syukuran. Di Kampung Ketapang ini ada sekitar 30 rumah yang hancur. Warga Ketapang, termasuk Majong dan Ubad kini mengungsi di rumah saudara mereka yang tinggal di desa sebelah seperti Desa Tunggal Jaya, masih di Kecamatan Sumur.

Di Desa Tunggal Jaya inilah, pada Kamis, 27 Desember 2018 lalu Tzu Chi membagikan 300 paket bantuan berisi selimut, sarung, ember, sabun, dan pasta gigi, serta makanan ringan. Tim medis Tzu Chi atau TIMA Indonesia juga memberikan layanan pengobatan kepada 81 warga, termasuk Majong. Kepada dr. Feiliciana Tjuwita, Majong mengeluhkan penglihatannya yang kurang jelas selama dua tahun ini akibat terkena angin kompressor. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Majong juga membuka bengkes las kecil-kecilan di depan rumahnya.

“Senang, banyak terima kasih sudah memberi obat, sudah memberi selimut. Saya berharap dapat kembali hidup seperti semula lagi, bisa kerja lagi. Saya ingin bangun rumah lagi di tempat yang sama karena memang punya tanahnya cuma di situ. kalau pindah kan harus beli tanah. Jadi nggak ada takut,” kata Majong.


Dokter Feiliciana Tjuwita mendengarkan keluhan Majong tentang penglihatannya yang kabur akibat angin kompressor.

Agus Johan, relawan Tzu Chi yang karib disapa Athiam, merasa bahagia niat relawan membantu warga di Kecamatan Sumur yang lokasinya cukup terpencil ini akhirnya tercapai.  

“Kami dapat informasi bahwa radius 5 kilometer tidak boleh mendekati, jadi kami baksos ya pilihnya ya walaupun jauh tapi aman. Walaupun di sekitar sini tidak tampak yang kena tsunami, tetapi pengungsi yang dari tepi pantai itu lari ke sini. Melihat orang happy dengan bantuan kita juga jadi tertular happy-nya,” tutur Athiam.


Di halaman SMP Negeri 3 Sumur, Tzu Chi membagikan 300 paket bantuan. TIMA Indonesia juga memberikan layanan pengobatan kepada 81 warga. Di waktu bersamaan, sebagian relawan lainnya juga membagikan 400 paket di gedung SD Kertanegara 01, masih di wilayah Kecamatan Sumur.


Perjalanan menuju Desa Tunggal Jaya, Kecamatan Sumur yang penuh tantangan justru menjadi pengalaman berkesan bagi dr. Yanto Kurniawan.

Perjalanan ke Desa Tunggal Jaya Kecamatan Sumur memang sangat menantang. Jalanan terjal karena kondisi jalan yang rusak, serta tanjakan yang tajam harus ditempuh selama tiga jam atau enam jam pulang pergi dengan menumpang truk milik TNI. Meski begitu, tak satu pun relawan Tzu Chi dan tim medis TIMA patah semangat. Seperti yang diungkapkan dr. Yanto Kurniawan.

“Perjalanannya dan naik truk tentara itu yang berkesan sekali,” kata dr. Yanto tertawa. “Senang bisa bantu orang, ini kan daerah bencana, jangkauan mereka ke puskesmas jauh juga dan tidak ada uang. Tadi saya bertemu dengan warga yang masih trauma karena tsunami, rumahnya habis. Kita datang mereka pun senang. Kita pun bisa berbuat baik dengan mereka,” pungkasnya.

Editor: Arimami Suryo A.


Artikel Terkait

Kebahagiaan yang Menular Saat Menyalurkan Bantuan Bagi Warga Korban Tsunami

Kebahagiaan yang Menular Saat Menyalurkan Bantuan Bagi Warga Korban Tsunami

29 Desember 2018

Saat tsunami menerjang wilayah pesisir Pandeglang, Banten, Sabtu malam 22 Desember 2018, Majong (36) sedang berada di atas perahu. Ia bersama Saptu, saudaranya, dan keponakannya Ubad tengah memasang jaring. Sempat terombang-ambing oleh ombak besar, para nelayan ini masih belum menyadari bahwa sedang terjadi tsunami.

Tsunami Selat Sunda

Tsunami Selat Sunda

11 Januari 2019
 Bencana tsunami melanda Banten dan Lampung Selatan (22/12/18), mengakibatkan ratusan orang meninggal, dan ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal. Sehari pascatsunami, relawan Tzu Chi Lampung segera memberikan bantuan untuk meringankan duka mereka yang sedang terkena musibah. Sementara di Jakarta,  Tim Tanggap Darurat (TTD) Tzu Chi juga langsung bergerak menyalurkan 1.000 paket bantuan untuk membantu para korban di Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten pada tanggal 27 Desember 2018. 
Tzu Chi Salurkan Bantuan Tsunami di Kecamatan Sumur

Tzu Chi Salurkan Bantuan Tsunami di Kecamatan Sumur

29 Desember 2018

Tzu Chi Indonesia merespon kejadian tsunami di Selat Sunda dengan memberikan bantuan kepada korban terdampak di kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. Bantuan berupa santunan uang, bantuan barang kebutuhan sehari-hari, serta pelayanan kesehatan.

Cemberut dan tersenyum, keduanya adalah ekspresi. Mengapa tidak memilih tersenyum saja?
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -