Keluarga Harmonis, Bahagia di Sini dan Sekarang
Jurnalis : Nanda Kumara (He Qi Barat 2), Fotografer : Yudi Tjahyadi (He Qi Pusat), Erli TanSabtu, 6 Oktober 2018, Agus Hartono membawakan sharing untuk orang tua anak-anak saat Kamp Qin Zi Ban berlangsung.
“Meskipun kita punya buku yang bagus, fasilitas yang bagus, metode dan juga penekanannya mungkin baik, tapi begini sebut saja dari empat puluh mahasiswa, paling kira-kira yang bagus cuman tiga sampai lima orang. Yang lain biasa saja, bahkan ada juga yang gagal (fail),” kata Agus Hartono mengenai pengalamannya menjadi dosen di hadapan orang tua anak-anak kelas budi pekerti Qin Zi Ban.
Sabtu, 6 Oktober 2018, Agus Hartono berbagi di acara sharing berjudul Bahagia di Sini dan Sekarang. Dosen Bahasa Inggris Universitas Bunda Mulia ini percaya bahwa pikiran adalah dalang kebahagiaan, dan kebahagiaan berkaitan dengan pikiran bawah sadar. Kegiatan sharing ini merupakan bagian dari kamp Qin Zi Ban 2018 yang digelar selama dua hari di Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, yang mana orang tua juga memiliki sesi tersendiri.
Agus menggunakan metafora gunung es sebagai perantara. Menggambarkan pikiran bawah sadar memiliki dua prinsip, yakni (1). Pikiran bawah sadar bekerja seratus persen sempurna; apa yang diprogramkan, itu yang didapatkan, (2). Perlu tanggung jawab sepenuhnya terhadap kesialan, keberuntungan, trauma, atau hal lain yang telah dialami akibat pikiran bawah sadar. Menurutnya, pikiran bawah sadar tidak mengenal masa lalu. Semua yang hadir di pikiran adalah masa kini.
“Benih pikiran yang ditabur sekarang, itulah yang akan dituai di masa depan,” terang Agus yang juga adalah relawan komite Tzu Chi.
Hal ini relevan dengan tanggapan salah satu orang tua, Sim Che Hui. Beliau yang akrab di panggil Awi, bercerita mengenai pengalamannya yang berkaitan dan berhasil ditangani secara terkendali dan penuh rasa syukur. Awi bercerita mengenai cara mendidik keluarganya yang kompleks, ia juga menegaskan usaha untuk menyikapinya.
Sony Marsono (baju putih tengah), salah satu orang tua anak yang mengikuti sesi sharing Agus. Ia merasa dapat belajar dan mewariskan ke anak-anaknya juga.
“Saya selalu berpikir saya tidak ingin menerapkan cara mendidik orang tua saya, saya tidak ingin melanjutkannya keanak saya, orang tua dulu main tangan (kasar). Saya ingin hentikan dari sini, sejauh ini saya berhasil, saya tanamkan terus nilai positif, saya tidak mau saya teringat lagi hal itu,” kata Awi. “Saya bersyukur dengan keadaan saya yang sekarang, itu yang saya tanamkan. Bersyukur bahwa kehidupan saya sudah baik. Mengendalikan pikiran dan selalu bersyukur,” lanjut Awi.
Memantau kebahagiaan, Agus Hartono pun memberikan pernyataan bahwa kebahagiaan sendiri merupakan gerbang yang dapat dicapai dengan dua puluh kunci kebahagiaan, yakni: tak bergaul dengan orang-orang dungu, bergaul dengan para bijaksana, menghormat yang patut dihormati, bertempat tinggal di tempat yang sesuai, memiliki timbunan kebijakan di masa lampau, membimbing diri dengan benar, berpengetahuan luas dan berketerampilan, terlatih baik dalam tata susila, bertutur kata dengan baik, dan membantu ayah dan ibu.
Kemudian Agus Hartono kembali membangkitkan stimulus sosial orang tua mengenai budi pekerti dengan menyajikan tiga prinsip budaya humanis Tzu Chi, yakni 感恩 (gan en) bersyukur, 尊重 (zun zhong) menghormati, dan 愛 (ai) mencintai. Agus juga mengatakan alasan mengapa yakin dengan Tzu Chi. “Semakin saya mendalami ini, semakin saya meyakini, ini yang membuat Tzu Chi dari tahun 1966 sampai sekarang kenapa bisa begitu besar dan menarik perhatian,” tegas Agus.
Salah satu orang tua, Sony Marsono memberi tanggapan manfaat pembahasan ini. Ia menjelaskan pernyataan ringkasnya dalam menjalani hidupnya hingga kini. “Saya telah mengalami masa kecil, muda, dewasa, dan (kini) tua. Minimal saya sudah belajar asam garam yang sudah ada. Saya melihat ini sebagai suatu kesempatan baik untuk belajar, untuk mengajarkan anak. Dan mungkin, anak-anak saya nanti juga akan mengajarkan hal itu,” ujar Sony.
Langkah Terakhir: Keluarga Harmonis
Keluarga harmonis merupakan idaman banyak orang. Kamp hari kedua, Minggu, 7 oktober 2018, orang tua masih mendapat sesi sharing, kali ini dibawakan oleh Diena Haryana, psikolog sekaligus pendiri Yayasan SEJIWA (Semai Jiwa Amini). Materi yang disampaikan adalah mengenai kunci mencapai keluarga harmonis.
Hari kedua, 7 Oktober 2018, para orang tua mendengar sharing yang dibawakan oleh Diena Haryana, dari Yayasan SEJIWA (Semai Jiwa Amini) mengenai bagaimana membina keluarga harmonis.
Bagi Diena, kunci keluarga harmonis berawal dari bimbingan kepada anak yang baik. Sebab mendidik anak dan mengasihi mereka adalah tanggung jawab bagi semua orang. Di hadapan 150 orang tua kelas budi pekerti Qin Zi Ban, Diena menyampaikan bahwa orang tua perlu memahami dahulu faktor yang menguatkan tumbuh kembang anak. Diena menyampaikan bahwa anak memiliki empat hak, menurut PBB. Hak untuk hidup, berkembang, dilindungi, dan berpertisipasi.
Pertama Diena menjelaskan bahwa anak perlu hak untuk hidup, maka hindarilah perdebatan atau pertengkaran antarpasangan. Kedua, anak juga perlu untuk berkembang, maka mereka butuh: berkoneksi dengan orang tua mereka, belajar, bermain, dan berinteraksi. Ketiga, Diena menegaskan bahwa anak juga berhak untuk dilindungi, maka kekerasan verbal ataupun nonverbal terhadap anak perlu dihindari, begitu juga dengan rasisme.
“Kalau mereka sudah mengalami hal-hal seperti ini, ada hak-hak anak yang tidak kita penuhi. Saat kita mengajak anak untuk membenci orang lain, berarti kita mengajak anak memasukkan hal-hal yang buruk di dalam pikiran,” ujar Diena.
Hak keempat ialah hak untuk berpartisipasi. Diena menegaskan bahwa dalam membuat keputusan bersama, orang tua perlu melibatkan anak, mulai dari hal kecil. Maka anak akan merasakan keputusan itu, dan anak menjadi asertif. Hal inilah yang membuat anak memiliki kemampuan komunikasi yang baik.
Kemudian Diena menampilkan hierarki Maslow. Hierarki Maslow adalah tingkatan piramida kebutuhan yang ingin dicapai oleh manusia. Mulai dari fisik, rasa aman, sosial, harga diri, hingga yang tertinggi yakni aktulisasi diri. Diena percaya bahwa hal tersebut masih relevan sampai kapan pun, dan hal ini tentu sangat relevan bagi anak. Tidak hanya orang tua.
Selanjutnya Diena mengangkat tiga respon yang anak bisa lakukan apabila harga dirinya terancam. Mulai dari respon fight dari anak, yang menjadikan anak sebagai seorang pembully. Respon flight, yang membuat anak melakukan pelarian ke hal seperti narkoba, seks, ataupun dunia digital. Dan respon freeze, yang membuat anak menjadi tertekan, depresi, menyakiti diri sendiri, hingga balas dendam. Akan tetapi yang kini menjadi masalah menurut Diena adalah gawai (gadget).
Sim Che Hui (kiri baju putih) bersyukur karena sejauh ini ia dapat mengendalikan diri untuk tidak meneruskan cara didik orang tuanya ke diri anak-anaknya.
Anak yang menjadikan narkoba sebagai pelariannya, akan terlihat gejala-gejalanya. Sedangkan anak yang menjadikan gadget sebagai pelarian, gejala-gejalanya sulit terlihat. “Adiksi yang kita lihat ini, sekarang sedang marak. Bapak Ibu bisa tanyakan ke Rumah Sakit Pusat Otak, di Cawang. Sekarang ini, di sana, yang masuk kebanyakan anak-anak. Dan yang lebih banyak bukan karena narkoba. Justru karena adiksi gawai,” kata Diena.
Gawai (gadget) pun menjadi salah satu bentuk pelarian. Dan Diena menyampaikan dampak negatif dan relasinya dengan pornografi yang dapat merusak bagian utama otak, Prefrontal Cortex atau PFC (PFC: asal konsen, pembuat keputusan, rentan rusak, pemimpin otak).
“Cerdas, mandiri, dan berkarakter. Ketiga hal itu tidak akan terjadi pada anak yang teradiksi gawai. Kecerdasan mereka terbatas, seperti hanya pada game, pornografi, dll. Mereka tidak akan teraktualisasi, itu tidak akan terjadi,” tegas Diena tentang aktualisasi diri anak zaman sekarang melalui sosial media.
Akan tetapi segala kekacauan dan kerusakan itu mampu dicegah atau disembuhkan, dipulihkan menjadi lebih baik kembali, apabila melalui kasih sayang dari orang tua. Perlu diketahui dan ditanamkan bahwa komunikasi, kegiatan, perencanaan keputusan adalah faktor dasar yang menentukan kematangan anak.
Terutama, orang tua zaman sekarang perlu memiliki literasi digital yang baik agar tidak ketinggalan zaman. Menjadi teman di sosial media anak, frequent break setiap lima belas menit, membatasi anak dengan parental control pada gawai, menetapkan area bebas gawai (kamar tidur dan ruang tamu) dan membuat peraturan bebas gawai dari jam enam sore sampai sembilan malam.
Sebab menurut Diena, yang perlu dilakukan orang tua zaman now tentu bukanlah menjadikan gawai sebagai pengganti babysitter, akan tetapi bagaimana orang tua zaman sekarang perlu menjadi Funny, Asik, Bergaul (FAB).
Sesuai saran dari Diena, Susanna (tengah) bertekad untuk menjadi ibu yang FAB (Funny, Asyik, Bergaul).
Salah satu orang tua anak, Susanna, usai mengikuti sharing Diena, merasakan manfaatnya dan merasa masih perlu mengembangkan dirinya dalam membimbing anak. “Menjadi ibu yang top, menjadi Funny, Asik, Bergaul (FAB), itu yang terpenting bagi saya dan perlu saya lakukan. Mungkin karena selama ini saya kerja, pulang capek, ada kadang-kadang kemarahan juga. Itu yang sepertinya perlu saya ubah,” kata Susanna.
Pada dasarnya semua mengarah pada kasih sayang tulus orang tua kepada anak, serta berorientasi pada dunia nyata dibandingkan dunia maya. Sebab untuk memiliki keluarga dan rumah, yakni memiliki mereka yang dicintai dan tempat untuk diri. Memiliki keduanya adalah sebuah berkah.
Editor: Yuliati