Keras Melawan Keterbatasan Alam (Bag. 1)
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Anand YahyaDanau-danau yang dibuat secara swadaya oleh measyarakat dugunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, dan menyiram tanaman. |
| ||
Sebagai penganut agama Hindu yang taat, raja terakhir Majapahit ini membuat Paseban (balai yang digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan-red). Di tempat yang disebut Paseban inilah Prabu Brawijaya melakukan pati obong (membakar diri) guna mengelabui pasukan Demak yang berusaha menangkapnya. Ritual pati obong memang hanya untuk kamuflase. Setelah kabarnya menyebar ke segala penjuru, Prabu Brawijaya mengasingkan diri ke tempat yang lebih sulit lagi dijangkau, yakni Goa Langse yang masuk di wilayah Kabupaten Bantul. Di Goa Langse tersebut Prabu Brawijaya mengakhiri hidupnya di dunia fana ini dengan cara moksa (bebas dari penjelmaan kembali-red). Kepercayaan terhadap Prabu Brawijaya yang pernah singgah di daerah gunung Kidul, juga sama kuatnya dengan kepercayaan masyarakat Giriasih pada kisah Ki Trobongso. Menurut masyarakat Giriasih, Ki Trobongso adalah salah seorang keturunan Majapahit yang menemukan sumber air di gua Pego. Berdasarkan cerita yang berkembang secara turun-temurun, kala itu Ki Sutoyoso putra dari Ki Trobongso sedang pergi untuk menghadiri rapat desa. Tinggallah di rumah antara Ki Trobongso dengan menantunya – istri Ki Sitoyoso. Berhubung menantunya memiliki kesopanan yang kurang, maka ketika ia sedang menimba air tanpa sengaja payudaranya terlihat oleh Ki Trobongso. Ki Trobongso pun segera menasihatinya agar menjaga kesopanan. Namun karena merasa malu, menantunya itu mengadu kepada suaminya kalau ia telah dipermalukan oleh ayah mertuanya sewaktu Ki Sutoyoso meninggalkan rumah.
Ket : - Seorang petani sedang mengangkut timbunan rumput untuk digunakan sebagai pakan ternak. Namun di Giriasih usaha ternak tidak berkembang pesat lantaran seringnya daerah itu mengalami krisis air. (kiri) Mendengar aduan istrinya Ki Sotoyoso langsung naik pitam dan bermaksud membunuh ayahnya yang ia anggap telah melecehkan istrinya. Maka dalam pergulatan itu Ki Trobongso lantas melarikan diri dan bersembunyi di dusun Ngoro-oro, Desa Giriasih, Gunung Kidul. Di dusun inilah akhirnya Ki Trobongso menemukan sumber mata air di Gua Pego. Keturunan Orang yang Kalah Dr. Herry Widianto seorang paleoantropologi (ahli purbakala-red) dari Balai Arkeologi Yogyakarta memberikan perspektif bahwa, makhluk purba itu berasal dari Asustronelanesoid yang bermigrasi dari daratan Asia Tenggara pada masa Glasiasi akhir atau sekitar 11.000 tahun yang lalu. Pendapat Herry Widianto ini semakin memperkuat bahwa sejarah orang Gunung Kidul adalah sejarah orang-orang yang kalah. Mereka umumnya melarikan diri dari daerah asalnya untuk menyelamatkan diri atau mencari kehidupan yang lebih baik. Kini setelah ratusan bahkan ribuan tahun berlalu, Gunung Kidul telah berkembang menjadi daerah pedesaan yang mayoritas masyarakatnya berpenghasilan dari bercocok tanam. Tak ada lagi kelompok-kelompok orang yang melarikan diri ke tengah hutan atau ke dalam gua serta tak ada lagi drama kejar-kejaran antara anak dan ayah.
Ket : - Selain sebagai sumber kehidupan masyarakat telah menganggap air sebagai sumber kemakmuran, dan spiritualitas. (kiri) Namun kondisi geografis Gunung Kidul yang dipenuhi oleh bebatuan kars membuat daerah ini selalu dilanda kesulitan air bersih dan perekonomian. Sejak beberapa tahun yang lalu pergantian musim di Indonesia mengalami ketidak teraturan yang dipengaruhi oleh kerusakan alam secara global. Akhir tahun yang semestinya menjadi awal musim penghujan justru menjadi musim kemarau yang berkepanjangan. Bagi petani tadah hujan, ketidak teraturan cuaca bagaikan pertaruhan di meja judi. Banyak cara untuk menang atau kalah dipertaruhan ini. Bila di musim penghujan, hujan tak turun, maka bibit padi yang ditanam akan mati kekeringan. Sebaliknya bila hujan tiba-tiba turun tiada henti di musim kemarau, tembakau-tembakau yang mereka tanam juga akan mati terendam air. Sebuah dilema yang mengharuskan para petani Gunung Kidul bekerja lebih keras melawan nasibnya sebagai petani. Karena itu, terlepas dari semua hipotesis yang menyatakan masyarakat Gunung Kidul adalah keturunan orang-orang yang kalah. Ada faktor lain yang sesungguhnya menjadi penyebab utama terbelakangnya masyarakat Gunung Kidul: kekuatan alam yang berada di luar kemampuan mereka. Bencana kekeringan oleh kemarau yang berkepanjangan, kekurangan air bersih, gagal panen karena serangan hama tikus, ulat, wereng, sampai angin lesus (angin topan setempat) menjadi pertanda bahwa alam telah memberikan keterbatasan dan membelit masyarakat Gunung Kidul hingga sekarang. Kondisi-kondisi inilah yang sering terjadi di Desa Giriasih Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Desa yang terdiri dari 580 kepala keluarga ini terletak di pegunungan kars yang tandus. Kondisi geografisnya yang berbukit-bukit dan berbatu membuat masyarakat di desa ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan cadangan air bersih dan kesuksesan. Bersambung ke bagian 2 | |||
Artikel Terkait
Tahun Baru Lembaran Cinta Kasih Baru
16 Januari 2013Minggu, tanggal 6 Januari 2013, jam menunjukan pukul 07:30. Walau pintu Jing Si Books and Café Pluit belum dibuka para Relawan Tzu Chi, Penerima Bantuan dan Anak asuh sudah berdatangan.
Menyebarkan Cinta Kasih Tzu Chi
21 Juni 2016Yayasan Citra Cemara Bandung mengunjungi Tzu Chi Center untuk mengenal lebih dekat Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia mulai dari visi misi hingga sumbangsih kegiatan yang dilakukan relawan Tzu Chi.