Keras Melawan Keterbatasan Alam (Bag. 2)

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Anand Yahya
 
 

fotoGua Pego selain sebagai legenda yang diyakini oleh masyarakatnya juga dianggap sebagai sumber mata air yang menghidupi penduduk Giriasih.

Salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat Giriasih dalam melawan keterbatasan ini adalah dengan membangun terasering di lahan-lahan pertanian, membuat danau-danau buatan, dan bak penampung hujan. Sistem terasering ini dilakukan dengan mengumpulkan batu-batu karang yang kemudian disusun rapi sejajar dengan kontur tanah. Harapannya adalah tanah yang terdapat di permukaan batuan kars pada waktu musim hujan tidak tergerus oleh aliran air, akan tetapi tanah tersebut dapat tertahan oleh bangunan-bangunan terasering.

Pada tahun 1985, secara  swadaya masyarakat Giriasih melibatkan diri dalam pembuatan Danau Pampon nan penuh harapan untuk menampung air di saat musim penghujan. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan danau-danau berikutnya seperti Danau Dukuh, Bembem, dan Telaga Karang.  Namun usaha yang tidak diimbangi dengan pengetahuan konservasi lahan kritis dan teknik biopori membuat danau-danau itu kerapkali mengering di musim kemarau. Dan satu-satunya cadangan air yang bisa digunakan adalah sumber mata air yang berada di dasar Gua Pego di tepian hutan Dusun Ngoro-oro.

Di Giriasih, air tidak hanya sebagai penunjang kehidupan, tetapi lebih dari itu, air sudah dianggap sebagai sumber kemakmuran. Di ranah yang lebih spiritual air dianggap sebagai benda yang disucikan dan telah dipercaya oleh ribuan warga desa sebagai media komunikasi antara alam nyata dengan alam mistis.

foto  foto

Ket : - Sebelum datangnya bantuan dari pihak luar, masyarakat giriasih telah membangun Danau Pampon              usaha untuk mengatasi krisis air. Tetapi usaha ini seringkali sia-sia karena tidak dibarengi oleh teknik              biopori. (kiri)
         - Tong-tong beton besar berukuran 5 kubik menjadi perlengkapan umum disetiap rumah warga Giriasih              yang berguna untuk menampung air hujan. (kanan)

Pada bulan-bulan tertentu dan seusai panen, warga biasa mengadakan syukuran di Gua Sigolo-golo yang bermata air keramat sebagai tanda terima kasih atas berkah selama musim tanam. Selain itu berlimpahnya air di musim penghujan menandakan waduk-waduk yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat akan terisi penuh dan kemungkinan terbesarnya adalah panen akan berhasil. “Kalau hujan ya, kami untung, tapi kalau nggak hujan kami nggak punya apa-apa,” kata Sis Rersodongso, salah seorang petani berusia 70 tahun.

Berlimpahnya air hujan juga menandakan bahwa warga Giriasih tidak perlu lagi bersusah payah mengambil air di Gua Pego, sebab air bersih telah tersedia di bak-bak penampungan. Namun bila hujan tak kunjung datang dan kemarau mengerontangkan waduk-waduk serta bak penampungan, air kembali menjadi sesuatu yang amat berharga di tempat ini laksana sebuah permata.

foto  foto

Ket : - Kondisi alam yang tidak subur membuat banyak dari penduduk Gunung Kidul yang merantau ke kota             meninggalkan kehidupan bertani demi mendapatkan penghasilan yang lebih baik sebagai buruh. (kiri)
         - Kesederhanaan masih menjadi bagian dalam keseharian masyarakat di Giriasih. Padahal 35 KM dari             situ berdiri kota Yogyakarta yang telah menjadi kota modern. (kanan)

Berbeda dengan kota-kota besar yang telah dilengkapi dengan jaringan infrastruktur memadai. Di kota besar, orang hanya cukup membuka kran dan air pun langsung mengucur. Di Giriasih untuk mendapatkan sejeriken air bersih warga harus membayarnya dengan kerja keras. Dan itu telah menjadi tugas bagi sebagian wanita di desa ini. Satu di antaranya adalah Pajiem. Perempuan berusia lanjut bertubuh gemuk ini rutin mengambil air sebanyak beberapa kali sehari di Gua Pego yang jaraknya 1 kilo meter dari tempat tinggalnya. Namun bila kondisi tubuhnya sedang tidak sehat, tugas ini digantikan oleh suaminya Sis Rersodongso.

Pajiem yang sepanjang hidupnya bekerja sebagai petani dan pengumpul kayu bakar bersama suaminya tidak pernah mengeluhkan nasib dan masa depannya. Satu-satunya harapan yang ia miliki adalah masuknya jaringan pipa air bersih hingga ke rumahnya. Melihat pentingnya prasarana penyaluran air bersih maka Departemen Pekerjaan Umum lantas mengusahakan pemasangan pompa dan pipa dari Gua Pego menuju rumah-rumah warga. Kendati demikian usaha ini tetap tidak mampu menjangkau dan mencukupi seluruh kepala keluarga yang berada di Desa Giriasih. Pajiem masih saja memikul berjeriken-jeriken air dari Gua Pego menuju rumahnya  – krisis air bersih dan ekonomi tetap menjadi permasalahan di desa ini.

Bersambung ke bagian 3

  
 
 

Artikel Terkait

Sebutir Benih Bagi Dunia yang Bersih

Sebutir Benih Bagi Dunia yang Bersih

06 November 2018

Insan Tzu Chi dan warga sekitar mengadakan kegiatan rutin pelestarian lingkungan di RW 06 Blok D Taman Aries, Jakarta Barat. Kegiatan yang dimulai pada pukul 7.30 sampai dengan pukul 11.30 WIB ini diselingi dengan doa bersama, doa bagi keselamatan dunia.

Suara Kasih: Mengembangkan Kebijaksanaan

Suara Kasih: Mengembangkan Kebijaksanaan

23 Juni 2011
Sudah setahun kita menebarkan benih cinta kasih di Haiti. Kini, benih-benih tersebut telah tumbuh. Mereka telah mulai menjalankan misi Tzu Chi di sana. Bulan Mei lalu, relawan di Haiti merayakan Hari Ibu dengan cara yang unik. Para relawan di Haiti meminjam sebuah ruang sekolah dan mengundang para wanita tunawisma.
Sosialisasi Pelestarian lingkungan di Gita Bangsa School

Sosialisasi Pelestarian lingkungan di Gita Bangsa School

15 Desember 2023

Para relawan Tzu Chi dari He Qi Tangerang menggelar sosialisasi pelestarian lingkungan hidup di Gita Bangsa School. Johnny Chandrina menjadi narasumber dalam sosialisasi ini.

Memiliki sepasang tangan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, sama saja seperti orang yang tidak memiliki tangan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -