Keras Melawan Keterbatasan Alam (Bag. 3)

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Anand Yahya
 
 

fotoSis Rersodongso tengah menunjukkan Banyu Leng yang ia anggap sebagi berkah di tengah bukit berkarang.

Perubahan Iklim Mengeringkan Kolam Kecil Rersodongso
Rumah Sis Rersodongso berada di bawah jalan menanjak menuju arah bukit. Rumah sederhana bergaya Jawa Tengah itu, terlindung oleh rindangan beberapa pohon besar. Asri dengan teras yang berlumut hijau dan terpencil sebagaimana rumah-rumah di desa. Menjelang pukul 7 pagi, saya sudah tiba di muka halaman rumahnya. Melihat teras rumah yang begitu hening, maka saya putuskan untuk memasuki rumahnya melalui pintu belakang.

Setiba di sana, saya terkesiap melihat Rersodongso sedang asyik bercengkerama dan tertawa terpingkal-pingkal bersama seorang laki-laki dan tiga orang perempuan yang juga seusianya – lanjut usia. Suasananya mirip seperti reuni di komunitas pertemanan, saling berkisah dan bersenda gurau. Hanya saja di komunitas ini anggotanya para petani yang berusia lanjut.

Kondisi geografis Gunung Kidul yang berbatu dan kekurangan air, membuat para petani di desa ini terus berkutat dengan kemiskinan dan kekalutan. Keadaan inilah yang  mendorong banyak di antara kaum mudanya mencari pekerjaan di kota sebagai buruh, seniman bangunan atau pedagang makanan sehingga tinggal menyisakan orang-orang tua di desa.

Saat mengetahui kehadiran saya, Rersodongso segera mengenakan kemeja batik lusuh berwarna hijau. Tubuhnya yang kurus dan legam bagaikan kulit kayu, menjadi gambaran kerasnya perjuangan hidup yang ia hadapi sebagai petani tadah hujan. Setelah berpamitan kepada istrinya Pajiem, Rersodongso langsung mengajak saya menuju sawahnya yang berjarak sekitar 300 meter dari tempat tinggalnya.

Sawah Rersodongso luasnya sekitar 1 hektar, namun tidak semua lahannya bisa ditanami dengan baik. Sebagiannya lagi berada di area perbukitan kars sehingga hanya memungkinkan untuk ditanami jagung atau pohon produksi. Sambil berjalan melintasi gundukan batu cadas, Rersodongso menerangkan bahwa masyarakat Giriasih masih mempertahankan gaya hidup sederhana. Kesederhanaan itu tergambar dari pemanfaatan hasil panen. Padi dan jagung kebanyakan hanya digunakan untuk makan sendiri. Bila lebih, masyarakat Giriasih biasa menyimpannya di lumbung dan dijual bila ada keperluan keluarga, seperti membeli pakaian di hari raya atau mengadakan pesta keluarga. “Di sini untuk makan tidak beli. Semua hasil panen baik jagung atau padi disimpan di lumbung untuk makan sehari-hari,” katanya.

Setelah sampai di area pesawahan, Rersodongso menunjukkan sebuah kolam kecil bermata air, di bawah pohon beringin di tepian sawah. Bagi Rersodongso kolam yang disebut Banyu Leng ini adalah berkah di tengah bukit berkarang. Alasannya saat para petani yang lain bersusah payah memikul air dari waduk untuk menyirami tanamannya, Rersodongso justru merasa ringan karena adanya Banyu Leng di tepian sawahnya. Namun sayang berkah ini tidak bisa ia nikmati sepanjang usianya. Perubahan musim yang tidak menentu membuat Banyu Leng kerap kali mengering karena musim kemarau yang berkepanjangan. “Meskipun terlihat kecil, Banyu Leng bisa digunakan selama musim panas. Tetapi ya itu. Saat puncak kemarau Banyu Leng bisa asat (kering),” jelas Rersodongso.

foto  foto

Ket : - Kegigihan dan ketabahan masyarakat Giriasih dalam menghadapi kesulitan mengundang simpati Tzu             Chi. Kareanya selain memberikan bantuan pemasangan pipa, Tzu Chi juga menyerahkan bibit sengon             sebanyak 80.000 batang. (kiri)
         - Penuh suka cita masyarakat berbondong-bondong menyelesaikan pemasangan pipa dari terminal air             yang sudah ada menuju rumah-rumah. (kanan)

Sejak dahulu krisis air memang telah menjadi permasalahan serius di Kabupaten Gunung Kidul. Namun perubahan iklim yang ekstrem akibat pemanasan global, membuat wilayah ini semakin terperosok dalam bencana kekeringan. Satu-satunya harapan, adalah adanya bantuan dari pihak luar untuk membangun jaringan pipa air bersih. Dan pemodalan untuk menanam puluhan ribu pohon sebagai alternatif usaha selain menjadi petani tadah hujan.

Membuka Harapan Baru
Mendekati pukul 9 pagi, cahaya matahari telah meninggi dengan sinarnya yang terasa menyengat di kulit. Rersodongso mengajak saya untuk kembali ke rumahnya. Menurutnya hari itu, Minggu 31 Januari 2010 adalah hari yang istimewa bagi warga Giriasih. Pasalnya di hari itu akan diadakan pesta meriah di Balai Desa Giriasih. Yayasan Buddha Tzu Chi melalui Kantor Penghubung Yogyakarta akan menyerahkan bantuan pemasangan pipa jaringan air bersih sepanjang 3.151 meter dan pohon Sengon sebanyak 15.000 batang. Karena itu, Rersodongso yang sudah lama mengharapkan program ini, merasa harus hadir bersama sang istri di  acara itu.

Menjelang tengah hari, kantor kepala desa semakin ramai dipadati warga dan beberapa tamu undangan. Alunan merdu gending Jawa yang dilantunkan oleh para sinden berusia lanjut semakin memperkental suasana formal di hari itu. Dan ketika gending itu berhenti mengalun, dentuman genderang kulit mulai bertabuhan di halaman muka. Tiba-tiba sebuah replika singa yang dikenal dengan sebutan Barongsai muncul di tengah-tengah kerumunan warga. Barongsai yang biasa tampil di perkotaan untuk mengisi acara-acara besar kini muncul di Giriasih sebagai simbol harapan kemakmuran bagi warga desa.

Dengan terpasangnya jaringan air bersih, Tzu Chi berharap kelak warga tidak lagi bersusah payah untuk mengambil air ke Gua Pego. Karena itu setelah acara seremoni penyerahan bantuan selesai, keesokan harinya beberapa warga langsung berbondong-bondong melibatkan diri dalam pemasangan pipa dari terminal-terminal air yang sudah ada menuju rumah-rumah penduduk. Sis Rersodongso juga ikut hadir dalam kegiatan itu. Ia terlihat begitu bersemangat hingga tak henti-hentinya memancarkan senyum di wajahnya. Selama puluhan tahun bersusah payah mengangkut air akhirnya semua itu kini impas dengan terpasangnya jaringan air bersih.

Selain jaringan air bersih, masyarakat Giriasih juga digembirakan dengan pemberian bibit pohon sengon sebanyak 15.000 batang dan setiap kepala keluarga berhak mendapatkan 25 batang bibit Sengon. Bantuan yang diberikan oleh Tzu Chi kepada masyarakat Giriasi bukanlah semata-mata sebuah kebetulan belaka. Tetapi di balik itu tersimpan makna perjuangan dan keuletan masyarakatnya dalam mengatasi keterbatasan alam hingga jodoh mempertemukannya dengan Tzu Chi.

foto  foto

Ket : - Dengan terpasangnya jaringan air bersih, Tzu Chi berharap penduduk tidak lagi bersusah payah                mengambil air dan masalah kebersihan pun dapat teratasi. (kiri)
           - Setelah pipa terpasang penduduk yang sebelumnya bersusah payah memikul air di Gua Pego kini                cukup membuka kran. (kanan)

Semua jodoh ini berawal dari kunjungan tim jurnalis DAAI TV pada pertengahan tahun 2009 saat meliput kehidupan warga Desa Giriasih. Dari perjumpaan itulah, akhirnya Pardiyana, selaku Lurah Giriasih mengenal Tzu Chi sebagai yayasan kemanusiaan. Maka ia pun memberanikan diri melayangkan surat permohonan bantuan pemasangan pipa jaringan air bersih kepada Tzu Chi di Jakarta. Dari surat yang diterima itu, Tzu Chi lantas menanggapinya dengan melakukan survei ke Desa Giriasih pada akhir tahun 2009.

Setelah dirapatkan, akhirnya Tzu Chi bersedia membangun jaringan air bersih untuk dua dusun yang belum terjangkau, yaitu Klepu dan Trasih. Di samping itu kehidupan masyarakat Giriasih sebagai petani tadah hujan yang minus mendorong Frananto Hidayat, relawan Tzu Chi Yogyakarta berinisiatif memberikan bibit pohon sengon yang dianggap memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat. Ide sederhananya adalah  bila dalam 5 tahun setiap pohon bisa dijual sedikitnya seharga Rp 1juta per batang, maka setiap kepala keluarga akan mempunyai investasi sebesar Rp 25 juta dari hasil panen pohon sengon.

Secara hipotesis setidaknya, program ini akan mampu memakmurkan masyarakat Giriasih yang hidup bergantung dari bercocok tanam dan menjual kayu. "Harapannya semoga warga akan lebih sejahtera sehingga tujuan Tzu Chi mensejahterahkan masyarakat bisa tercapai," harap Frananto. Oleh sebab itu, 1 bulan berikutnya Frananto kembali memberikan bibit pohon sengon sebanyak 65.000 batang untuk 4 desa lainnya: Giri Purwo, Giri Cahyo, Giri Jati, dan Giri Tirto.

6 bulan berikutnya ketika relawan Tzu Chi Yogyakarta berkunjung ke Giriasih, batang-batang sengon telah tumbuh subur di lereng-lereng bukit. Masyarakat pun tidak lagi direpotkan untuk mengambil air di Gua Pego, karena cukup membuka kran air pun mengucur deras. “Terakhir kita berkunjung ke Giriasih, bantuan pipa air bersih itu terlihat sangat bermanfaat bagi masyarakat. Sedangkan pohon-pohonnya tinggal menunggu besar untuk di panen,” ungkap Frananto Hidayat.

Tertatih-tatih atau tergopoh-gopoh menimba air di Gua Pego, telah menjadi romantisme masa lalu untuk mengingat kegigihan penduduk Giriasih. Krisis air bersih kini sudah teratasi. Ketabahan mereka telah mengundang simpati banyak orang hingga jodoh mempertemukannya dengan Tzu Chi. Sekarang setelah semua bantuan itu diterima penduduk Giriasih terus giat memupuk benih yang mereka miliki untuk panen di masa mendatang dan merengkuh secercah harapan bersama.

Selesai

  
 
 

Artikel Terkait

Akhir Tahun Penuh Berkah

Akhir Tahun Penuh Berkah

13 Maret 2015 Tak ketinggalan murid SMA Negeri 1 Padang yang menampilkan isyarat tangan dan drama tentang kesadaran seorang anak terhadap orangtua. Dalam pertunjukan ini memberikan pembelajaran yang berarti bagi setiap orang bahwa harta kekayaan tidak menjamin kebahagiaan, melainkan kesederhanaan lah yang membuat seseorang menjadi bahagia.
Kebahagiaan Imlek Bersama Opa Oma

Kebahagiaan Imlek Bersama Opa Oma

15 Februari 2024

Relawan Tzu Chi Pontianak mengadakan kunjungan kasih ke Panti Jompo Marie Joseph untuk merayakan sukacita Imlek bersama opa oma di sana. 

Memupuk Berkah Secara Bersama

Memupuk Berkah Secara Bersama

15 April 2016
Tzu Chi Medan mengadakan pelatihan relawan abu putih pertama yang bertempat di kantor Tzu Chi Medan, Komplek Cemara Asri, Medan pada tanggal 10 April 2016. Pelatihan ini diikuti oleh 113 peserta.
The beauty of humanity lies in honesty. The value of humanity lies in faith.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -