Kerjasama Antara Saya, Kamu, dan Dia

Jurnalis : Sutar Soemithra, Fotografer : Sutar Soemithra
 
foto

* Xiao Ming mendengarkan anggota tubuhnya yang sedang berdebat merasa paling berjasa baginya. Mereka tidak sadar bahwa berkat kerjasama semuanya, Xiao Ming bisa tumbuh sehat dan melakukan aktivitas.

Suatu siang, Xiao Ming ingin istirahat. Dia pun masuk ke kamar dan berbaring sejenak. Tidak lama kemudian dia pun tertidur pulas. Beberapa saat berlalu, Xiao Ming merasa banyak suara-suara yang berdebat. Dia terbangun. Dengan teliti ia mendengarkan apa yang diperbincangkan oleh mereka.

“Kerja saya yang paling capek. Semua beban tubuh kalian dibebankan kepada saya. Saya jadi malas sekarang. Paling enak itu mulut, kerjanya makan aja, seneng-seneng. Mulut yang paling seneng dapat menikmati makanan, sedangkan saya kaki tidak pernah merasakan. Saya protes, saya tidak mau bekerja lagi!” keluh sepasang kaki.

Sepasang tangan tidak mau kalah, “Jangan begitu, kaki. Setiap hari dari pagi saya masak, mencuci, persiapin makanan. Itu semua untuk mulut. Saya nggak pernah tuh makan yang enak-enak.” Mereka terus berdebat tidak mau kalah. Lambung pun ikut-ikutan berkomentar, “Saya juga punya perasaan yang sama seperti kalian. Saya selalu di dalam tubuh. Saya tidak pernah bisa merasakan matahari yang cerah, tidak pernah bisa merasakan udara yang segar. Kalau makan selalu saya yang cerna. Yang paling capek tuh saya. Kalau badan sakit, selalu saya lambung yang disalahin. Pencernaan sakit selalu lambung yang disalahin. Saya juga paling capek kalo begitu. Saya juga mau diem saja.”

Mendengar teman-teman menyalahkannya, mulut tidak terima. “Mendengar percakapan kalian, sepertinya saya yang paling senang ya? Saya bisa makan yang enak-enak, sementara kalian bekerja keras. Tau nggak kalo makan harus mengunyah sampai lembut. Harus bekerja keras juga. Belum lagi kalo lagi sakit gigi, kalo sakit nangis terus baru makan supaya kalian punya energi,” protes mulut. Mulai saat itu juga mulut ikut-ikutan tidak mau makan lagi. Lambung juga ikut istirahat. Sepasang tangan tidak mau bergerak, dan sepasang kaki diam santai.

foto  foto

Ket : - Mulut marah karena dianggap menjadi bagian tubuh yang paling sering merasa senang oleh bagian tubuh
           yang lain. Padahal ia juga harus bekerja keras mengunyah makanan agar bagian tubuh yang lain bisa
           memiliki energi. (kiri)
         - Setelah sempat mogok karena merasa yang paling berjasa bagi Xiao Ming, anggota tubuh Xiao Ming
           akhirnya sepakat untuk bekerja sama kembali karena Xiao Ming justru menjadi sakit ketika mereka
           masing-masing mogok tidak mau bekerja. (kanan)

Xiao Ming merasa lapar sekali. Sekujur tubuhnya lemas tak berdaya. Lama-kelamaan Xiao Ming pun jatuh sakit. Melihat keadaan gawat, otak langsung memberi saran kepada mereka: tangan, kaki, lambung, dan mulut. “Ayo kalian semua bangun dan pertanggungjawabkan perbuatan kalian. Kalau begini terus kita bisa kelaparan seperti Xiao Ming. Kalian harus mengerti, suatu pekerjaan perlu tanggung jawab dari kamu, dia, dan saya. Ayo bangun, kita kerja lagi supaya Xiao Ming memiliki tubuh yang sehat lagi,” ajak otak.

Setelah mendengar nasihat dari otak dan merasa bahwa nasihat itu benar, mereka pun kembali bersemangat. Mulut mulai makan, lambung langsung mencerna makanan yang diterimanya, sepasang tangan juga sudah bisa bergerak, dan kaki pun langsung bisa berjalan. Mereka semua sepakat dan berkata, “Kita kembali bekerja sama!”

foto  foto

Ket : - Tangan para relawan saling mengait untuk beradu cepat membawa bola pingpong. Tidak hanya diperlukan            kekompakan untuk melakukannya, namun juga strategi. (kiri)
         - Setelah membawa bola pingpong yang berukuran kecil, permainan kembali dilanjutkan dengan membawa
           bola yang berukuran lebih besar. (kanan)

Pentingnya Kerja Sama
Yenny berperan sebagai Xiao Ming, Menny sebagai kaki, Christine sebagai tangan, Fie Lan sebagai lambung, Linda sebagai mulut, dan Dewi sebagai otak. Mereka memeragakannya di depan 76 “xiao pu sa” (Bodhisattva kecil). Para Bodhisattva kecil itu bukan anak-anak kecil sesuai namanya, melainkan para relawan Tzu Chi berumur dewasa. Mereka sedang mengikuti pelatihan guru kelas bimbingan budi pekerti Tzu Chi tanggal 21 Maret 2009 di kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Jakarta. Para relawan itu bermain peran sebagai siswa Kelas Bimbingan Budi Pekerti sehingga simulasi bisa semirip mungkin dengan situasi sebenarnya. Para peserta pelatihan pun menjadi lebih bisa merasakan gambaran situasi sebenarnya yang akan mereka hadapi kelak ketika menjadi guru Kelas Bimbingan Budi Pekerti atau biasa disebut da ai mama (perempuan) dan da ai papa (laki-laki).

“Apa yang menyebabkan mereka tidak mau bekerja sama?” tanya Erni, pemandu acara, kepada para “xiao pu sa”. “Ego,” jawab salah seorang “xiao pu sa”. “Apa inti dari cerita ini?” tanya Erni kembali. “Xiao pu sa” pun menjawab serempak, “Kerja sama.” Erni kemudian menyimpulkan, “Kita ingin berjalannya suatu hasil, harus ada kerjasama yang baik antara saya, dia, dan kamu. Jangan selalu ada prasangka, jangan selalu mengungkapkan diri sendiri. Kalau kita satu tim berarti kita harus kompak.”

Sebelum menyimak drama, “xiao pu sa” juga memainkan games kelompok. Mereka dibagi dalam 8 kelompok. Salah satunya adalah membawa bola. Dalam tiap kelompok, setiap orang saling berpasangan. Mereka saling menjepit jari pasangannya. Ibu jari kanan menjepit 4 jari kiri membentuk sebuah bidang dengan lubang di tengah. Bola pingpong kemudian diletakkan di lubang tersebut. Mereka harus adu cepat dengan kelompok lain membawanya berlari menuju garis batas hingga kembali lagi ke posisi semula. Bola tidak boleh terjatuh, jika jatuh harus dimulai lagi dari titik awal. Setelah itu kemudian masing-masing kelompok ganti membawa bola plastik dalam ukuran yang lebih besar. Terakhir bola plastik yang dibawa ukurannya sangat besar. Usai games ini, Rewita Wijaya, relawan yang memandu menyatakan, “Melakukan sesuatu harus kompak, tapi juga harus ada strategi.”

foto  

Ket : - Inti simulasi pengajaran Kelas Bimbingan Budi Pekerti hari itu adalah kata perenungan Master Cheng Yen
           yang menekankan bahwa untuk mencapai hasil yang bagus harus ada kerjasama antara saya, kamu, dan
           dia.

Inti ajaran kebajikan pada siang hingga sore hari itu ada pada sebuah potongan kertas kecil yang dibagikan pada setiap peserta pelatihan. Inti ajaran itu adalah sebuah kata perenungan Master Cheng Yen, “Keberhasilan sebuah pekerjaan perlu adanya kerjasama yang baik antara saya, kamu, dan dia, bukan adanya prasangka.”

Pelajaran Kehidupan Sehari-hari
Enam tahun lalu ketika Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng diresmikan, pelajaran budi pekerti mulai dikembangkan di sekolah tersebut. Materi pelajaran waktu itu kebanyakan dalam bahasa Mandarin. “Setelah kita melihat materi yang dalam bahasa Mandarin, kita semua bingung bagaimana kita akan menyebarkan pelajaran budi pekerti dengan kata perenungan Master Cheng Yen di Indonesia ini,” kenang Chi Ying, relawan Tzu Chi asal Taiwan yang selama ini aktif di misi pendidikan. Tapi untungnya akhirnya mereka bisa menerjemahkannya.

Latar belakang yang berbeda –pelajaran budi pekerti Tzu Chi berasal dari Taiwan– ternyata bukan halangan untuk diterapkan di Indonesia. “Pendidikan budi pekerti itu adalah pelajaran kehidupan sehari-hari karena menggunakan kata perenungan Master Cheng Yen, dimana pada saat ketemu keadaan tertentu, Master (Cheng Yen) mengutarakan kata bijak tersebut,” jelas Chi Ying.

Kelas Bimbingan Budi Pekerti kini malah telah berkembang jauh dengan lahirnya kelas-kelas serupa untuk anak yang lebih kecil, yaitu Istana Dongeng Ceria dan Kelas Matahari Kecil, serta Tunas Cinta Kasih. Tempatnya pun bukan lagi hanya di kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, namun juga di Jing Si Books & Café, serta sedang dikembangkan di tiap komunitas relawan.

foto  foto

Ket : - Salah satu bentuk pengajaran yang disimulasikan adalah merangkai bunga. Untuk merangkai bunga yang
           baik dan indah harus dengan perhitungan yang baik dan memperhatikan estetika. (kiri)
         - Willy adalah satu dari sedikit relawan laki-laki yang menjadi guru Kelas Bimbingan Budi Pekerti. Ternyata
           ketika masih muda ia pernah menjadi guru Sekolah Dasar (SD). (kanan)

Relawan yang menjadi guru Kelas Bimbingan Budi Pekerti kebanyakan kaum perempuan. Sangat sedikit relawan laki-laki yang ikut menjadi guru kelas. “Mungkin ini lebih cocok dengan jiwa (saya) sebagai pendidik,” Willy memberi alasan mengapa ia mau ikut serta menjadi da ai papa. Ternyata ia pernah menjadi guru SD ketika masih muda. Kini ia berwiraswasta. Sudah 8 bulan ini ia telah menjadi da ai papa Tunas Cinta Kasih bagi siswa-siswa Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng.

Anak-anaknya sendiri kini telah besar, namun ia tidak merasa terlambat untuk ikut mewariskan ajaran budi pekerti kepada generasi penerusnya kelak. Ia bertekad, “Mungkin nanti yang kemudian kalau ada kesempatan dengan cucu. Sementara ini dengan anak-anak orang lain karena di dalam Tzu Chi semua dianggap satu keluarga.”

 

Artikel Terkait

Mengasah Welas Asih

Mengasah Welas Asih

26 Februari 2018

Tzu Chi mengadakan kegiatan training relawan pendidikan yang bertujuan agar relawan pendidikan tetap mendapatkan semangat. Kegiatan yang diikuti sebanyak 125 relawan pada Sabtu, 24 Februari 2018 diharapkan dapat mengajak dan menularkan semangat dan cinta kasih kepada orang lain.

Suara Kasih: Berpegang Teguh pada Tekad untuk Melenyapkan Penderitaan

Suara Kasih: Berpegang Teguh pada Tekad untuk Melenyapkan Penderitaan

22 Agustus 2013 Hal ini sangat menakutkan. Akibat sebersit pikiran yang menyimpang, manusia terus menciptakan pergolakan. Ini sungguh mendatangkan penderitaan.
Kunjungan Relawan Tzu Chi Mozambik ke Tzu Chi Center Jakarta

Kunjungan Relawan Tzu Chi Mozambik ke Tzu Chi Center Jakarta

11 Februari 2019

Relawan Tzu Chi Mozambik, Denise Tsai dan Dino Foi melihat dari dekat bagaimana proses belajar mengajar, fasilitas, serta sistem di Sekolah Tzu Chi Indonesia. Kunjungan pada Senin 11 Februari 2019 ini merupakan rangkaian kegiatan mereka selama di Indonesia.

Kita harus bisa bersikap rendah hati, namun jangan sampai meremehkan diri sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -