Kesan Tak Terlupakan di Kamp Kelas Budi Pekerti Tzu Shao

Jurnalis : Michelle Novenda (He Qi Barat), Fotografer : Agus DS, Markus (He Qi Barat), Dedy (He Qi Pusat)

doc tzu chi

Sebanyak 212 siswa mengikuti kegiatan Tzu Shao Kamp, di Aula Jing Si, Jakarta, 8–9 April 2017.

Berkat kecanggihan teknologi di media sosial, informasi mengenai  perkembangan Misi Pendidikan Tzu Chi Indonesia dapat tersebar luas ke para relawan di seluruh Indonesia. Contohnya, informasi mengenai kegiatan kamp kelas budi pekerti di Jakarta. Para relawan di Jakarta berbagi apa saja yang telah mereka lakukan di misi pendidikan melalui tayangan video singkat yang kemudian mereka bagikan melalui media sosial dan dapat tersebar hingga ke kota-kota lain.

Melihat cuplikan video kamp pendidikan budi pekerti  tahun lalu yang membuat anggota grup terkesan, dan akhirnya memutuskan untuk mengikutsertakan anak-anak ikut dalam Tzu Shao Ban Camp. Kamp ini diselenggarakan di Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, 8-9 April 2017. Para peserta datang dari delapan kota antara lain Jakarta (289 peserta), Tangerang (12 peserta), Batam (27 peserta), Pekanbaru (9 peserta), Medan (9 peserta), Sukabumi (14 peserta), Bandung (8 peserta), dan Bekasi (1 peserta). Para relawan dari berbagai kota ini juga datang untuk bersama-sama belajar mengenai bagaimana cara menyusun sebuah kelas budi pekerti yang baik.

Membuka Wawasan dan Menyerap Hal-Hal Positif

Relawan Megawati, yang merupakan wakil koordinator tim pendidikan Tzu Chi Batam membawa 20 peserta kelas budi pekerti serta enam relawan lainnya. Megawati yang telah aktif selama tujuh tahun di kelas budi pekerti turut berbagi pengalamannya kala menjadi Daai Mama di Batam. Kelas budi pekerti sendiri di Batam yang telah berdiri sejak tahun 2013 dan telah membawa perkembangan positif bagi para remaja di Batam. Buktinya jumlah peserta kelas budi pekerti terus meningkat dari sekitar 20 peserta menjadi 110 peserta.

Megawati merasa terharu karena dapat membawa anak-anak ikut dalam kegiatan positif ini. “Tadi pagi waktu baris, terus diputarkan lagu ‘Bie Hai Pa Qu Meng Xiang’, saya sempat merinding. Terharu  karena ada kesempatan seperti ini untuk membawa anak-anak datang dan berkumpul bersama dengan anak-anak dari kota lain, hal yang sangat mengharukan,” tutur Megawati.

Setelah melihat perkembangan kelas budi pekerti di Jakarta yang cukup baik, Megawati (seragam biru) berharap kelas budi pekerti di Batam dapat menjadi seperti yang telah dijalankan di Jakarta.

Megawati berharap Ia dan keenam relawan lainnya yang turut serta dalam kamp tahun ini dapat belajar cara mengorganisir kamp untuk diselenggarakan di Batam nantinya. Ini mengingat Tzu Chi Batam memiliki berkah karena dapat membuka Jing Si Tang pada akhir tahun 2017. Ia ingin menjadikan Tzu Chi Jakarta sebagai panutan yang baik untuk mengembangkan misi pendidikan budi pekerti di Batam, maupun dalam hal lainnya.

Megawati juga sangat berharap kelas budi pekerti di Batam dapat menjadi seperti yang telah dijalankan di Jakarta. “Kita di sana Tzu Shao Ban sampai SMA, memang dibagi dua kelas. Saya melihat yang SMA responnya lebih sedikit, kali ini yang ikut serta dalam kamp lebih banyak dari SMP, mereka lebih antusias. Kami berharap dapat mengikuti jejak dari tim Jakarta untuk membawa anak-anak SMA agar mereka dapat bertindak sebagai relawan dalam komunitas, berperan sebagai Daai Gege/Jiejie, seperti saat tim dari Batam dijemput dari bandara oleh para relawan dan Daai Gege Jiejie,” tambah Megawati.

Jika tahun-tahun sebelumnya materi kelas budi pekerti di Batam disusun sendiri oleh para tim, baik melalui apa yang dibaca, ditonton dari Daai TV, maupun hasil meeting, kali ini mereka mulai beradaptasi dengan buku Daai Yin Hang  dari Taiwan. Buku tersebut berisi lima tahap pembelajaran Jing Si Yu. Seluruh tahap yang disarankan dari Taiwan dipraktikkan dengan cara bermain game agar lebih menarik dibandingkan dengan metode duduk dan mendengarkan yang dinilai membosankan. Dengan menarik minat anak-anak, para relawan berharap agar anak-anak memiliki inisiatif sendiri ketika berpartisipasi dalam kelas budi pekerti, tidak hanya karena arahan dari orangtua mereka.

Menurut Megawati, pertemuan selama sebulan sekali saja membuat anak-anak kurang terbuka satu sama lain. Karena itu saat mendengar kabar diselenggarakannya kamp ini, ia sangat antusias dan berpikir bahwa ini merupakan kesempatan agar semuanya dapat saling mengenal dan berdekatan. Ia juga berharap kamp ini dapat membuka wawasan dan anak-anak dapat menyerap hal-hal positif.

Menjadi Pribadi yang Lebih Baik


Grace (berkacamata, berkerah hijau)senang bisa berkenalan dengan banyak teman dari kota lainnya.

Pertama kali menginjakkan kaki di Tzu Chi Jakarta, Grace Theodore, murid kelas budi pekerti Medan merasa bahwa Aula Jing Si sungguh besar. Dan setelah melewati satu malam di kamp, ia merasa kegiatan-kegiatan di kelas budi pekerti Jakarta sangat seru. Gadis kelahiran tahun 2000 ini bahagia karena dapat berkenalan dengan banyak teman dari kota lainnya.

Selain berkesempatan untuk mengikuti kamp di Jakarta, Grace juga pernah berpartisipasi dalam kamp di taiwan yang selama dua minggu. Di sana Ia melakukan berbagai kegiatan seperti belajar Mandarin, latihan Kung Fu, dan berbagai aktivitas lain yang menyenangkan.

Di balik kesibukannya sebagai seorang murid SMA, Grace tidak merasa kegiatan Tzu Chi menyita waktu sekolahnya. Walau terkadang kegiatan di Tzu Chi dapat bertabrakan dengan jadwalnya yang lain, Grace dapat membagi waktu dengan baik. “Memang waktu gladi resik sempat bentrok sama jadwal ujian. Tapi itu bisa diatur karena gladi resik kan ada jadwalnya. Jadi pas bukan jadwal saya yang latihan, saya bisa belajar buat ujian,” ujar Grace yang bersekolah di SMA Utomo Medan 1.

Kini seluruh keluarga Grace telah bergabung dalam Yayasan Buddha Tzu Chi. Sang kakak sedang berada di Taiwan sebagai anggota Tzu Ching, sedangkan kedua orangtuanya merupakan anggota komite. Ia merasa sejak bergabung dalam yayasan, keluarganya menjadi lebih harmonis dan jarang bertengkar. Mereka juga merasakan kebahagiaan dan kepuasan yang berlimpah, serta dapat lebih mensyukuri apa yang dimiliki.

Setelah kurang lebih sembilan tahun bergabung dalam kelas budi pekerti, kali ini Grace yang berkesempatan  bergabung dalam Tzu Shao Ban Kamp ini berencana menjadi Daai Jiejie setelah menyelesaikan kelas budi pekerti pada tahun ini. Ia akan bergabung di bagian pendampingan agar bisa membantu remaja lainnya menjadi lebih baik. Bagi Grace, dengan menjadi pendamping di kelas budi pekerti, Ia dapat membantu banyak orang serta berkenalan dengan banyak teman. Selain dapat membantu banyak orang dan berbakti kepada kedua orang tuanya, ia juga memutuskan untuk bervegetarian. Hal ini dilakukannya atas kesadaran untuk melindungi makhluk hidup di bumi.


Para siswa saat mengikuti rangkaian acara di Aula Jing Si.


Relawan Yenny (kanan, berkacamata) rela lembur demi mempersiapkan segalanya secara rinci. Ia terus merevisi pembagian kamar karena peserta terus bertambah.

Menggenggam Tanggung Jawab

Kedatangan insan Tzu Chi dari tujuh kota membuat para relawan bekerja lebih keras mempersiapkan kamp ini. Ini agar para peserta kamp dapat merasa nyaman dan gembira seperti berada di rumah sendiri. Salah satu relawan yang  berusaha keras  menyelenggarakan kamp ini adalah Yenny Loa. Relawan yang menjabat sebagai koordinator Dui Fu dan bergabung di Tzu Chi pada tahun 2016 ini mempersiapkan  dari pembagian kamar, makanan, transportasi, sampai mendata dan mengatur seluruh peserta yang berjumlah 212 siswa. Yenny dibantu oleh  Daai Mama/Papa yang berjumlah 94 orang, serta para Daai Gege/Jiejie yang berjumlah 41 orang.

Relawan Yenny bahkan rela lembur sampai tengah malam demi mempersiapkan segalanya secara rinci. Ia terus merevisi pembagian kamar karena peserta terus bertambah. Rundown acara harus direvisi beberapa kali agar pelaksanaan kegiatan berjalan lebih lancar. Segala jerih payahnya pun berbuah. Kamp tahun ini berjalan dengan sukses. Ia bahkan tidak merasa lelah karena melakukan segalanya dengan senang hati.

“Asal kita melakukannya dengan senang hati, kita tidak akan merasa capek,” ujarnya.

Yenny menambahkan, ternyata dalam mendidik anak-anak kelas budi pekerti tidaklah mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit. Mengapa?  karena Ia belajar memperlakukan setiap murid seperti anaknya sendiri yang juga berada di kelas budi pekerti. Ia memaklumi sifat-sifat mereka, mengingat mereka merupakan remaja-remaja yang sedang berada dalam masa pertumbuhan. Adapun Yenny merasa tertarik dengan perbedaan sifat yang ada pada diri setiap remaja.

“Anak-anak walaupun sifatnya banyak yang berbeda, ada yang cenderung pendiam, ada yang gampang bergaul, itu menarik karena bisa melihat perbedaan sifat dalam diri mereka,” kata Yenny. Dari sanalah, Yenny belajar bagaimana untuk bisa berinteraksi dengan anak-anaknya lebih baik.

Selain itu, menjadi Daai Mama, Yenny belajar banyak. Misalnya tata krama Tzu Chi yang menurutnya sangat baik dan bisa diterapkan di rumah dan keluarganya. Di balik segala kesibukannya, Yenny sendiri juga belajar membagi waktu antara keluarga, pekerjaan, dan Tzu Chi dengan adil. Melihat Yenny yang sangat bersemangat untuk aktif di Tzu Chi, suaminya pun mendukungnya. Karena itu, Yenny merasa senang karena dirinya serta suami dapat mengurus rumah tangga dan kedua anak mereka yang juga mengikuti kelas budi pekerti dengan baik.


Editor: Khusnul Khotimah


Artikel Terkait

Kesan Tak Terlupakan di Kamp Kelas Budi Pekerti Tzu Shao

Kesan Tak Terlupakan di Kamp Kelas Budi Pekerti Tzu Shao

17 April 2017

Kedatangan insan Tzu Chi dari tujuh kota membuat para relawan bekerja lebih keras mempersiapkan kamp ini. Ini agar para peserta kamp dapat merasa nyaman dan gembira seperti berada di rumah sendiri. Salah satu relawan yang  berusaha keras  menyelenggarakan kamp ini adalah Yenny Loa.

Persamuan Dharma dalam Penutupan Kelas Tzu Shao

Persamuan Dharma dalam Penutupan Kelas Tzu Shao

20 Desember 2016
Anak-anak Tzu Shao Medan menutup kelas mereka di tahun ini dengan pementasan persamuan Dharma Sutra Makna Tanpa Batas. Anak dari Kelas Kata Perenungan Master Cheng Yen dan Tzu Qing juga bergabung dalam persamuan ini.
Hanya orang yang menghargai dirinya sendiri, yang mempunyai keberanian untuk bersikap rendah hati.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -